Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Suka makan ikan tongkol

Hari ini adalah besok pada hari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ingatanku Berulang

22 Desember 2019   00:00 Diperbarui: 22 Desember 2019   00:07 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepada semesta yang mengundangku dengan rayuan, terhimpun sebuah kenangan yang berembus bersama angin. Telah kutengadahkan kepalaku di bawah langit, kurapal doa dengan sayup-sayup tangis, haru, dan bahagia. Oh, Cinta, mengapa mesti kita berjumpa, kita tercipta. Bagai ambisi yang tak bisa dinyana, penolakanku tentang hari tua tak mesti tersampaikan. Kecantikan alam dan obyek keindahan saat ku pertama kali membuka mata, begitu tenang dalam pelukmu. Terlintas sekejap; stratum hermeneutika atas ekses kebahagiaan dan batas teleologis hanya mempertajam kegelisahanku terhadap waktu. Aku teringat pada lampu gemerlap; kau kasihkan belaian jari manismu di pipiku, kau cium aroma murniku dengan cintamu, kau peluk aku sebagai manusia yang baru. Kau biarkan jantungku berdetak, kau biarkan jiwaku bergejolak, kau biarkan aku tumbuh dengan giat.

Tersapa tatapanku oleh bujuk rayumu, kau kalungkan tanganmu pada kedua tubuhku. Tapi itu dulu. Sekarang aku berjalan tak ada orang yang menyantuni dalam perputaran roda industri. Bukankah aku buta terhadap warna-warna? Engkau pasti tahu itu. Menjelang petang, kuharap malam datang bersama insan yang kurindukan. Malam ini aku merasa mesra, namun kosong. Kuterka kehidupan yang angkuh; betapa sunyi hidupku, dan penciptaanku tanpa ada kau di sisiku. Telah kugambarkan kehidupan, kini, bagai terpenjara; dalam kurungan besi tanpa harapan. Aku sayu, melangkah walau kehilangan arah. Kembali dalam sepi, menjauh dari riuh dan bersimpuh di keheningan. Aku lelah, bersandar pada tembok yang menjulang, indah, berharap tenang dalam kasihmu. Aku termenung, tengadah kembali ke langit malam; kosong, sepi. Selaksana peristiwa, kita saling menatap dan menetap di bawah atap yang sama. Aku pergi membawa bahagia, meski kupulang membawa duka. Dalam duka ini, aku bersumpah, sependek apapun ingatanku, aku akan selalu mengenangmu, abadi, dalam surgaku nanti.

Selamat hari ibu; tentang deru haru dan rindu yang berpencar menjadi satu. Tentang genggaman yang menyatu dalam pasung air matamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun