Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan pernah menjadi buku besar yang diperbincangkan oleh khalayak pada masanya. Sebenarnya buku yang ditulis oleh Yasraf Amir Piliang, seorang Profesor di FSRD ITB, pertama kali terbit pada tahun 1998 dengan judul Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga.Â
BarangkaliKetika saya membacanya di tahun 2021, buku ini sudah rilis hingga edisi keempat pada tahun 2020. Mungkin bisa dikatakan bahwa saya merupakan seorang pembaca yang "terlambat" karena berbagai persoalan kebudayaan yang dibahas di dalamnya seakan-akan telah terjadi di masa kini. Tentu telah banyak perubahan sosial-budaya sejak pertama kali terbitnya buku ini. Namun jika kita membicarakan konteks, buku ini tetap layak dinikmati sebagai bekal pengetahuan untuk terlibat pada perkembangan jaman.
Jika kita pernah mendengarkan lagu---atau lebih tepatnya puisi---dari FSTVLST yang berjudul Hal-Hal Ini Terjadi, maka akan ditemukan lirik "Di masa kau terlahir, orang-orang tidak bertegur sapa seperti manusia. Setiap mereka mempunyai wakil berupa angka atau kode yang dengannya setiap mereka bisa menjadi siapa saja yang bukan dirinya, dan bertemu dengan siapa saja yang sebenarnya tidak ada. Daging bertemu daging tidak lagi penting. Hati bertemu hati tidak lagi sejati. Kau terlahir di masa maha palsu."Â Dari narasi ini seolah-olah kita dihadapkan pada realitas bahwa seseorang tidak lagi menganggap penting sebuah pertemuan, kecuali pertemuan bersama manusia yang diwakili wujudnya dalam bentuk simbol atau kode melalui jejaring virtual. Dalam bagian lirik yang lain, akan ditemukan beberapa argumen dalam puisi tersebut yang dalam beberapa bagian sama dengan argumen filosofis yang ada dalam Dunia yang Dilipat.
Sebagai seseorang yang lahir pada jaman di mana wartel (warung telepon) masih banyak digunakan, saya tertarik dengan istilah metaforis Dunia yang Dilipat, yakni sebuah dunia di mana "... melipat waktu artinya memperpendek jarak waktu dengan meningkatkan kecepatan atau memperpendek durasi. Melipat ruang artinya memperkecil jarak ruang dengan cara memperpendek waktu tempuh di dalam ruang itu" (halaman 39). Pada jaman ini, kita hidup di mana mendiskusikan pekerjaan tidak melulu harus bertatap muka, mengajar murid-murid tidak harus di kelas secara real time, belanja tidak harus beranjak dari kursi kesayangan, dan mencari hiburan tidak harus beranjak dari tempat tidur. Dunia yang Dilipat adalah sebuah dunia yang mengalami percepatan ekstrem dengan pola yang instan. Perkembangan jaman menuntut dunia untuk selalu efisien dengan mengikuti logika kecepatan ini. Di dalamnya orang-orang berusaha mengikuti logika percepatan ini yang menyebabkan mereka menjadi riuh dan tergesa-gesa, tanpa mendapatkan kesan atau makna yang mendalam---yang mereka dapatkan hanyalah pola keseketikaan dengan pemaknaan yang dangkal.
Manusia menilai realitas virtual melebihi realitas itu sendiri---mereka larut dalam kenyataan yang disimulasikan oleh media. Simulasi ini melibatkan berbagai citra buatan yang menyebabkan suatu fenomena melebihi "kadar" realitasnya sendiri; kenyataan yang direpresentasikan di dalam media melebihi kenyataan itu sendiri. Segala realitas yang digambarkan dalam buku ini merupakan abnormalitas yang menjadikan berbagai fenomena dalam bentuk tontonan sebagai suguhan kesenangan. Berbagai tontonan ini dijadikan sebagai rujukan kehidupan manusia dalam memperoleh nilai-nilai kehidupan. Dengan kata lain, realitas dalam tontonan berhasil mengkonstruksikan realitas alamiah manusia. Pada dasarnya, buku ini mencoba menggambarkan proses lenyapnya realitas akibat logika kemajuan dan kecepatan pada era pasca-modernisme.
Sebagai pembaca, kita tidak harus membenarkan klaim-klaim pengetahuan yang disampaikan oleh penulis dalam menggambarkan suatu fenomena kebudayaan. Kita harus jeli melihat bahwa teks merupakan produk wacana dari subjektivitas penulis. Artinya, sebuah teks merepresentasikan posisi ideologis sang penulis. Aktivitas pembacaan menjadi penting untuk menilai suatu teks dalam menggambarkan realitas kontemporer yang tampak objektif, padahal sebenarnya subjektif. Tentunya terdapat pretensi keberpihakkan penulis berdasarkan posisi ideologisnya, namun hal ini tidak akan menjadi masalah ketika pembacanya membaca isi teks tersebut dengan pikiran yang terbuka.
Persoalan mendasar yang ada pada buku ini adalah banyaknya pengulangan kata pada beberapa kalimat di berbagai subbab. Pengulangan yang membosankan ini bagaikan Sisifus yang dikutuk untuk mendorong batu ke puncak gunung, namun harus menyadari kenyataan bahwa batu yang didorongnya tersebut akan kembali menggelinding ke bawah. Pengulangan kata ini membuat pembacanya merasa jenuh, meskipun tema yang diusung dalam berbagai bab maupun subbab itu memiliki keunikannya masing-masing. Cukup sulit memosisikan diri untuk membaca buku ini. Dunia yang Dilipat bukanlah sebuah buku ilmiah yang menggunakan metodologi penelitian empiris sebagai alat untuk menguji berbagai argumentasi di dalamnya. Bukan pula sebuah buku sastra meskipun di dalamnya berisi kalimat-kalimat yang puitik. Buku ini akan lebih tepat dikategorikan sebagai sekumpulan petuah yang berisi klaim-klaim kebenaran dalam pengetahuan postmodernisme yang dalam banyak pemikirannya diambil secara eklektik dari tokoh-tokoh postmodernisme, seperti Lyotard, Foucault, Jacques Lacan, Derrida, Kristeva, bahkan dalam banyak hal mengambil beberapa istilah yang khas dari Baudrillard.
Jika boleh menilai, saya akan mengatakan bahwa kecenderungan penulis adalah sebagai seorang "Baudrillardian yang religius". Dalam membahas obesitas informasi, Yasraf mengungkapkan "..tidak saja citraan-citraan di dalam media, akan tetapi dunia sehari-hari kita pun sudah berubah menjadi citraan-citraan" (halaman 171). Baginya, segala sesuatu kini mengalami pengkerdilan, pereduksian, dan pendangkalan. Namun berbagai citraan kenyataan yang muncul melalui berbagai informasi ini hadir dengan tempo kecepatan yang tinggi; yang membuat seseorang mengalami kekenyangan atau "obesitas informasi". Istilah obesitas ini adalah istilah metaforis yang digunakan Baudrillard dalam menggambarkan fenomena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Banyak sekali istilah-istilah atau gagasan Baudrillard yang digunakan oleh Yasraf dalam memaparkan argumentasinya, seperti simulacra, hiperrealitas, masyarakat tontonan, masyarakat konsumsi, citra, nilai tanda dan lain-lain---dan hal ini pun terjadi pengulangan dalam banyak kalimat di berbagai subbab.
Dunia yang Dilipat tidak memiliki konsistensi dalam klaim kebenaran pengetahuannya karena dari satu subbab menuju subbab yang lainnya cenderung bersifat tidak teratur. Tidak teratur di sini berarti dalam berbagai subbab yang membahas tentang fenomena tertentu memakai berbagai sudut pandang dari berbagai tokoh posmodernisme. Namun tetap ada kategorisasi menjadi tiga bab besar, yaitu melipat waktu, melipat ruang, dan melipat tanda. Satu kejelasan yang dapat saya tangkap dari pembacaan saya atas buku tersebut hanyalah upaya penegasan posisi ideologis sang penulis dalam memandang dan menilai realitas kontemporer. Di sini Yasraf memosisikan diri dalam pemikiran posmodernisme ekstrem, namun di sisi lain mencoba mempertahankan (atau mungkin mengembalikan?) status quo---seperti upaya memunculkan identitas otentik dalam konteks lokal dan nasional; dan spiritual keagamaan besar yang konvensional. Di satu sisi, Yasraf menyepakati argumentasinya tentang pluralisme identitas, sesuai dengan gagasan postmodernisme yang merayakan narasi-narasi kecil. Namun di sisi lain Yasraf juga mencoba untuk menegaskan keotentikan identitas dalam konteks lokal maupun nasional yang memiliki "konsensus sosial". Baginya, identitas tanpa sebuah konsensus atau klaim kebenaran universal yang disepakati secara sosial merupakan identitas yang "antisosial". Di sini terdapat kesimpangsiuran argumentasinya secara anarki dan tidak konsisten.
Yasraf memandang manusia sebagai objek pasif---sebagaimana benda yang hanya dapat bergerak jika digerakkan oleh manusia. Hal ini ditandai melalui pembahasannya mengenai "kematian subjek", yang tidak lain merupakan representasi dari permusuhan ideologis sang penulis dengan fenomena kebudayaan yang terjadi dalam era kontemporer yang menurutnya fatalis dan nihilis. Nampaknya Yasraf melupakan bahwa manusia memiliki kehendak dan otonomi atas dirinya sendiri untuk memosisikan diri dalam konteks perkembangan jaman. Dalam artian bahwa manusia tidak bisa direduksi dalam sistem kebendaan.Media bukan berarti mampu berkehendak secara otoritarian, namun manusia dan media memiliki hubungan yang timbal balik. Pada akhirnya, saya tidak menemukan kejelasan posisi ideologisnya dalam memandang realitas kontemporer melalui corak pemikirannya yang postmodernisme sekaligus konvensionalisme.
Terlepas dari itu semua, Yasraf akan membawa kita untuk menjelajahi fenomena kebudayaan yang menarik untuk dibahas melalui berbagai disiplin keilmuan, seperti filsafat, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan bahasa. Meskipun pembahasannya kurang memiliki fokus pada persoalan tertentu, namun inti persoalan yang diusung oleh Yasraf membahas tentang realitas kebudayaan kontemporer yang membuat berbagai tragedi kebudayaan menjadi banal. Yasraf nampak melarikan diri dari persoalan yang diusungnya tanpa memberikan suatu solusi apapun. Namun tentunya Yasraf memberikan beberapa pencerahan yang dapat menjadi bekal bagi kita untuk menghadapi realitas kontemporer, seperti yang ada di dalam Dunia yang Dilipat. Dalam hal ini, kita akan bertamasya melampaui batas-batas kebudayaan, meskipun penjelajahan kita akan berujung pada paradoks berkepanjangan---sesuai dengan tatanan paradoksial dalam Dunia yang Dilipat.