Mohon tunggu...
RizkaOktaviani
RizkaOktaviani Mohon Tunggu... Konsultan - Pelajar

Hello, aku Rizka.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Toxic Masculinity: Patriarki dan Perselingkuhan Kaum Pria

21 Desember 2023   22:05 Diperbarui: 21 Desember 2023   22:14 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak kecil, banyak anak laki-laki yang diajarkan untuk menjadi pria yang tangguh dan kuat. Mereka kemudian memandang aktivitas "rumahan" seperti memasak dan menyapu hanya patut dilakukan perempuan. Pria harus unggul, pria identik dengan kekerasan, agresif, dan tidak boleh menunjukkan emosi.

Anggapan tersebut terus menerus berkembang dalam waktu kewaktu sehingga menjadi toxic masculinity. Akibatnya, racun maskulinitas ini tidak hanya merugikan laki-laki, tetapi juga perempuan sebagai pihak yang tertindas akibat dominasi laki-laki. Budaya patriarki merupakan salah satu bentuk dari toxic masculinity yang mengakar di Indonesia.

Contoh dalam kehidupan sehari-hari kita sering menemukan kalimat "Laki-laki kok nangis?" atau "Laki-laki kok pakai baju pink?" dan kalimat-kalimat lainnya. