Mohon tunggu...
Rizki Affiat
Rizki Affiat Mohon Tunggu... -

Rumit tapi sederhana, dekonstruktif dan (harus) produktif. http://rizkiaffiat.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

It Was So Crazy, the Ambition for Being White: Surga, Bidadari, dan Kecantikan Perempuan

29 Maret 2013   17:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:01 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Itu was so crazy, the ambition for being white” – potongan awal judul ini saya kutip dari komentar jujur seorang rekan akrab saya, Miriam Hoffmann, 20 tahun. Dia sambil menghisap rokoknya, dan saya sambil menikmati kudapan, mengobrol-ngobrol selepas makan siang di teras belakang. Salah satu cerita tentang hari-harinya di Indonesia adalah pengalamannya belanja di supermarket yang semua produk kecantikannya menjual ‘mimpi’ tentang menjadi cantik itu identik dengan kulit putih.

“It was sooo crazy…every product is selling whitening or how to be white, with this white woman in its advertisement.” Komentarnya terheran. Ia datang jauh dari negara asalnya untuk mengikuti program internship dan menghabiskan akhir minggu mengitari Jakarta. “In my country, everyone wants to be brown [tan]. They do many things to change their skin color. But here, everyone wants to be white.” Lanjutnya. Ya, saya bilang, itulah konstruksi kecantikan yang menyedihkan yang ditawarkan industri kecantikan kepada perempuan Asia Tenggara. “It’s like we should switch our skin color.” Gumam saya, menyeringai. Lalu kami saling bertukar cerita tentang itu.

Untuk standar konstruksi kecantikan popular, Miriam terbilang sangat cantik. Kalau ia tinggal di Indonesia (dan kalau dia mau), dia mungkin udah laris manis jadi model atau bintang iklan. Tetapi komentarnya itu adalah sebuah pengakuan implisit yang penting bahwa warna kulit adalah sesuatu yang given dan adalah sebuah kekonyolan untuk menjadikan perubahan warna kulit dengan bintang iklan didominasi oleh perempuan bule atau indo sebagai standar kecantikan. Bahkan banyak iklan produk kecantikan yang jelas-jelas menghina atau merendahkan perempuan dengan kulit gelap, misalnya pencitraan bahwa perempuan berkulit gelap itu tidak disukai oleh pria dan (perlu) merasa minder.

Beberapa hari setelah perbincangan saya dengan Miriam, saat sedang berjalan-jalan di Poin Square, saya melihat seorang perempuan muda yang secara otomatis mengundang perhatian saya hingga saya menggumam dalam hati betapa cantiknya dia. Ya, perempuan muda itu berkulit sangat gelap – saya yakin dia dari bagian Indonesia Timur, dia mengenakan seragam dinas pegawai negeri dengan celana panjang. Pakaiannya sangat pas dan proporsional dengan ukuran tubuhnya. Rambutnya diikat rapi ke belakang, dan dia tersenyum lebar. Senyumnya cantik sekali, dan dia begitu anggun dengan kulit gelapnya. Itulah kecantikan, pikir saya. Dia cantik karena dia terlihat sangat nyaman dengan dirinya, dan pembawaannya begitu menarik. Segala sesuatu yang terlihat instan dari figurnya sangat mempesona bagi saya.

Salah satu contoh yang menurut saya menunjukkan kontekstualitas sosio-kultur di al-Quran dalam merespon masyarakat Arab pada waktu jaman Nabi Muhammad adalah dengan menggambarkan bidadari surga sebagai perempuan berkulit putih (bening, bersih, whatever – pokoknya tidak gelap atau hitam). Sama halnya dengan gambaran surga yang penuh dengan sungai-sungai yang mengalir. Konstruksi imaji itu dibangun untuk mendapat perhatian masyarakat Arab pada masa itu. Apabila Quran tidak merespon konteks sosiokultur, bukankah tidak adil untuk menganggap bahwa perempuan berkulit putih berarti adalah standar kecantikan umat manusia secara universal? Bukankah sangat tidak lazim untuk membayangkan bahwa Tuhan begitu tidak adil menciptakan ‘kesempurnaan’ bidadari berkulit putih sedangkan Dia juga mencipta perempuan dengan beragam warna kulit?

Saya teringat membaca sebuah buku karya antropolog Islam, Akbar Ahmed, dalam kata pengantarnya yang tidak bisa saya lupa sampai sekarang karena sangat menarik (tapi saya lupa judul bukunya). Di situ Akbar Ahmed menuliskan obrolannya dengan seorang koleganya, seorang profesor Inggris kulit putih. Di hamparan kampus Cambridge yang rindang dengan bunga warna-warni musim semi, Akbar Ahmed menggumam pada koleganya itu, “Ah mungkin seperti inilah surga.” Tapi dengan humor ringan, si koleganya menyahut, “Itu surga versimu. Kalau surga versiku, aku lebih suka pantai, atau iklim yang hangat.”

Analogi surga yang berbeda-beda bagi tiap orang dari belahan dunia berbeda menurut saya berlaku pula pada bagaimana kecantikan perempuan memang sungguh relatif. Terutama dalam konteks manusia, karena peradaban dan masyarakat selalu dinamis, sebagaimana konsepsi kecantikan di tiap komunitas dan peradaban berbeda-beda. Yang pernah saya baca dan saya lihat dari buku, dalam patung-patung dewi atau perempuan hasil peninggalan peradaban Yunani Kuno atau Asia Kuno sekalipun, kecantikan perempuan tidak diidentikkan dengan tubuh langsing tak berlemak. Patung-patung perempuan yang melambangkan kecantikan jaman dulu itu adalah para perempuan sebagai citra kesuburan dan reproduksi: tubuhnya berisi (bisa dibilang terlalu gemuk untuk ukuran konstruksi kecantikan jaman sekarang),  panggulnya lebar, dan bahkan dengan tumpukan lemak di perutnya. Warna kulitnya pun disesuaikan dengan etnis mereka. Di Yunani patung-patungnya berwarna putih (atau memang tidak diberi warna?), di Mesir Kuno, patung ratu-ratunya selalu berwarna coklat. Untuk jaman sekarang, simbol seks tahun 1960-an macam Marilyn Monroe atau Jane Maynsfield pun akan didepak dari industri kecantikan karena dianggap gemuk.

Tetapi satu hal penting lagi tentang mengapa urusan standar kecantikan perempuan begitu signifikan (dan ribet) hingga menjadi industri sekaligus krisis sosiopsikologis di era modern ini adalah karena konstruksi gender bahwa perempuan harus lebih menonjolkan keindahan fisiknya ketimbang pria (bahwa konon pria makhluk visual rasional dan membutuhkan pelayanan perempuan dengan citra visual yang bisa menarik pria). Yang saya ketahui, dari dulu pencitraan seorang pria sejak dalam mitologi Yunani Kuno di patung atau lukisan itu sampai ke cover-cover majalah Men’s Health modern pun sama: dari Zeus, sampai David, sampai Aristoteles, sampai Brad Pitt: semua menggambarkan kekuatan fisik – berotot dan kuat. Ini adalah stabilitas citra maskulinitas sepanjang sejarah, sedangkan citra perempuan berubah-ubah sesuai persepsi sosial yang dominan.

Lihat saja buktinya: pemilihan Miss Universe secara substantif tak jauh beda dari kontes model biasa, hanya aja ditambah uji pengetahuan sebagai embel-embel. Padahal, dengan adanya kontes busana (dan bikini) di kontes Miss Universe – standar, konstruksi, eksploitasi, dan manipulasi kecantikan fisik perempuanpun sangat bermain disitu, terlebih lagi oleh para juri laki-laki yang memang dominan! Ibaratnya, untuk dianggap sebagai ‘pintar’ pun, para perempuan harus memajang dulu tubuh mereka di depan khalayak yang dominan di kuasai oleh persepsi pria.

Tentu ini berdampak negatif karena ada semacam konformitas dan ilusi keseragaman yang secara tidak sadar merepresi keberagaman tubuh dan fisik perempuan. Dan ini dilakukan oleh industri kecantikan yang mengambil untung dengan menjual standar kecantikan yang tidak adil dan berakibat pada ketimpangan dan perendahan terhadap fisik perempuan yang berbeda dari ‘standar’. Padahal, tidak ada standar umum tentang apa itu cantik. Pendapat kita tentang perempuan cantik selalu dikonstruksi oleh nilai-nilai mainstream yang kita telan melalui kultur dan dominasi media massa, dan bahkan oleh kebutuhan dari industri kecantikan.

Menurut saya, sudah cukuplah kita bercermin secara jujur pada diri kita sendiri dan mencintai fisik kita apa adanya. Hal terpenting tentang tampilan fisik kita sesungguhnya bukan dari apa yang didiktekan oleh iklan, produk kecantikan, atau majalah-majalah fashion yang berkiblat pada satu standar kecantikan tertentu yang meminggirkan keberagaman fisik perempuan di seluruh dunia dari etnis dan kultur yang berbeda-beda. Penghargaan yang paling penting tentang eksistensi fisik kita sesungguhnya adalah dari orang-orang di sekitar kita yang kita cintai dan mencintai kita dan melihat kita dari mata dan hati mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun