Mohon tunggu...
Rizki Affiat
Rizki Affiat Mohon Tunggu... -

Rumit tapi sederhana, dekonstruktif dan (harus) produktif. http://rizkiaffiat.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lubang Hitam

28 Maret 2013   13:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:05 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagaimana manusia memperlakukan seks?

Kita bandingkan dengan binatang. Dunia satwa mungkin sangat maskulin dan ‘patriarkis’ dalam dominasi seksnya, tapi binatang tidak memperkosa dan melakukan gang rape. Di channel National Geographic Wild yang khusus satwa misalnya, kita bisa mempelajari seputar perilaku dunia binatang. Pada banyak hewan jantan dari mulai beruang, gajah, kura-kura, singa, sampai kadal sekalipun, mereka saling bertarung dan berkompetisi secara fair untuk dapat mengawini betina. Meski kita melihat bagaimana sang induk bertanggung jawab atas anaknya dan sang jantan entah kemana, namun kita juga bisa melihat bagaimana sang betina pun memiliki kekuasaan untuk memilih jantan mana yang hendak dikawini. Jadi, perkawinan dalam dunia binatang dilakukan atas ‘persetujuan’ sang betina, yaitu betina yang memilih dan memberi sinyal biologis bahwa ia sudah siap kawin.

Bagaimana dengan manusia? Pemaksa, pemerkosa, pengkhayal. Itulah tiga penyakit perilaku seks manusia. Manusia dipenuhi oleh kerakusan dan kerasukan. Kemunafikan dan ke-lebay-an. Manusia berimajinasi dan hidup dalam imajinasinya.

Tapi tentu saja saya tidak bermaksud sesinis itu, apalagi diskursus soal seks lebih populer dengan mengutip pemikiran Foucault, seorang filsuf asal Perancis. Dalam karya besarnya ‘Sejarah Seksualitas’, Foucault membongkar dan menggoreng aturan-aturan normatif soal seks. Kutipan yang terkenal dari Foucault adalah “pengetahuan adalah kekuasaan”. Menurutnya, kedua hal ini yang membuat para penguasa mengontrol perilaku rakyatnya, bahkan hingga ke hal yang paling privat sekalipun yaitu tubuh dan seksualitas. Cara penguasa mengendalikannya adalah melalui aturan, sanksi, dan bangunan moralitas. Oleh karena itu muncullah kriminalisasi atas ekspresi tubuh, orientasi atau praktek seksual tertentu, dan negara kemudian merasa berhak menentukan mana yang dianggap patut dan mana yang tidak.

Saya menganggap pemikiran tersebut penting untuk menganalisis berbagai bentuk kuasa dengan lebih kritis, tapi saya percaya kekuatan manusia adalah kemampuannya bertransformasi melalui nurani dan nalarnya, yang mau tak mau memunculkan norma dan moralitas. Keberadaan dan keselamatannya di bumi tergantung dari caranya merangkul kehidupan. Seks juga menjadi bagian tak terelakkan di dalamnya.

Pengalaman Pertama (Tak Selalu) yang Paling Berkesan

Tak semua orang mendapat pendidikan seks pertama kali dari orangtua, meski saya merasa beruntung karena mendapatkannya pertama kali dari mama saya. Umumnya, masa SMP adalah masa ketika kita mulai berkenalan dengan banyak kawan sama-sama ABG dan disitulah perkenalan tentang berbagai istilah seks (yang kerap dijadikan bahan lelucon) mulai kita ketahui – sesuatu yang orangtua kita enggan beritahu.

Pada waktu itu, menjadi ‘polos’ dan ‘lugu’ dalam term dan urusan seks adalah kewajaran, dan kita akan mencibir ketika mendengar ada seorang teman yang “pacarannya udah parah”. Kita akan ternganga ketika melihat dua orang anak SMP pacaran berjalan berangkulan. Kita masih hidup dalam keperawanan utuh secara alamiah. Dunia masa itu masih belum sefrontal sekarang. Dan jika informasi soal seks kita dapatkan dari rekan sebaya, orang-orang yang “sesat”, atau media pornografi, pemaknaan kita dan keinginan untuk mendapatkan stimuli menjadi lebay. Itu membuat pengalaman pertama kita menjadi tidak akurat atau penuh dengan mitos-mitos, fantasi, dan imajinasi yang tidak produktif.

Dalam agama, seks adalah sesuatu yang ‘sakral’. Ia harus dilakukan dalam kerangka  pernikahan yang bernilai ibadah, dimulai dengan doa, dan dibersihkan dengan mandi besar. Idealisasinya adalah legalitas, cinta dan monogami. Tapi realitas manusia tidaklah selalu ibarat papan catur yang hitam putih dan bergerak teratur. Berbagai dinamika persoalan drama kehidupan menuntut manusia untuk merangkul warna-warni, ketidakpastian, dan kejutan yang kerap membuat mereka harus mengambil resiko, bertindak di luar rencana, atau justru mengadopsi pengalaman dan paradigma baru. Life isn’t flat!

Belakangan saya berpikir, selain para nabi (yang memang diberi kekhususan oleh Tuhan) apa itu cinta yang “islami” ketika seseorang memutuskan untuk (ataupun membenarkan) poligami atas nama ibadah? Apa bedanya dengan seorang pria “hedonis” dan “liberal” yang lantas selingkuh selain bahwa poligami adalah perselingkuhan yang dilegalkan? Saya pun sudah jenuh mendengar alasan klise soal populasi perempuan yang lebih banyak atau bahwa itu merupakan dorongan alamiah pria.

Kedua alasan itu adalah konstruksi sosial yang dikomat-kamitkan berulang-ulang sehingga membuat para pria seolah yakin bahwa ketidaksetiaan pada hubungan monogami adalah takdir demografis dan biologis mereka. Ini juga berlaku sebaliknya untuk perempuan, jika mereka hendak menggunakan alasan ‘insting biologis’.

Bagi saya, kesetiaan dimulai dari pikiran. Itu yang menjadi prinsip saya sejak saya mengetahui apa kaitan antara cinta, komitmen, dan seks. Yes, call me old fashioned.

Lubang Hitam dalam Semesta

Dalam kosmologi, seingat saya, lubang hitam atau black hole adalah istilah yang menggambarkan sebuah lubang di jagad raya yang muncul akibat ledakan bintang yang kemudian mati (supernova), dan massanya begitu padat sehingga ia akan menelan apapun dan mengubahnya menjadi singularitas (bayangkan lukisan jam dinding bulat yang pipih seperti adonan pizza). Segala sesuatu di dalamnya terjebak dalam akhir yang abadi. Atau, ada istilah worm hole alias lubang cacing di black hole yang menurut Einstein bisa menjadi lorong untuk perjalanan lintas ruang dan waktu. Nah, betapa sakti dan misteriusnya sebuah lubang!

Saya teringat dengan novel ‘Lubang dari Separuh Langit’ karya Afrizal Malna yang saya beli di Depok beberapa tahun silam. Berkisah tentang pergerumulan seorang pria yang mentransformasi dirinya menjadi perempuan. Alurnya adalah tindihan-tindihan fragmen tentang realitas dari dua identitas dalam satu tubuh: sang tokoh sebagai pria, dan sang tokoh sebagai perempuan. Tapi lebih dari itu, novel ini juga berkisah tentang dinamika Jakarta metropolitan yang kumuh dan sekelumit ironi politiknya yang seolah setia melekat pada kehidupan pribadi sang tokoh.

Dengan anggun namun agak frontal, Afrizal Malna mendeskripsikan kepekaan inderawi dan seksualitas dalam proses sang tokoh merecapi diri sebagai pria yang berubah menjadi perempuan. Pembaca diajak untuk tersedot masuk ke benak dan dunia pemaknaan sang tokoh. Dalam imaji, sang tokoh akhirnya menyatukan kedua identitas dalam tubuhnya itu melalui cinta yang agak janggal. Di sisi lain, dituliskan pula sebuah perkelahian antar dua pria yang menyiratkan pergulatan untuk menghancurkan sang identitas maskulin demi memunculkan identitas tunggalnya: perempuan. Kita pun perlahan dibuat paham apa yang dimaksud penulis dengan ‘lubang dari separuh langit’ itu – yang sepenggalan istilahnya diambil dari pepatah lama yang kira-kira berbunyi ”women hold up half the sky”.

Lantas term ‘half the sky’ itu mengingatkan saya dengan buku ‘Half The Sky’ milik Kak Shadia Marhaban yang ia tunjukkan pada saya di Banda Aceh beberapa tahun lalu, sebelum saya membeli novel ‘Lubang dari Separuh Langit’. Buku ‘Half The Sky: Turning Oppression into Opportunity’ adalah karya nonfiksi yang ditulis oleh pasangan suami istri bernama Nicholas Kristof dan Sheryl WunDunn dan diterbitkan tahun 2009. Buku ini berkisah tentang perjuangan para perempuan di seluruh penjuru dunia untuk mengatasi tantangan berat kemanusiaan yang penuh diskriminasi dan represi. Saya sendiri belum membaca bukunya, dan waktu itu hanya sempat membaca sekilas.

Jika judul dan gagasan dari buku Afrizal Malna (fiksi) dan buku ‘Half the Sky’ itu digabungkan, kita bisa melihat koherensinya. Mereka berkisah tentang ketangguhan dan beban berat peradaban yang disampirkan pada perempuan – bukan pada pundaknya sebagaimana mungkin lebih tepat disampirkan untuk para pria - tetapi pada kelaminnya, identitas gendernya. Disitulah lokus dan tempat phallus bermuara. Filosofinya terletak pada paradoks kesederhanaannya.

