Mohon tunggu...
Rizki Aldi Cahyono
Rizki Aldi Cahyono Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Bersama rakyat, menyatu kuat menuju Indonesia Hebat...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Lisan dan Perkembangannya

6 Januari 2024   12:30 Diperbarui: 6 Januari 2024   12:31 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Periode kontemporer yang dekat dengan peristiwa masa kini akan sangat sulit diteliti manakala dihadapkan pada sumber yang ada (Padiatra, 2021: 3). Kelahiran sejarah lisan---sebagai metode---tidaklah lepas dari permasalahan penulisan sejarah di Indonesia. Tiga hal permasalahan itu diantaranya keinginan menuliskan sejarah Indonesia yang nasionalistik, keinginan menghadirkan sejarah Indonesia yang ilmiah (Sesuai Seminar Nasional II di Yogyakarta 1970), dan adanya upaya menghidupkan sejarah lisan bagi penulisan sejarah di Indonesia (Kuntowijoyo, 2003: 23-24). Sejatinya ada dua metode baru yang ditawarkan, yakni sejarah lisan dan sejarah kuantitatif dalam menghadirkan penulisan sejarah yang baru, sejarah lisan dinilai paling tepa tatas anggapan bahwa sebagian sejarawan masih belum paham akan statistik (Kuntowijoyo, 2003: 25).

Apa itu Sejarah Lisan?

Sejarah lisan diidentifikasikan sebagai sebuah proses pengumpulan sumber sejarah yang memanfaatkan orang---saksi/pelaku---dalam menceritakan peristiwa dengan pengumpul maklumat yang memperkatakan peristiwa yang lepas dan dirujuk daripada ingatan seseorang, kertas, diari, surta, gambar, dan sebagainya (Saad, dkk. 2012: 66). Sejarah lisan dalam pengertian umumnya adalah sebuah usaha pengumpulan data informasi serta keterangan masa lalu dari seseorang saksi/pelaku sejarah yang diperoleh menggunakan metode wawancara (Santoso, xxx: 11.1). Sejarah lisan berbeda dengan tradisi lisan, perbedaan itu terletak pada arti khas yang bertanggung jawab yakni sumber sejarah yang dilisankan oleh manusia---selaku saksi/pelaku---yang terlibat dalam peristiwa sejarah pada zamannya, ia benar-benar mengetahui kejadian masa lampau dengan penuh tanggung jawab atas kebenarannta sehingga pelisan harus diseleksi secara kritis sebagaimana menghadapi sumber sejarah (Darbiyan, 1997: 1).

Perkembangan Sejarah Lisan

Perkembangan sejarah lisan di dunia tidak lepas dari Heredotus pada abad 15 yang menggunakan saksi-saksi mata dengan menanyakan silang hingga berlanjut digunakan penulis sejarah zaman Romawi, zaman Pertengahan, hingga zaman modern hingga mendapat kritik dari Leopard von Ranke yang mementingkan kesaksian-kesaksian dokumenter (Kuntowijoyo, 2003: 26). Kedudukannya pun menjadi marginal kala itu, baru kemudian atas kemunculan alat perekam di awal abad 20 mengalami kekuatan hingga terus berkembang sejak Perang Dunia II dengan hadirnya tape recorder. Columbia University menjadi universitas pertama yang 'menerima sejarah lisan' setelah didirikannya The Oral History Project oleh Allan Nevins pada 1948 (Kuntowijoyo, 2003: 28), sementara di Inggris mulai populer sejak 1950-'60-an dengan pelopor sejarawan sosial yang berfokus pada 'history from bellow'.

Di Indonesia, sejarah lisan sebagai penyediaan sumber dimulai oleh Arsip Nasional RI sejak 1973 (Kuntowijoyo, 2003: 29) dengan prakarsa Jose Rizal Chaniago yang bekerja sama dengan para sejarawan (Nugroho Notosusanto) dan perguruan tinggi. Dengan mengikuti model Amerika Serikat, sejarah lisan Indonesia lebih berfokus pada kelompok elit dan para pemimpin serta diarahkan guna menutupi kekosongan kekurangan arsip sejarah pada masa Jepang 1942-'45 hingga periode revolusi Indonesia (Syukur, 2006: 2-5).

Periode kontemporer yang dekat dengan peristiwa masa kini akan sangat sulit diteliti manakala dihadapkan pada sumber yang ada (Padiatra, 2021: 3). Taufik Abdullah mengungkapkan terlalu banyak masa lalu Indonesia yang terabaikan lantaran keengganan sejarawan mengembangkan penelitian sejarah lisan dan mengakui sejarah lisan sebagai sumber sejarah, misalnya peritiwa politik 1955 hingga G 30 S (Purwanto, 2006: 83-86). Belum lagi bahwa budaya bercerita di Indonesia lebih tinggi daripada budaya menulisnya. Nampaknya tulisan Aan Stoler dan Karen Stassler tentang pekerja rumah tangga zaman kolonial (babu) dapat dijadikan rujukan bagi penulisan sejarah di Indonesia. 

Sejarah lisan tidak hanya sebagai sumber sejarah, tetapi juga mampu membentuk pandangan penulis bagaimana menghadirkan sejarah itu hingga mereka akan memahami dan dengan mudah menjelaskan sejarah. Artinya bahwa penggunaan metode sejarah lisan dan sumber lisan dapat dijadikan dalam membangun formulasi alternatif historiografi Indonesiasentris (Purwanto, 2006: 87). Dan perkembangannya mulai keluar dari mahzab Amerika, yakni bahwa sejarah lisan tidak hanya melengkapi sumber tetapi juga berdiri mengkisahkan sejarah itu sendiri dengan sumber tertulis sebagai pendukungnya---khususnya peristiwa-peristiwa kontemporer dan kepemimpinan elit.

Darban, A Adaby. 1997. Sejarah Lisan Memburu Sejarah dari Para Pelaku dan Penyaksi Sejarah. Jurnal Humaniora, Vol. 4, pp. 1-4.

Kuntowijoyo. 2003. Metodelogi Sejarah Ed. II. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.

Padiantra, Aditia Muara. 2021. Sejarah Lisan, Sebuah Pengantar Ringkas. Yogyakarta: CV Buku Belaka Maju Jaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun