Mohon tunggu...
Rizki Affiat
Rizki Affiat Mohon Tunggu... -

Rumit tapi sederhana, dekonstruktif dan (harus) produktif. http://rizkiaffiat.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Obsesi Kekerasan: antara Remaja dan Negara

18 Oktober 2012   07:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:42 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagai alumni SMA 70 yang bergelut di Aceh, saya sempat terhenyak oleh dua peristiwa September lalu: pembunuhan atas siswa SMA 6 dan bunuh diri oleh seorang gadis di Aceh Timur.

Dua peristiwa tragis itu sama-sama dilakukan oleh remaja yang umurnya masih belia. Siswa SMA 6 itu bernama Alawy, masih 15 tahun. Si gadis yang bunuh diri itu bernama Putri, berusia 17 tahun. Jika Alawy harus meregang nyawa dengan tragis sebagai korban dari pelaku yang juga masih SMA, Putri memilih gantung diri setelah ia dirazia polisi syariah yang menuduhnya sebagai pelacur. Keduanya adalah korban dari betapa negeri ini begitu terobsesi oleh kekerasan – baik sebagai patologi sosial, maupun banalitas kekerasan oleh institusi.

Sekilas Kenangan

Reputasi SMA 70 sebagai tukang tawuran memang sudah saya dengar sejak saya ujian kelulusan SMP dulu. Waktu itu, reputasi sebagai tukang tawuran juga anehnya beriringan dengan reputasinya sebagai sekolah favorit. Saya hanya tahu bahwa SMA 70 adalah sekolah unggulan nomor 2 di Jakarta setelah SMA 8. Jadi, saya tulis itu di pilihan pertama.

Saya tidak punya pengalaman buruk selama di SMA 70. Dunia tawuran yang pernah terjadi antara teman-teman pria seangkatan saya dengan sekolah lain seolah dulu menjadi selingan saja dibandingkan lingkup dimana kita berada. Setahu saya, teman-teman saya adalah anak-anak yang intelek, pintar, dan punya bakat sendiri-sendiri. Meskipun ada yang bandel, mereka tetap punya performa akademis, atau setidaknya sesuatu untuk ditonjolkan – entah dalam dunia musik atau hobi. Rata-rata datang dari kelas menengah dan kelas menengah atas, tapi tak jarang pula saya kenal teman dari latar belakang ekonomi dan keluarga yang biasa-biasa saja. Dulu belum ada status aneh macam ‘Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional’ yang gak penting itu, dan uang masuk plus SPP pun masih bisa dijangkau oleh banyak kalangan.

Di sana, selain kami diberi nama angkatan yang berbau-bau militer oleh senior (tanpa urutan: Zapatista, Somoza, Trabalista, Garnizoon, Batalyon, Salvozesta, dll), kami juga dimotivasi oleh lingkungan sekolah untuk berpacu secara akademis dan aktif di ekstrakurikuler. Waktu itu ditanamkan kepada kami bahwa orientasi setelah lulus SMA adalah mengikuti UMPTN/SPMB dan masuk PTN. Itulah tujuan kami. Apalagi dulu PTN reputasinya masih “murah dan berkualitas” – berhubung seleksinya nasional dan tidak pakai ujian aneh-aneh seperti sekarang. Oleh karena itu, alumni pun membentuk BTA (Bimbingan Tes Alumni), tempat kita belajar rutin soal-soal masuk PTN sekaligus juga info tentang jurusan dan diskusi soal preferensi kami. Sebagai murid SMA, siapa yang gak terpana melihat para senior itu? dulu kesannya para mahasiswa yang datang membimbing kami adalah sosok yang keren, gaul, pinter, dan canggih, sehingga kami ingin bisa sukses seperti mereka.

Tawuran memang tidak terlupakan. Saya dengar cerita macam-macam. Beberapa teman saya juga dikeluarkan dari sekolah karena bandel, tapi mereka juga pindah ke sekolah yang sama bagusnya dan berakhir ketemu di PTN juga! Meski begitu, guru-guru sendiri juga gak angkat tangan. Saya teringat waktu habis kejadian tawuran. Besoknya guru matematika kami yang terkenal agak killer, Bu Osphara, menegur kami di kelas. Hebatnya, kata-kata Bu Osphara itu justru berbekas di benak saya sejak saat itu: “Kalau kalian mau ngikutin senior yang hebat, kalian harus tau bahwa senior yang beneran itu bukan yang nongkrong di pinggir jalan seharian dan ngajakin kalian tawuran. Senior kalian yang bener itu sekarang udah kuliah di…[sambil menyebut barisan nama-nama PTN].”

Jelang kelas III SMA, tawaran untuk kuliah dari beragam beasiswa dan universitas berdatangan ke sekolah dan berbagai informasi tersedia untuk ikut acara-acara di luar negeri. Beberapa teman saya mengukir prestasi dengan mengikuti berbagai acara regional dan internasional, atau menang lomba. Kelas III IPS kami bahkan sempat membuat diskusi serius dengan mengundang politisi terkenal. Ekstrakurikuler kami berjaya di ajang lomba tingkat daerah dan nasional.

Apalagi yang kurang? Kami juga punya ajang Gelar Kreativitas (GK) tiap tahun yang menjadi acara pentas seni dan kreativitas dengan mengundang band-band terkenal. Fasilitas dan luas sekolah kami setidaknya cukup untuk menampung berbagai kegiatan dan hobi, plus lokasi yang strategis di kawasan Bulungan juga memberikan banyak tempat tongkrongan bergengsi.

Namun, diantara kebanggaan dan kegembiraan menjadi keluarga besar SMA 70, rupanya tradisi kekerasan menjadi penyakit laten yang akhirnya membusuk dan menyebar. Belakangan semakin parah dengan longgarnya norma sosial, beragamnya teknik dan alat untuk tawuran, ekspose media dan konon, kepentingan politik di lokasi itu. Akhirnya, alumni, siswa, serta para guru SMA 70 terpaksa untuk menyadari bahwa ada persoalan yang sangat serius menggerogoti generasi muda kita, dan itu tepat di hadapan kita semua, adik-adik kita.

Tewasnya Alawy dan Putri

Meski berita tetang berbagai kasus kekerasan yang dialami remaja sering kita dengar, namun kematian Alawy bulan lalu seolah menghentak bangsa ini akan permasalahan akut remaja yang sedang terjadi, seperti tirai yang tersibak. Statistik kematian remaja akibat tawuran selama ini pun mulai dijadikan wacana yang lebih serius. Berbagai kalangan bereaksi. Media terus mengangkat tragedi tersebut, menyentak kesadaran publik. Komisi X DPR RI langsung mengadakan Rapat Dengar Pendapat dan memanggil dua kepala sekolah SMA 70 dan 6, pertemuan multistakeholders pun dilaksanakan, dan perwakilan alumni SMA 70 mulai turun tangan untuk menghentikan tradisi tawuran yang semakin mematikan.

Namun, sebelum itu, tragedi lain juga terjadi di bulan yang sama. Di ujung negeri sebelah barat, jauh dari hiruk-pikuk ibukota, Putri, seorang gadis 17 tahun dari sebuah desa di Aceh Timur, bunuh diri,  usai pemberitaan media lokal soal ‘pelacur ABG yang tertangkap’. Hal itu ia lakukan usai ia terkena razia Polisi Syariah dini hari karena ketangkap basah sedang menonton pertunjukan musik di tempat umum.

Rupanya, Putri tak ingin pergi tanpa pamit. Sebuah surat ditulis olehnya sebelum ia gantung diri. Surat sepanjang satu halaman itu ditulis rapi sebagai pernyataan perpisahan. Ia meminta maaf kepada Ayahnya, dan bersumpah bahwa ia tidak pernah jual diri.

Kematian Putri lantas diberitakan di media nasional seperti Kompas dan majalah Tempo. Goenawan Mohamad sampai menyinggung nasib gadis itu dalam Catatan Pinggir-nya. Dewan Pers dan Komnas Perempuan bereaksi. LSM dan gerakan perempuan di Aceh juga memberikan kecaman. Pemberitaan media lokal dan metode razia Polisi Syariah dikritik karena dianggap bias gender dan penuh stereotip.

Secara mengejutkan, reaksi balik yang keras muncul dari kalangan tertentu di Aceh. Kritik terhadap pemberitaan media lokal (yang memang punya kecenderungan berstigma) dan kinerja Polisi Syariah (dan institusi yang menaunginya: Dinas Syariah Islam) ditanggapi dengan defensif. Bahkan Dinas Syariah Islam menyatakan kematian Putri adalah akibat ulahnya sendiri (artinya: akibat maksiatnya yang ia lakukan). Sebagian kalangan mengkritik implementasi syariah Islam di Aceh tapi juga masih mendiskusikan soal ulah Putri sebagai “dosa personal” (padahal, dengan menganggap Putri sudah berdosa saja adalah sebuah stigma sosial).

Reaksi defensif dari kalangan pemerintah Aceh dan sebagian wartawan dan penulis telah bergeser dari persoalan sebenarnya. Mereka membentuk kaukus wartawan pro syariah – sebuah term yang tendensinya bisa multitafsir, dan akhirnya memang isu bergeser: kritisisme atas bahasa media yang bias gender atau atas implementasi syariat Islam yang diskriminatif dituding sebagai kalangan yang anti-Syariat, bahkan sebagai ‘agen asing’ yang nota bene liberal. Padahal, persoalan awalnya adalah murni kemanusiaan: kalaupun Putri dianggap ‘nakal’ karena nonton pertunjukan musik dini hari dengan kawan prianya, ia tetap anak remaja yang tumbuh dari rusaknya norma sosial. Kenapa ia razia dan dicap sebagai pelacur ABG? Atas dasar apa ketika tidak ada pembuktian dan pengakuan?

Lagi-lagi, ini bukan soal rekan-rekan LSM, akademisi, atau jurnalis yang kritis hendak menggoyangkan syariat Islam di Aceh. Jika kita kesampingkan imajinasi konspirasi asing, dan mau benar-benar menelanjangi fenomena publik, kita bisa sadari bahwa persoalan kemanusiaan memang sedang terjadi, dan suka atau tidak suka, harus kita hadapi. Jejaring persoalan multidimensi ini hanya bisa diurai jika kita menumbuhkan nalar publik yang kritis dan berpegang pada nurani kemanusiaan yang merujuk pada hak-hak dasar warganegara, bukan moralitas yang parsial.

Kalaupun serius ingin menegakkan syariat Islam dalam hal moral, kenapa harus dimulai dengan stigma, dengan bahasa melecehkan, sekedar untuk ‘menghukum’ secara kolektif para perempuan yang ‘kebetulan’ nongkrongnya di lapangan kota kecil, bukan di Hotel Hermes yang Dinas Syariat Islam pasrah atas alasan ‘hak imunitas’? sejak kapan syariat Islam yang sebenar-benarnya menyerah oleh hak imunitas pemodal dan politisi?

Selain itu, pembelaan yang seolah mengatakan bahwa “Putri bunuh diri bukan karena pemberitaan media tapi karena tekanan keluarga/kondisi hidupnya” juga telah bergeser dari substansi kritisisme. Ini bukan soal menyalahkan media lokal atau Dinas Syariat atas kematian Putri per se, tetapi ini mengenai perlakuan dan stigma terhadap orang-orang yang menjadi objek mereka. Dan ini bukan persoalan yang pertama kali mencuat di Aceh. Kita harus proporsional dalam melihat betapa isu ini sensitif tapi juga butuh pemilahan persoalan dasar – kalau tidak begitu, benang persoalan tidak akan terurai, dan akan selalu dialihkan menjadi tarung kepentingan/diskursus yang berbeda.


Jika memang kita tidak ingin ada Putri lain yang kelayapan dini hari di lapangan kota, mari Dinas Syariat Islam dan Dinas Pendidikan bekerja sama memanfaatkan anggaran yang ada untuk membuat kelompok-kelompok kreativitas dan pengajian remaja di Langsa. Dekati remaja-remaja putus sekolah di kampung seperti Putri untuk dibina ke dalam pelatihan ekonomi atau beasiswa. Lalu perketat ijin untuk menyelenggarakan konser musik tengah malam – kalau perlu pasang Polisi Syariah untuk memastikan aturan itu terlaksana. Berdayakan anak-anak perempuan negeri Aceh agar tidak lagi menjadi korban lemah dan rusaknya norma sosial.

Pertanyaan dasarnya adalah kemana sudah kemanusiaan yang menjadi fondasi dari cara kita bernegara dan mempraktekan aturan di masyarakat? Kekerasan dari aparat pemerintah dan bagaimana bahasa “moral” hanya diterjemahkan sebagai “stigma” dan “asumsi” akan menular ke dalam masyarakat yang memang sudah sakit. Alhasil, institusi yang tidak memiliki fondasi keadilan akan cenderung untuk mengorbankan siapapun yang bisa ditangkap, diadili, dihukum, atas nama segala sesuatu yang bermoral, suci, dan baik. Sementara itu, di luar sana, orang-orang yang baik mencoba bergelut dengan kehidupan mereka untuk tidak korupsi, tidak menghina agama atau suku lain, tidak menzalimi hak oranglain, dan tidak membunuh atas nama atau kepentingan apapun.

Maskulinitas dan Objek

Tewasnya Alawy adalah simbol betapa maskulinitas menjadi nilai yang dipahami sebagai sesuatu yang keren sekaligus destruktif bagi pemuda remaja. Masalahnya, maskulinitas kerap disimbolkan dengan kekerasan. Menjadi pria yang keren berarti harus memacu adrenalin dengan melakukan kekerasan, menimbulkan ketakutan terhadap lawan yang lebih lemah, dan menonjolkan kemampuan fisik.

Menurut Erich Fromm, ketika manusia tidak mampu untuk mencipta melalui kreasi dan produksi, manusia akan memilih mencipta dengan kekerasan. Ia mencipta ketakutan, teror, dan kehancuran. Ini adalah persoalan psikososial. Tawuran adalah persoalan psikososial: ia diwarisi, ditularkan, dipertunjukkan – dan akhirnya dipasrahi sebagai tontonan ibukota. Budaya kekerasan, khususnya di tingkat remaja, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti senioritas, pergaulan sosial, terpaan media dan industri hiburan, dan psikologis seperti latar belakang keluarga atau alienasi. Kemana polisi ketika tawuran yang dilakukan remaja itu berlangsung di hadapan wajah ibu kota? Di tengah jalan raya, siang-siang, ketika semua orang lalu lalang dengan kendaraan mereka?

Akhirnya, kekerasan jadi pertunjukan publik di segala lini dan lintas usia. Negara melakukannya melalui polisi dan tentara. Remaja melakukannya melalui tawuran antar sekolah. Suami atau kekasih melakukannya melalui perkosaan dan KDRT. Orangtua dan guru melakukannya melalui pukulan dan cacian. Masyarakat adalah korban dari masing-masing fenomena kekerasan: sebagai pengalaman terhadap dirinya sendiri, atau sebagai penonton melalui TV, lagu, film, video game, ataupun di jalanan kota sendiri.

Tawuran adalah bentuk kepengecutan kolektif yang dampaknya fatal. Adrenalin dan kebanggaan bodoh sesaat, lalu hilang. Maskulinitas mengejawantah dalam bentuk yang sekali hajar ramai-ramai atau dengan senjata tajam, sesudah itu hilang.

Apa benang merahnya dengan tragedi Putri? Putri adalah simbol dari bagaimana perempuan (apalagi remaja dari kalangan ekonomi bawah) menjadi objek dari maskulinitas institusi. Karena institusi tidak bisa menyentuh mereka yang punya ‘hak imunitas’, maka untuk membangun nilai moral bersama dimulai dari apapun yang bisa dilakukan. Tetapi apakah “apapun yang bisa dilakukan” atas nama moralitas harus dilakukan dengan diskriminatif? Harus dimulai dengan mengusir dulu lalat-lalat miskin yang berkerubung?

Tentu, institusi maskulin memproyeksikan soal agama dan moral dengan banyak pembenaran transendental. Ayat, hadist, dan sejarah diberondong sebagai senjata ke publik untuk mengatakan bahwa moral suatu bangsa terletak pada perempuan, dan karenanya bidik senapan aturan ke perempuan. Tetapi apakah kita ingin bernegara dengan menggunakan satu serpih saja dari begitu banyak dimensi kemanusiaan agama?

Begitukah cara kita membanggakan diri untuk menghukum seorang gadis yang katanya “binasa akibat ulahnya sendiri”? atau mendiamkan perkara itu dengan cukup berkomentar ia punya “dosa personal”? begitukah cara kita ingin bersyariat?

Alawy dan Putri hidup sebagai simbol, dan meregang nyawa akibat simbol itu. Alawy adalah murid SMA 6, yang disimbolkan sebagai ‘musuh’ oleh pelaku dari SMA 70. Putri adalah gadis yang nongkrong dini hari, karena itu disimbolkan sebagai ‘pelacur ABG’. Keduanya dianggap berhak untuk diusir – dibunuh atau dirazia. Pembelaan atas kematian Putri adalah cara institusi memandang kekerasan verbal dan psikologis. Longgarnya norma sosial di masyarakat dan absennya polisi yang membiarkan tawuran terjadi adalah cara bagaimana violence by omission itu dipraktekkan, menular menjadi pembiaran.

Pada akhirnya, kita hanya disisakan kontroversi dan ampas-ampas dari konflik kepentingan. Kita tak lagi melihat tiap manusia sebagai entitas yang penuh martabat, melainkan cukup dengan label “berdosa” atau “musuh”. Atas pembenaran itu, kekerasan selalu menang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun