Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, saya tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan nilai-nilai tradisional, salah satunya adalah gotong royong. Menurut Marhamah & Lutfiana (2022), gotong royong adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh sekelompok individu untuk mencapai tujuan yang telah disepakati melalui musyawarah bersama. Konsep ini begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi maknanya mulai memudar di tengah arus globalisasi dan urbanisasi. Pengalaman pribadi saya di desa kecil tempat keluarga besar tinggal, menjadi pengingat betapa pentingnya nilai ini untuk menjaga keharmonisan sosial. Â
Gotong royong, secara berarti bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama, tidak hanya sekadar praktik membantu sesama dalam pekerjaan fisik, seperti membangun rumah atau membersihkan lingkungan. Lebih dari itu, ia adalah cerminan dari rasa kepedulian dan tanggung jawab bersama yang menjadi fondasi masyarakat tradisional. Saya masih ingat betapa alami dan tanpa paksaan, para tetangga berkumpul di rumah kakek ketika kami memutuskan untuk memperbaiki bagian atap yang rusak. Semua orang membawa alat dan bahan sesuai kemampuan mereka, dan pekerjaan itu selesai dalam satu hari. Â
Namun, yang lebih berkesan bukanlah hasil akhir pekerjaan, melainkan kebersamaan yang tercipta selama proses tersebut. Melalui kegiatan ini, hubungan sosial terjalin lebih erat, kepercayaan diperkuat, dan solidaritas muncul sebagai kekuatan utama. Saya menyadari bahwa gotong royong tidak hanya tentang efisiensi kerja, tetapi juga menjadi ruang dialog dan interaksi yang memperkokoh kohesi sosial. Â Selain itu, gotong royong menciptakan rasa memiliki bersama terhadap hasil yang dicapai, sehingga setiap individu merasa dihargai atas kontribusinya. Nilai-nilai seperti saling membantu dan kepedulian ini menjadi fondasi penting dalam membangun komunitas yang harmonis dan tangguh menghadapi tantangan bersama.
Sayangnya, dalam konteks kehidupan perkotaan dan modern, praktik ini mulai tergeser oleh individualisme, dimana menurut Dewanti et al. (2023), hal tersebut berdampak pada melemahnya kesadaran warga untuk berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungan masyarakat. Masyarakat cenderung terfokus pada kehidupan masing-masing, seringkali terpisah oleh dinding kesibukan dan teknologi. Keterasingan sosial menjadi tantangan besar yang perlu diatasi. Di sinilah pentingnya merevitalisasi nilai-nilai gotong royong agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat masa kini. Â
Melalui pengalaman ini, saya melihat bahwa tradisi seperti gotong royong adalah warisan kearifan lokal yang dapat menjembatani pemahaman antara masa lalu dan masa depan. Di tengah transformasi sosial yang cepat, nilai ini dapat diadaptasi untuk memperkuat kerja sama komunitas, misalnya melalui kegiatan sukarela berbasis digital atau inisiatif lingkungan bersama. Gotong royong tidak harus berbentuk fisik, tetapi esensinya kebersamaan dan solidaritas harus terus dijaga. Â
Sebagai generasi muda dan mahasiswa, refleksi ini mengingatkan saya akan pentingnya menjaga dan menghidupkan kembali nilai-nilai lokal yang mendukung keseimbangan sosial. Melalui pemahaman dan penerapan gotong royong, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, harmonis, dan berdaya saing di era global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H