Tepat di persimpangan, aku dipertemukan dengan sepi yang mencekam. Kutelusuri lorong-lorong suasana, dan waktu; yang kutemukan hanya gunung yang diselimuti maya biru.Â
Sorot bayanganmu terbiaskan oleh cahaya terik, hingga aku terpekik, pada macam-macam kenyataan pelik.
Kita berada dalam komedi keindahan, selaras dengan kejauhan yang memperindah pemandangan.
Namun keindahan telah buram oleh asap-asap kendaraan, debu-debu jalanan, dan semua kebudayaan destruktif yang memprihatinkan. Keserakahan dan kedamaian saling meniadakan; kerusakan oleh nafsu peperangan; kau dan aku meniadakan kejujuran, pada perasaan.Â
Kabut puitis, dan malam-malam mistis, menemukan kita di antara dialog dan polemik; hujan menghukum kita, pada selayang pandang, dan memaksa untuk dipertemukan.
Beginilah kita; sebagai pengembara dan bayangannya, raga dan kejiwaannya. Tersesat, tersekat, berharap dekat dan melekat. Hingga akhir dunia kita terhempaskan, oleh bencana dan peperangan, oleh peradaban tak berkebudayaan, cinta kita berdiri tegak, di antara kemungkinan dan ketidakpastian.