Politik Luar Negeri “bebas aktif” telah menjadi landasan fundamental Indonesia sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945. Mencerminkan bahwa Indonesia memiliki karakteristik yang mandiri, tidak ingin bergantung pada negara lain, tidak ingin condong ke blok manapun. Maka dari itu, kerjasama pengembangan jet tempur KFX/IFX ini dinilai sebagai langkah awal yang tepat untuk meningkatan kapabilitas pertahanan nasional Indonesia.
Proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX sudah diinisiasi pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Awalnya diupayakan agar kedirgantaraan Indonesia meningkat setelah PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) tidak memiliki program kerja utama seperti pembuatan pesawat tempur sejak 1998, serta untuk membangun Politik Luar Negeri Indonesia meningkatkan pengaruh Indonesia di mata Internasional.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo dianggap gagal bersikap proaktif dalam proyek pengembangan jet tempur KF-21 Boramae atau KFX/IFX bersama Korea Selatan dengan menunggak tagihan biaya produksi, pengembangan, dan rekayasa teknik jet tempur KFX/IFX. Padahal proyek pengembangan ini merupakan salah satu kerjasama jangka panjang antara Indonesia dengan Korea Selatan.
Hal tersebut memunculkan banyak kritik kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Keseriusan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam memulai kerjasama pengembangan jet tempur dinilai berlawanan dengan komitmen melanjutkan warisan utang yang diembankan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Proyek pengembangan ini telah digarap sejak 2009, hal ini menunjukan keseriusan Indonesia dalam mengembangkan jet tempur KFX/IFX dengan bukti Letter of Intent (LoI) yang sudah disepakati. Kemudian, setahun setelahnya MoU proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX ini ditandatangani.
Pada tahun 2012, sebenarnya Indonesia dan Korea Selatan menandatangani kontrak secara resmi. Akan tetapi, karena kondisi politik Korea Selatan yang tidak stabil pada 2013, Korea Selatan akhirnya memutuskan untuk mengembalikan share cost yang telah disetorkan Indonesia. Uang tersebut dialokasikan sebagian kepada Kementerian Keuangan dan sebagian lainnya kepada PT. Dirgantara Indonesia (PTDI).
Setelah beberapa tahun berlalu, pada tahun 2016 proyek ini kembali dijalankan dengan penandatanganan perjanjian. Pada perjanjian tersebut Republik Indonesia menanggung 20%, Korea Aerospace Industries Co. (KAI) sebesar 20%, dan Korea Selatan sebesar 60%, serta kesepakatan pembagian tugas antara PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan Korea Aerospace Industries (KAI). Indonesia mempunyai kewajiban untuk membayar share cost dua kali dalam satu tahun, yakni pada bulan April dan Oktober.
Proyek pengembangan ini awalnya ditargetkan selesai pada tahun 2021, tetapi mundur hingga 2026. Dengan rencana kualitas jet tempur KFX/IFX yang dapat merusak sistem elektronik yang dimiliki oleh musuh, proyek pengembangan ini menetapkan akan memproduksi 168 unit jet tempur KFX/IFX, dengan 48 unit jet tempur akan menjadi hak milik Indonesia.
Setelah penandatanganan tahun 2016, pembiayaan share cost yang dibebani kepada APBN pada 2017 disetorkan kepada Korea Selatan tepat waktu setiap bulan April dan Oktober. Tetapi pada tahun 2018, Indonesia mulai kesulitan memenuhi tagihan share cost proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX kepada Korea Selatan.
Pada Oktober 2018, pemerintahan Indonesia melakukan renegosiasi untuk tetap melanjutkan proyek pengembangan tetapi dengan harapan adanya keringanan pembiayaan. Indonesia malah semakin menunjukan sikap bimbangnya pada 2019, dengan menunggak tagihan proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX. Sampai dengan Juli 2019, pemerintah Indonesia hanya membayar KRW 227,2 miliar tagihan pengembangan dari total kewajiban KRW 1,7 triliun, padahal batas pembayaran keseluruhan proyek Jet tempur KFX/IFX ini pada Agustus 2020.