Berbicara tentang transisi energi tentu banyak opsi pilihan yang dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar migas sebagai sumber energi saat ini. Beberapa kandidat sumber energi bersih ramah lingkungan mulai dikembangkan dan dikomersialkan seperti energi matahar, energi angin dan salah satu sumber energi bersih yang sudah lama digunakan tentunya energi nuklir
Energi nuklir dihasilkan dalam proses reaksi nuklir yang umum dilakukan pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), inti atom bermassa berat akan dipecah untuk menghasilkan energi dengan menembakkan neutron ke inti atom yang selanjutnya akan memecah atom tersebut menjadi beberapa atom dengan unsur yang berbeda dengan unsur sebelum terjadi tumbukan yang selanjutnya peristiwa ini disebut sebagai reaksi fisi (pemecahan).
Atom yang dipecah tadi selain terbagi menjadi beberapa unsur, atom yang intinya pecah akan melepaskan neutron yang akan menumbuk inti atom lainnya dan akan memecah inti atom tersebut. Peristiwa ini akan terus berulang sehingga kita bisa sebut peristiwa ini sebagai reaksi berantai.
Hasil pecahan inti atom yang jika kita timbang secara atomik ternyata terdapat selisih antara massa inti atom awal dengan massa atom pecahan hasil reaksi. Selisih tersebut terhitung lebih sedikit dari massa atom awal sebelum reaksi.Â
Setelah diteliti dan ditelusuri ternyata massa inti yang hilang tersebut telah diubah menjadi energi yang dilepaskan dari proses reaksi fisi yang mana energi ini akan digunakan untuk memanaskan pendingin reaktor.
Dalam PLTN, kita tidak memanen energi listrik secara langsung dari reaksi fisinya melainkan melalui perantara yaitu pendingin (coolant). Pendingin pada reaktor nuklir umumnya berupa air, namun juga bisa berupa air berat, liquid helium, liquid sodium, dan bisa juga berupa gas seperti CO2.Â
Pendingin tersebut digunakan sebagai alat untuk memindahkan panas dari inti reaksi nuklir yang kemudian ditransfer menuju generator listrik untuk menghasilkan listrik.
Pada reaktor nuklir yang menggunakan pendingin air, air yang dipanaskan tadi akan menguap dan dan uapnya akan digunakan untuk memutar turbin generator sehingga energi listrik dapat dibangkitkan.
Jumlah ketersediaan bahan bakar nuklir di Indonesia seperti uranium dan thorium yang digunakan PLTN untuk membangkitkan energi terbilang cukup besar. Menurut BATAN, jumlah ketersediaan bahan baku nuklir Indonesia mencapai sekitar 81.090 ton uranium dan 140.411 ton thorium.
Meski energi yang dapat kita dapatkan dari reaksi nuklir sendiri terbilang sangat besar serta ketersediaan bahan bakar nuklir di Indonesia melimpah, namun pembangunan reaktor nuklir untuk PLTN tidaklah murah.Â
Hal ini dikarenakan banyak aspek yang harus diperhitungkan dalam pembangunannya seperti aspek keselamatan, pengelolaan sampah nuklir, tenaga yang harus ahli dibidangnya turut menambah beban anggaran yang ada untuk pembangunan PLTN.
Berbagai inovasi mulai dikembangkan dalam rangka untuk menciptakan sumber energi bersih yang ramah lingkungan serta dengan biaya investasi yang murah. Oleh karenanya teknologi nuklir menawarkan Small Modular Reactors (SMRs) yang merupakan inovasi pembangkit listrik tenaga nuklir yang bisa dibilang secara finansial jauh lebih efisien dan investasi jauh lebih murah dari biaya investasi PLTN konvensional saat ini.
SMRs memiliki daya yang dapat dibangkitkan hingga 300 MW per unit sekitar sepertiga daya rata-rata reaktor nuklir konvensional saat ini. Ukurannya yang kecil membuat teknologi SMRs untuk PLTN mempunyai keunggulan yang fleksibel dalam penginstalasiannya. Hal ini tentunya selain mengurangi tantangan finansial juga akan memudahkan dalam proses pengoperasiannya sehingga dapat meminimalisir resiko dari reaktor nuklir itu sendiri.
SMRs menawarkan berbagai keunggulan dibanding sumber energi yang lain atau PLTN konvensional diantaranya dapat diletakkan dengan lahan yang sangat minim dibanding dengan PLTN konvensional bahkan jika listrik 1000 MW dibangkitkan dari SMRs itu hanya membutuhkan kurang dari 1% lahan yang digunakan untuk membangkitkan jumlah listrik yang sama oleh tenaga surya, biomassa, angin dan air.
SMRs bersifat modular yang mana modul SMRs dapat dirakit di pabrik yang kemudian diangkut ke lokasi instalasi yang secara substansial dapat mengurangi biaya dan waktu konstruksi serta dapat ditambah kapasitasnya dengan mudah seiring bertambahnya permintaan.
Desain SMRs yang dikembangkan dapat dengan mandiri mengatur kondisinya ketika terjadi situasi abnormal yang memungkinkan SMRs dapat melakukan tindakan preventif untuk meminimalisir kerusakan dan resiko lebih parah tanpa harus membutuhkan intervensi manusia dan progam komputer.
Situasi abnormal pada reaktor akan diatasi sendiri oleh reaktor dengan memanfaatkan sistem keselamatan pasif yang mengandalkan hukum alam fisika untuk mematikan atau mendinginkan reaktor ketika situasi darurat terjadi. Sistem perlindungan pasif ini akan menjawab tentangan pembangunan reaktor nuklir di wilayah geografis yang rawan terkena bencanan alam seperti Indonesia
SMRs juga menawarkan sebuah solusi dimana akan menjawab keraguan publik mengenai pengelolaan limbah nuklir. SMRs dirancang untuk memiliki kemampuan pengisian bahan bakar yang menakjubkan yang saat ini masih tahap pengembangan.
Reaktor yang dalam pengembangan nantinya perancangannya dibuat sedemikian rupa sehingga SMRs dapat memproduksi energi dengan hanya sekali pengisian dalam tiga sampai tujuh tahun bahkan dalam sebuah perancangan digadang-gadang dapat mencapai 30 tahun, jauh lebih efisien dibanding PLTN konvensional yang butuh satu sampai dua tahun untuk sekali pengisian.
Lombah nuklir sering kali menjadi sorotan aktivis lingkungan ketika membahas tentang pembangunan dan pengoperasian PLTN. Oleh karena itu, SMRs menawarkan sebuah daur sistem daur ulang limbah nuklir yang dapat menekan jumlah penambangan uranium atau thorium sebagai bahan baku utama reaktor nuklir.
Pembuangan limbah nuklir juga dapat ditekan yang mana pengelolaan limbah dapat dilakukan secara berkelanjutan. 96% limbah nuklir merupakan sumber energi yang masih bisa digunakan. Pemanfaatan kembali dapat mengurangi sekitar 25% ketergantungan pada uranium.
Kondisi Indonesia yang berdinamika serta memiliki wilayah yang luas membuat tantangan transisi energi di Indonesia semakin besar. Pemanfaatan SMRs dalam program net zero carbon dapat dilakukan sebagai upaya perwujudan sumber energi baru yang ramah lingkungan.
Keterjangkauan serta fleksibilitas yang dapat disesuaikan dengan kondisi geografis Indonesia menjadi peluang dalam mengembangkan teknologi energi nuklir di Indonesia.Â
Hal lain yang sangat menguntungkan adalah SMRs dapat juga dijadikan sumber energi untuk desalinasi air laut untuk ketersediaan sumber air bersih di Indonesia yang di beberapa wilayah terutama daerah 3T belum dapat dikatakan layak.
Keunggulan yang banyak ditawarkan oleh SMRs selayaknya menjadi salah sat opsi transisi energi bersih di Indonesia. Sumber daya alam yang melimpah serta kualitas SDM yang semakin maju tentu harus dimanfaatkan dengan baik. Pemilihan SMRs sebagai sumber energi bersih tentu selain sebagai salah satu sumber transisi energi bersih, SMRs akan menjadi alat dan transisi kemandirian teknologi nasional yang lebih mandiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H