Hal ini sama seperti kita sewaktu kecil. Kita waktu kecil cenderung mengambil sikap dari orang-orang yang kita amati. Dulu sewaktu kecil, adik saya sering berpura-pura menjadi Spiderman. Dia sering melata di lantai dengan menggunakan topeng Spiderman. Dari fenomena kecil ini, kita bisa berasumsi bahwa adik saya ini sedang mengambil peran Spiderman setelah dia menonton film Spiderman.Â
Hal inilah yang dinamakan Tahap Sandiwara, di mana anak kecil berusaha membangun sebuah diri melalui peran yang diambil untuk dirinya sendiri dan kemudian merepresentasikannya. Aktivitas meniru lalu merepresentasikannya inilah yang menurut Mead (1934/2018: 288) adalah aktivitas terorganisasi yang di dalam sifat seorang anak mengendalikan respons tertentu yang memberi kesatuan dan membangun diri miliknya sendiri.
Baca juga:Â Konsep Diri Menurut Plotinos
Kemudian tahap selanjutnya adalah Tahap Permainan. Di sini anak-anak bisa mengambil peran yang berbeda-beda. Dia juga pasti mengerti untuk mengambil tindakan sebagaimana peran yang dia mainkan. Hal ini tercermin pada permainan masa kecil, misalnya permainan kasti, bintang mas, petak umpet, dan lain-lain. Kita ambil contoh permainan petak umpet, meski di dalamnya hanya terdapat dua peran yang berbeda. Namun setiap anak mengerti dan memahami peran yang lain dan kemudian menyesuaikan tindakannya sesuai dengan peran yang dia peroleh.
Setelah masa perkembangan anak, kita akan mulai masuk ke dalam Tahap Permainan dari konsep diri Mead yang lain, yakni Generalized Other atau sikap dari suatu kelompok. Di sini kelompok akan mengatur sikap-sikap individu agar selaras dengan sikap kelompok tersebut. Dari sini kita akan mengaitkannya dengan konsep Aku Sebagai Subjek (I) dan Aku Sebagai Objek (Me).
Individu sebagai I adalah konsep diri yang kreatif; yang bisa melakukan perubahan. Sedangkan individu sebagai Me adalah konsep diri yang cenderung menerima sikap-sikap dari orang lain secara teratur.Â
Misalnya ada seseorang yang masuk ke dalam suatu organisasi. Organisasi tersebut mengarahkan sikap-sikap orang itu agar sesuai dengan visi dan etika yang ada di dalam organisasi tersebut. Dalam hal tersebut orang itu menggunakan diri sebagai objek (Me), sehingga dia akan berusaha bersikap konformis dengan sikap-sikap yang ada di dalam organisasi tersebut.
Ketika dia sudah selaras dengan Generalized Other, dia bisa merepresentasikan dirinya secara otomatis kepada orang lain melalui nilai-nilai yang sudah tertanam di dalam dirinya sendiri. Individu sebagai I juga merupakan suatu perwujudan diri. I tidak bisa diprediksi karena I ada di dalam ingatan seseorang.Â
Selain itu, di dalam diri individu selalu ada proses-proses sosial yang senantiasa mengalir di dalam I dan Me. Nilai-nilai yang seseorang peroleh melalui Me akan disaring dan tertanam dalam diri, kemudian dia akan merepresentasikan nilai-nilai itu melalui I. Nah, dari sinilah diri terbentuk.
Di dalam suatu masyarakat, individu akan mengarahkan tindakan sosialnya dengan cara bersikap konformis terhadap proses-proses sosial yang ada di dalam tubuh masyarakat yang mana dia menjadi anggota dari masyarakat tersebut.Â
Baca juga:Â Kiat Membangun Konsep Diri Positif pada Anak Usia Dini