Ketika waktu berhenti, kota dan air mata menghapus jejakmu. Saksikanlah betapa kota beserta gedung yang menjulang nampak murung tanpa kehadiranmu, sebagai makna kehidupanku.
Dengan apa aku bersusah-payah menepi di ujung petang; di balik sorot pandang orang-orang; di beranda ruangan yang jauh dari riuh.Â
Apakah aku harus kembali menyusuri lorong pencarian tuk menyapa dirimu di dalam kesementaraan waktu?
Sudah berapa dekade aku harus duduk termangu, menepi dan berlindung dalam ruangan dari tumpukan hujan? Apakah aku harus kembali membunuh kesunyian sampai beberapa dekade yang akan datang? Genap sudah kuhitung; abad menghampiriku; lamunan yang kau buyarkan dengan tamparan kesenyapan.
Satu kali aku bermimpi denganmu dalam hitungan; ketakutan diguyur hujan; dan belum menemui kepastian. Belum lagi keintiman dalam berbagai candaan.
Aku, telah terbelenggu dengan rasa yang kau penuhi dalam isi kepalaku. Aku, yang kau samaratakan dengan keinginan rasamu; bersama riuh hujan dan keheningan malam: aku mendengar sapamu dalam bayang-bayangmu di dalam lamunanku yang membisu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H