Women hold up half the sky dan “lubang” dari separuh langit. “Lubang” disini, kalau saya mencoba memahami maksud Afrizal Malna, adalah metafora untuk perempuan. Meski di dalam novelnya ia tuturkan dengan deskripsi yang sensual, namun dari kemelut perjalanan sang tokoh kita pun memahami bahwa “lubang” lebih dari sekadar ‘liang kelamin’. “Lubang” adalah reduksi metaforis dari perempuan sebagai sebuah inti. Ia adalah titik untuk semesta ketika semua memapat hendak menjadi big bang. Lubang menyimbolkan pusat dan pusara: tempat berawal, bernaung, tumbuh. Sekaligus sebuah ‘liang’ atau jalan menuju sesuatu.

Perempuan adalah lubang kehidupan. Lubangnya mengisi kehampaan, dan karenanya bukan sebuah cela atau ketidakutuhan. Karenanya, ia menyangga separuh langit.

Totalitas: “The Whole in One”

Suatu hari saya membaca sebuah hasil riset ilmiah di internet. Riset yang dilakukan di Amerika Serikat itu mengungkapkan bahwa pria dari Partai Republik memiliki kepuasan seksual dibandingkan pria dari Partai Demokrat. Apa artinya? Partai Republik dikenal sebagai partai yang konservatif, termasuk dalam urusan nilai-nilai keluarga, agama, dan identitas nasionalisme mereka. Sedangkan Partai Demokrat cenderung liberal dan sekuler dalam pendekatan mereka terhadap kebijakan publik.

Meski saya bukan penggemar keduanya, apalagi Partai Republik yang menurut saya hawkish itu, saya melihat ada poin penting yang menarik dari hasil riset tersebut. Karena nilai konservatifnya dalam memandang penting keluarga, pria Partai Republik dianggap lebih setia dan berkomitmen, dan ya, inilah yang membuat mereka merasa puas secara seksual. Artinya, jika kita bisa setia dan bersyukur pada pasangan kita, menghargai komitmen dan nilai-nilai kebersamaan, kita juga akan merasa puas (alias bahagia). Sedangkan orang yang merasa ingin mereguk yang lain, yang berbeda, dan selalu merasa perlu mendapatkan lebih, juga akan sulit terpuaskan. Kita menjadi orang yang dibentuk oleh garis batasan kita sendiri. Menolerir sesuatu membuat kita permisif dengan sesuatu itu, dan untuk hal-hal tertentu (apalagi seks), hal itu bisa meningkatkan terus keinginan kita. Alhasil, candu yang tak guna. Jadi, setia itu seksi karena ia memiliki partikularitasnya. Ibaratnya, ia spesial seperti lahan konservasi, bukan ladang eksploitasi untuk banyak perusahaan tambang. Toh suatu saat semua orang akan beranjak tua, dan ketika sudah uzur, seorang manusia tak lagi berdaya dan hanya bergantung pada orang di sekitarnya yaitu keluarga.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal: bagaimana manusia memperlakukan seks?

Pilihan jawabannya: Prokreasi atau rekreasi? Makanan cepat saji (one night stand) atau tradisional? Simfoni atau hip hop (quickie)? Dan rentetan analogi lainnya. Manusia bisa memperlakukannya sebagai hobi, gaya hidup, bisnis, tujuan, motivasi, hiburan, apapun itu. Peradaban kita telah mengenal perbudakan, perkosaan, prostitusi, bahkan orgy, sejak dahulu kala. Tetapi berbagai perilaku yang eksis sejak ‘dahulu’ kala itu juga berdampingan dengan kekuatan manusia untuk membangun kontrak sosial dan moral bersama. Ada dorongan yang ilahiah dalam diri manusia yang membuat kita secara kolektif bisa memunculkan nilai-nilai universal tentang kebaikan dan kepatutan. Ini tak melulu soal kepentingan kekuasaan, tetapi juga keberlangsungan roda peradaban yang memanusia.

Inipula yang mestinya membuat manusia berbeda dari binatang, tidak hanya dalam artian yang sinikal. Dari perspektif yang agak sentimentil, mungkin manusia berbeda karena kesetiaannya terhadap cinta. Kemampuannya untuk membangun peradaban yang dimulai dari komitmen bersama, membentuk unit keluarga, masyarakat, dan lingkungan sosial. Dari komitmen antara dua orang yang saling mencintai, dibangunlah konsensus etis yang humanis. Seks, sebagai ekspresi mendasar membangun kasih sayang dan mencipta keturunan, menjadi privasi (tapi bukan tabu sembarang) yang diperlukan agar nilai dan norma masyarakat bisa berjalan dengan baik.

Seks tak bicara melulu soal kelamin dan erotisme, apalagi eksploitasi perempuan. Dalam posisi ini, perempuan tak menjadi patung bergerak untuk memenuhi industri fantasi yang bergelimang hinaan, lelucon, dan stigma. Ia adalah ‘lubang’ yang juga hendak bicara soal kebersamaan yang memanusia. Inilah sebuah lubang yang merangkumi semuanya: tempat segala bermula, bercinta dan bercipta. Black hole di langit sana terlihat gelap dan misterius. Namun apapun yang masuk ke dalamnya tak akan bisa keluar dari tempat yang sama. Ini menandakan totalitas: penyerahan utuh dalam perjalanan lintas ruang dan waktu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun