Mohon tunggu...
Rizki Affiat
Rizki Affiat Mohon Tunggu... -

Rumit tapi sederhana, dekonstruktif dan (harus) produktif. http://rizkiaffiat.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

…Dan Gadis Itupun Menggantung Dirinya

15 September 2012   16:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:25 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13477439891880866533

[caption id="attachment_212610" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/Admin (Si Eka Tuh)"][/caption]

Polisi Syariah menuduhnya sebagai pelacur, tapi ia bersumpah tidak pernah menjual diri. Tiga hari kemudian, gadis 17 tahun itu tewas gantung diri karena malu.

Kematiannya pada 6 September lalu menjadi berita karena ia meninggalkan sepucuk surat testimoni.

Persoalan institusi yang mengatur moralitas dengan terlebih dulu memiliki ‘asumsi bersalah’ terhadap perempuan memang sudah menjadi bahan kritik dan kontroversi. Pada tahun 2010 lalu, Human Rights Watch sudah pernah melakukan studi lapangan dan publikasi tentang penyimpangan implementasi yang dilakukan Polisi Syariah di Aceh, yang mengakibatkan labelisasi sewenang-wenang, kekerasan komunitas, dan perkosaan oleh aparat Polisi Syariah terhadap korban yang terbukti tidak bersalah.

Apa daya, kritik dari Human Rights Watch dianggap ‘intervensi asing’ dengan seperangkat nilai liberal dan sekulernya, dan kritik dari kalangan masyarakat sipil di Aceh sendiri ditanggapi dengan pro dan kontra. Namun, pada tulisan ini saya tidak ingin menengok kembali pada perdebatan panjang soal penerapan Syariah Islam di Aceh. Bagi saya, ada lapisan diskursus lain dalam soal Aceh, identitas keislamannya, dan sengkarut politik identitasnya, sehingga itu perlu dikesampingkan dulu. Saya hanya ingin berbagi renungan tentang kasus bunuh diri yang menggemparkan ini – dan pertama kalinya tercatat dalam radar publik sebagai akibat penangkapan Polisi Syariah yang sewenang-wenang.

Pornografisasi Berita

Gadis itu berasal dari Birem Bayeun, Aceh Timur, dan ditangkap di kota Langsa yang tak jauh dari perbatasan dengan Medan. Seperti biasa, razia Polisi Syariah atau Wilayatul Hisbah (WH) di penjuru Aceh kerap menjadi santapan berita bagi media lokal, dan acapkali dituturkan dengan gaya yang agak lebih halus dari koran-koran kuning. Situs harian Serambi Indonesia memberitakan berita razia tersebut dengan judul, ‘Dua Pelacur ABG dibeureukah WH’ (http://aceh.tribunnews.com/2012/09/04/dua-pelacur-abg-dibeureukah-wh). Pemberitaan semacam ini memberi stigma instan pada perempuan-perempuan yang terazia dengan tuduhan yang tidak terbukti. Meski Polisi Syariah mengatakan bahwa sebagian para perempuan itu mengaku jual diri, tetapi bagaimana kita mengharapkan ada sebuah proses interogasi dan rehabilitasi terhadap mereka? Apalagi proses penangkapannya juga sama seperti Satpol PP merazia perempuan-perempuan malam, yang penuh dengan pelecehan dan intimidasi.

Saya teringat pada tulisan akademik bertajuk Women Narativising Genocide oleh Ronit Lentin tentang kasus perkosaan dan kekerasan seksual yang dialami perempuan Bosnia di masa perang. Dalam tulisannya itu, Lentin menggunakan istilah ‘pornografisasi korban’ untuk mengkritik cara media menggambarkan perempuan Bosnia. Dalam pemberitaan, perempuan Bosnia yang mengalami tragedi seksual ditampilkan – ironisnya – secara sensual, baik secara tuturan maupun tampilan foto.

Inilah yang kerap juga dilakukan oleh media massa dalam memberitakan tragedi kriminal (ataupun bahkan pelanggaran HAM) yang berupa perkosaan dan razia. Alih-alih memberi pendidikan publik bahwa kasus yang terjadi adalah perbuatan pidana atau tercela, media sering menggunakan bahasa yang memparodikan atau melecehkan penderitaan korban. Seolah, kisah yang dialami korban direkonstruksi secara tertulis menjadi tulisan berbau porno. Tak lain apalagi kalau tidak untuk menambah oplah, jumlah pengunjung situs, ataupun menghibur para pembaca berita yang (diasumsikan dan dibuat seolah) mayoritas pria (ya, dan segmen untuk ‘perempuan’ atau ‘wanita’ cukup ditaruh di satu bagian khusus tentang memasak, fashion, dan dandanan).

Akhirnya, kasus-kasus yang mendiskriminasikan perempuan menjadi bahan konsumen media, alih-alih menumbuhkan kepedulian yang serius terhadap ketidakadilan atas perempuan. Dalam teori labeling, label negatif yang disematkan publik kepada kalangan atau individu – benar atau salah – berdampak pada persepsi individu tersebut terhadap dirinya sendiri. Akhirnya sang korban menjadi benar-benar seperti apa yang dilabelkan, apalagi jika tuduhan tersebut dilakukan secara intimidatif sambil melecehkan korban.

Kasus bunuh diri si gadis tersebut memang menimbulkan reaksi dari kelompok gerakan perempuan di Aceh, termasuk Komnas Perempuan di Jakarta yang sudah melayangkan siaran pers mengecam kejadian tersebut. Maka itu, pemberitaan media yang imbang menjadi sangat penting untuk membantu memberikan opini publik yang mendidik.

Beberapa hari usai kejadian bunuh diri tersebut menjadi berita di media lokal, Bang Burhan mengabari saya bahwa ia baru mengunjungi rumah keluarga korban di Birem Bayeun, Aceh Timur, dan menulis sebuah berita feature untuk kasus itu. Bagi saya, tulisannya yang singkat dan padat itu memberikan gambaran yang jauh lebih humanis namun tetap berimbang terhadap kasus sang gadis. Ada aspek sosial dan ekonomi yang diangkat olehnya sekaligus juga versi Polisi Syariah, yang meski tidak mengarahkan pembaca, namun membuat pembaca berpikir lebih mendalam tentang tragedi tersebut. Bahasanya tanpa stigma, datar namun reflektif dan informatif. Saya pikir, tulisannya menjadi sangat penting bagi publik untuk mendapatkan berita yang lebih seimbang ketimbang sekedar straight news yang bias terhadap perempuan yang kerap ditampilkan di media.

Sistem Sosial yang Rusak, bukan Gadis itu

Si gadis yang dituduh Dinas Syariah Islam sebagai pelacur tersebut tak berkuasa melawan sistem. Ia hanya tamatan kelas 2 SMP. Tinggalnya pun di sebuah gubuk berukuran 4x4 meter dengan seorang ayah dan 2 saudara lelakinya. Ia bukan anak seorang pejabat atau orang berpunya yang masih bisa mengasingkan diri ataupun mencari akses menuju keadilan. Ia hanya seorang gadis yang menjadi korban sistem sosial – dini hari menonton konser musik keyboard di lapangan kota bersama kawan-kawan yang kemudian dirazia.

Si gadis itu tak berkuasa melawan Polisi Syariah – yang atas nama syariah (meski sering tidak mengikuti aturan syariah) bisa menuduh orang yang berzina atau pelacur hanya atas dasar penglihatan subjektif, jelas tak punya cukup uang untuk mencari hiburan lain yang lebih layak, atau mencari pergaulan yang lebih terjaga. Di lapangan itu, dini hari, semua orang bisa datang. Untuk seorang gadis miskin tanpa kerja dan tak melanjutkan sekolah, ia tidak punya pilihan dan tidak diberi pemahaman bahwa ia bisa memilih. Tapi si gadis berkuasa atas satu hal: nyawanya sendiri.

Dengan pemberitaan seperti itu, si gadis Langsa itu hanya bisa merasakan malu yang dalam dan akhirnya menulis sepucuk surat pada ayahnya sebelum meninggal, bersumpah bahwa ia tidak pernah menjual diri.

Kematiannya tidak hanya menguak persoalan kacaunya penerapan dan metode yang dimiliki Polisi Syariah dan semua institusi atas nama moral. Kematiannya adalah pucuk dari lapisan persoalan sosial dan ekonomi, yang mempengaruhi kontradiksi ‘aneh’ antara upaya mengkonservatifkan masyarakat Aceh dengan simbol syariah, dengan sudah rusak dan permisifnya nilai-nilai sosial itu sendiri di masyarakat. Mudah untuk mengkambinghitamkan ‘orang-orang Medan’ sebagai biang kerusakan ‘moral’ di Aceh. Tetapi persoalan pergaulan bebas, prostitusi, germo dan konsumen dari kejahatan seksual ini seperti endapan yang tak bisa usai hanya dengan melakukan razia para perempuan seolah mereka sekedar lalat yang berkerubung di tempat sampah.

Jika ingin melenyapkan ‘lalat’, kenapa tidak dibersihkan tempatnya? Sistem sosial yang permisif telah membiarkan lapangan publik mendapat ijin untuk melakukan konser musik sampai dini hari, di negeri yang konon Syariah itu, dengan penonton para ABG. Baru ketika mendapat pengaduan warga, Polisi Syariah datang seperti penyelamat moral yang main hantam ‘lalat-lalat’ kecil itu. Adakah Polisi Syariah mau membersihkan sampah utamanya? Menegakkan jam malam tidak hanya untuk perempuan tak berdaya, tapi untuk industri ‘bawah tanah’ yang dibacking aparat dan politisi, atau benar-benar menerapkan sosialisasi pendidikan Islami ke masyarakat dengan lebih simpatik?

Erich Fromm, dalam buku yang ditulis sangat kritis dan mendalam oleh Nur Iman Subono bertajuk Erich Fromm: Sang Psikoanalis yang Humanis, mengatakan dengan reflektif, bahwa individu yang sakit ditumbuhkan oleh masyarakat yang sakit. Masyarakat lah yang semestinya memenuhi kebutuhan dasar dan eksistensial individu untuk sehat secara mental dan produktif, bukan individu yang harus berkompromi dengan masyarakat yang sistemnya terkoptasi. Masyarakat sendiri didikte oleh sistem yang represif ataupun permisif, yang korup maupun yang humanis.

Kasus gadis Langsa yang gantung diri menjadi simbol. Dalam derajat yang berbeda namun substansi yang sama, pilihannya untuk bunuh diri selintasan seperti Sondang yang membakar diri di depan Istana Negara beberapa waktu silam. Kematiannya mengindikasikan kekecewaan yang mendalam: Sondang secara langsung terhadap Presiden SBY dan sistem negara ini, gadis Langsa yang lugu itu melakukannya tidak langsung melalui rasa malu di dirinya sendiri, sebagai kekecewaan atas sistem. Keduanya tak kuasa melawan sengkarut itu. Sang gadis yang terstigma mungkin tidak heroik seperti Sondang, tetapi ada jalinan kekuasaan yang bertujuan untuk mengakhiri secara brutal kenyataan sosial yang tidak adil. Surat yang ditulis si gadis kepada sang ayah menunjukkan bahwa si gadis sadar kematiannya harus meninggalkan pesan karena masih ada kehidupan yang akan kehilangan dirinya – di sana, di dunia yang tak ia kenal, suratnya adalah narasi atas ketidakadilan itu sendiri.

Dan dari kematian yang sepi dan tragis itu, penguasa moral akan tetap melanjutkan perburuan lalat-lalat kecil, sementara sampah semakin menumpuk di balik sajadah…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun