Seharusnya kepemilikan ramai, mobil, jalan, lampu tengah malam, lampu merah, pintu minimarket dan gemerlap kleb malam sadar bahwa kita adalah awan mendung yang memenuhi basah lantai hotel dan mengotorinya dengan campakan kesadaran.
Aku berkesempatan paham, dan kau yang kembali menyusuri tulisanku dengan harapan berupa kesenangan; namun yang kau temukan hanyalah lawang ujung yang bertepi kematian.
Aku dan kau berpisah tanpa bertukar pandang; tanpa meninggalkan pesan. Kau kembali patuh terhadap ucapan tukang moral, jelmaan nabi jaman sekarang, yang menerima wahyunya demi keselamatan pribadi dan meninggalkan hidup dengan kebahagiaan. Sedang aku kembali murung di selasar doamu yang tak sampai, hingga kutemui gorengan yang terduduk sejajar di etalase angkringan, kumakan serta kubungkus kesedihan untuk makan malamku dengan manusia yang dihunus kesia-siaan. Kemudian aku pulang melewati jembatan surga yang digusur sepi kemuraman, menghindar dari kepatuhan hari yang dihujat lingkaran kepalsuan.
Sungguh, pendisiplinan dan kepatuhan merupakan kebiadaban yang memberikan kemapanan.
Dan kita yang terduduk layu di hadapan otoritas industri, memahami keji dan memandangi jalanan: banyak kebut yang saling berseru untuk saling menikam dalam komedi pasar malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H