Mohon tunggu...
Rizki Rana Kusumah
Rizki Rana Kusumah Mohon Tunggu... Lainnya - -

cogito ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjaga Kesehatan Mental Mahasiswa Baru dengan Berfilsafat

5 September 2020   13:02 Diperbarui: 5 September 2020   13:36 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku hanya ingin ketenangan
Bukan rumah, uang, atau ketenaran
Aku hanya butuh ketenangan
Ia sangat jauh, hanya angan-angan

Aku hanya ingin ketenangan
Tanpa kabar, panggilan, dan pertemuan
Aku hanya butuh ketenangan
Menghilangkan diri dari keramaian

Potongan lirik di atas merupakan milik band Hindia yang kini sedang naik daun di kalangan para remaja. Lagu “Evakuasi” merupakan bagian dari album Menari dengan Bayangan yang memang mengangkat tema mental health atau kesehatan mental. 

Setiap orang pasti memiliki tujuan hidup, salah satunya seputar pendidikan. Setelah lulus dari SMA/sederajat, banyak orang bermimpi untuk melanjutkan tingkat pendidikan ke bangku perkuliahan. Dalam mewujudkan mimpi tersebut, pastinya banyak rintangan yang harus dilalui, tetapi kesan yang didapatkan pastinya akan berbeda-beda. Ada yang berujung bahagia, ada pula yang berujung nestapa.

Tanpa kita sadari, gangguan kesehatan mental mengintai euforia masa-masa menjadi mahasiswa baru. Apabila kesehatan mental seseorang terganggu, ia akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta emosi yang tak terkendali. Selain itu, kita juga hidup di dalam masyarakat yang mempersempit arti kesehatan. Sadar atau tidak, kita hanya melihat kesehatan dalam arti kesehatan fisik semata. Banyak orang sibuk berolahraga dan makan makanan yang bergizi hanya agar terlihat sehat.

Yang banyak terjadi kemudian adalah orang-orang dapat terlihat rupawan walaupun hidupnya sedih dan merana, ini sebenarnya sama sekali tidak sehat. Bahkan, kerap kali lingkungan di sekitar kita tidak peka terhadap kondisi psikis yang dialami. Bukan tidak mungkin, kita akan merasa lebih tertekan lalu mengalihkannya kepada hal yang buruk. Contohnya adalah berteriak tidak jelas, selalu ingin marah-marah, dan lain-lain.

Masih banyak dari kita juga menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa, padahal pelarian tersebut sebenarnya salah. Lalu, lingkungan kita menegur dan menilai kita karena hal yang buruk tanpa bertanya apa penyebab sebenarnya. Padahal, ada korelasi yang bersifat timbal balik dan amat erat antara kesehatan dan kebahagiaan.

Seperti yang dilansir dalam rumahfilsafat.com, ketika merayakan hari lahir, banyak orang mendoakan agar kita selalu sehat. Di titik ini, kita bisa melihat bagaimana kesehatan menjadi nilai yang penting dalam hidup seorang manusia. Kesehatan lalu disamakan dengan kebahagiaan. Orang tidak bisa bahagia jika ia tidak sehat. Untuk menjadi sehat, orang juga perlu untuk menata pikiran dan pola hidupnya dengan pikiran-pikiran yang baik, yakni dengan kebahagiaan. 

Lalu bagaimana solusinya?

Ternyata hal tersebut dapat diatasi melalui aspek terdekat, yaitu mulai dari diri sendiri. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah filsafat.

Pertama kali mendengar kata filsafat biasanya orang akan berpikir bahwa hal itu rumit atau bahkan murtad, tapi memang hal tersebut tak bisa disalahkan. Ketika pertama kali kita belajar filsafat, kita langsung dibawa ke pemahaman yang baru dan mungkin jarang dibahas dalam pelajaran apapun, misalnya tentang pemikiran. Kenapa orang dapat berpikir? Kenapa orang dapat berpikir seperti itu? Apalagi jika sudah bertanya perihal keberadaan sesuatu, misalnya manusia, benda, sampai Tuhan. Semuanya dipertanyakan, bahkan sampai hal yang menurut orang-orang tidak penting sama sekali.

Filsafat yang dimaksud pada pembahasan kali ini adalah filsafat Stoisisme. Yakni, salah satu cabang filsafat Yunani-Romawi Kuno (sekitar 300 tahun SM). Filsafat Stoisisme sendiri mulanya dikembangkan oleh Zeno, seorang filsuf yang awalnya merupakan seorang saudagar kaya raya di Siprus. 

Filsafat Stoa mengajarkan bagaimana untuk 'hidup selalu selaras dengan alam'. Kita tidak perlu mengkhawatirkan segala sesuatu yang terjadi apalagi yang belum terjadi pada diri kita. Kita harus menanggapi peristiwa-peristiwa yang menimpa kita dengan cara menggunakan nalar bukan emosi. Contohnya adalah saat kita terkena macet, terkena kotoran burung, dan lain-lain.

Dengan menggunakan nalar, semua pertistiwa tadi bersifat fakta. Semua fakta bersifat netral. Fakta tersebut tidak ingin menyakiti kita. Ia datang tidak melihat apakah kita sedang dalam keadaan baik-baik saja atau kita sudah dalam keadaan bermasalah. Melawan atau mengingkari peristiwa yang terjadi sama halnya dengan melawan alam.

Yang kedua, filsafat ini mengajarkan kita untuk membagi segala hal yang terjadi menjadi dua kendali atau 'dikotomi kendali'. Bagian pertama, segala sesuatu yang ada dalam kendali kita. Satu bagian lagi, segala sesuatu yang ada di luar kendali kita. Yang ada di dalam kendali kita adalah pertimbangan, opini, dan segala sesuatu yang merupakan pikiran serta tindakan kita. Sementara yang ada di luar kendali kita adalah cuaca, kondisi lahir, dan lain-lain.

Mencemaskan sesuatu yang bukan kendali kita merupakan hal yang sia-sia. Ketidaksadaran masyarakat perihal dikotomi kendali inilah yang membuat gangguan psikosomatis, penyakit fisik yang diakibatkan oleh pikiran menjadi hal yang jamak ditemui. Jadi, jangan mencemaskan apapun selain pikiran kita, yaitu kendali kita.

Yang ketiga, filsafat ini juga mengajarkan kita untuk mengendalikan interpretasi terhadap peristiwa atau melawan interpretasi otomatis yang datang dari hati kita ketika mengalami suatu peristiwa. Maksudnya, terhadap semua peristiwa yang terjadi kita harus cepat-cepat membuang emosi negatif yang timbul secara otomatis. Kita harus melihat kembali peristiwa sebagai sebuah fakta, dan emosi negatif tadi bukan fakta. Itu feedback kita sendiri. 

Feedback tersebut bersifat otomatis. Itulah kenapa ada dua orang mengalami musibah yang sama namun berbeda-beda dalam menanggapinya. Ada orang yang memang sudah terlatih untuk melihat sesuatu tanpa emosi negatif, ada yang belum. Yang belumlah yang menjadi sasaran filsafat ini.

Seperti yang dikutip dari buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring, langkah-langkah untuk mengatasinya dijelaskan dengan konsep S-T-A-R (Stop-Think-Asess-Respond). Stop nilai emosi negatif yang timbul. Pikirkan dan nilai emosi tersebut apakah rasional atau tidak. Lalu respon dengan bijak, adil, jangan sampai terbawa emosi, dan berani berbuat yang benar.

Menjaga kesehatan mental memanglah penting layaknya menjaga kesehatan fisik. Jika masih bisa mencegah untuk apa menunggu mengobati?

Thank yourself for saving you!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun