ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) merupakan kerangka kerja regional memfokuskan isunya untuk menangani permasalahan Terorisme di kawasan Asia Tenggara. Prinsip yang dipegang teguh oleh ACCT  yakni menghormati kedaulatan dengan tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan menegaskan kepatuhan pada hukum domestik masing-masing negara yang sesuai dengan perjanjian internasional yang relevan untuk dijalankan.
ACCT pada mulanya diadopsi oleh ASEAN pada tahun 2007 di Cebu, Filipina yang bertujuan untuk memperkuat kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN dalam mencegah, menanggulangi dan memberantas terorisme dengan menekankan pada rehabilitasi dan deradikalisasi kepada para pelaku terorisme yang telah meninggalkan ideologi ekstremis .
Terorisme merupakan fenomena kejahatan terorganisir yang sering kali dipengaruhi oleh ketidakstabilan politik, sosial, dan ekonomi. Menurut Bruce Hoffman, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan politik, agama, atau ideologi, di mana tindakan tersebut dirancang untuk menciptakan ketakutan yang meluas di antara populasi tertentu. Sementara itu, menurut Alex P. Schmid mendefinisikan terorisme sebagai metode serangan berulang yang disengaja dan diarahkan pada target non-kombatan dengan tujuan menciptakan dampak psikologis pada audiens yang lebih luas daripada korban langsung.
Di kawasan Asia Tenggara, terorisme telah menjadi ancaman signifikan selama beberapa dekade terakhir. Wilayah ini menghadapi tantangan dari kelompok-kelompok ekstremis yang memanfaatkan kerentanan sosial dan politik untuk melancarkan serangan dan memperluas pengaruh mereka.Â
Beberapa negara di ASEAN, termasuk Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand, berada di garis depan dalam menghadapi ancaman terorisme ini. Mengingat Asia Tenggara, dengan keanekaragaman budayanya, telah lama menjadi wilayah yang rentan terhadap ancaman terorisme.Â
Kelompok-kelompok seperti Jemaah Islamiyah (JI) dan pendukung Islamic State (IS) telah menjadikan kawasan ini sebagai basis aktivitas mereka. Sebagaimana Jemaah Islamiyah (JI) sudah aktif di kawasan ini sejak akhir tahun 1980, sedangkan Islamic State (IS) mulai memperluas pengaruhnya ke kawasan sekitar tahun 2014-2015.Â
Pendanaan kelompok terorisme di ASEAN memainkan peran penting dalam mendukung operasi kelompok ekstremis. Dana yang diperoleh melalui aktivitas kriminal, seperti premanisme dengan memungut pajak kepada pengusaha lokal, melalui donasi amal yang diberikan kelompok muslim melayu, dan penyalahgunaan platform digital mendanai pelatihan dan informasi perekrutan. Hal ini dibuktikan dengan Jemaah Islamiyah (JI) yang menggunakan jaringan internasionalnya untuk memperoleh bantuan finansial dan logistik dari Al-Qaeda untuk mendanai serangan bom Bali pada tahun 2002.
Barisan Revolusi Nasional (BRN) adalah salah satu kelompok separatis utama yang beroperasi di wilayah selatan Thailand. Dibentuk pada tahun 1960-an, BRN awalnya berfokus pada perjuangan kemerdekaan Patani sebuah wilayah mayoritas Melayu-Muslim di Thailand Selatan.
Dalam sejarahnya merupakan bagian dari kesultanan Patani, yang kemudian dianeksasi oleh Kerajaan Siam. Pada awal abad 20, berdasarkan Perjanjian Bangkok tahun 1909 menghilangkan hak otonomi lokal dan budaya melayu islam di wilayah ini. Kerajaan Thailand menegaskan untuk dilakukannya asimilasi budaya secara paksa kepada para kelompok melayu islam. Melarang bahasa melayu diajarkan pada sekolah-sekolah di kawasan melayu islam dan memaksa mereka menggunakan bahasan Thai sebagai bahasa resmi kelompok melayu islam. Â
BRN mengadopsi narasi perjuangan yang memanfaatkan identitas etnis dan agama untuk memperoleh dukungan publik yang sesuai dengan ideologi mereka. Mereka menolak campur tangan pihak asing dan lebih memilih mengikutsertakan masyarakat dalam menjalankan aksi-aksinya. Perbedaan budaya, agama, dan bahasa antara wilayah selatan dengan mayoritas penduduk Thailand yang beragama Buddha menjadi latar belakang konflik yang dilakukan BRN di Thailand.
BRN terkenal karena menggunakan serangan asimetris seperti bom pinggir jalan, pembunuhan, dan serangan terhadap simbol-simbol negara. Wilayah operasi utama mereka mencakup provinsi Pattani, Narathiwat, Yala, dan sebagian Songkhla. Kelompok ini menargetkan pasukan keamanan Thailand, infrastruktur negara, dan individu-individu yang dianggap sebagai kolaborator pemerintah.Â