Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Suka makan ikan tongkol

Hari ini adalah besok pada hari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Refleksi Satu Hari

15 Februari 2020   22:41 Diperbarui: 15 Februari 2020   22:57 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah kulepas jaket-jaket kemusnahan dari hiruk-pikuk seharian, lepas sudah kekesalanku terhadap hidup semu lalu-lalang tak bersapa. Selama yang tak beberapa lama itu dan masih panjangnya perjalanan itu, kudapati dengan melihat dan mendengar.

Di persimpangan malam, kunyalakan mesin kehidupan melalui asap rokok yang membumbung kelam; bersamaan dengan sekumpulan orang pemuda yang tertawa berbasis binasa.

Mereka adalah bekas-bekas pemabuk yang dahulu keluyuran sepanjang malam dan menikmati wanita menggunakan matanya; menggerayangi kehidupan melalui otak dalam kelaminnya; berjalan tergopoh tak ada orang yang menyantuni; sampah masyarakat yang terbuang dari perputaran roda mesin kehidupan industri di kotanya.

Terlebih pemuda dengan kebingungan spiritualnya dan kebingungan keyakinannya, menenggak dusta dengan berbicara tidak menggunakan akal sehatnya. Apakah dari kebingungan tersebut dapat melahirkan dasar-dasar kepastian?

Para pria pulang malam membawa hutang yang diangkut dari ruang perjudian sebagai bukti bahwa kehidupannya memang keras. Sang istri menunggu di ruang depan dengan anak berusia lima bulan di gendongan karena hamil di luar nikah. Mereka adalah pasutri muda dengan budayanya yang masih menganut nilai-nilai lama; kebiasaan patriarki dan hegemoni lelaki sebagai raja rumah tangga.

Di tengah hiruk-pikuk jaman; di balik debu dan asap kendaraan yang membutakan, telah banyak tempat yang tidak patut. Taman-taman ditiadakan untuk sebuah proyek pembangunan maksimal, serta industri yang menyelimuti ruangan dan seisi kota. terlampau jenuh pohon-pohon yang tertinggal, untuk berfotosintesis pun mereka harus bungkam oleh kondisi udara. Kini yang tersisa hanyalah ada yang akan menjadi tiada.

Sebuah refleksi pada sebuah polarisasi dan dinamika kehidupan modern. Dipersempitnya ruang bergerak oleh terkoyaknya kemerdekaan individu untuk memperoleh kekayaan, menjadikannya bagai manusia yang tidak bisa hidup tanpa perlombaan.

Kita tak bisa berdiri atas kehendak sendiri, menghasilkan kuasa atas kehendak yang mutlak. Kita hanya perlu melahirkan diri sendiri; melahirkan perenungan atas apa yang terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun