Seorang teman semasa sekolah tidak membalas sapaanku di salah satu media komunikasi elektronik tanpa sebab yang jelas. Sejak itu aku berfikir bahwa basa-basi hanya pintu menuju suudzhon,maka kuputuskan untuk tidak lagi berbasa-basi menanyakan kabar dengan orang lain.
Esoknya, seorang kakak kelas semasa sekolah menyeberang jalan hanya untuk menegurku dan menanyakan kabarku. Aku terharu.
Maka aku tersadar, basa basi mungkin perlu walau tidak semua orang menyukainya.
Seorang teman semasa sekolah menceritakan masalahku pada orang lain, menceritakan tentang aku kepada teman lain yang bagiku terdengar seperti adu domba. Sejak saat itu kubentuk diri untuk tidak berteman terlalu dekat dengan siapapun.
Di tingkat sekolah yang lebih tinggi, cerita rahasia terucap tanpa sengaja. Dan masalah itu tak pernah terdengar ke mana-mana walau kami tidak pernah berjanji secara resmi untuk tidak menyebarkannya.
Maka aku tersadar, persahabatan memang ada.
Seorang wanita memakiku karena kesalahan laki-lakinya. Sejak itu aku tahu, tak pernah ada wanita waras karena cinta.
Wanita lain mengajarkanku, “seperti hati dan otak, nurani dan akal pikiran pun berjarak, emosi mendekatkannya”
Maka aku tersadar, logika tak bisa dipaksa hadir di dunia cinta buta.
Saat lelaki menghancurkan dunia sempurna impianku., sejak itu aku mengerti, mungkin karena itu kaumku meneriakkan emansipasi.
Lelaki lain menarikku dalam dunia tidak sempurnanya.
Maka aku tersadar, ini tak ada hubungannya dengan emansipasi, ini hanya tentang menjadi laki-laki yang tak sesempurna nabi tapi berusaha mengikuti ajarannya.
Dunia memberikanku hitam, dunia memberikanku putih.
Sang Maha Tahu mengizinkanku belajar dari itu semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI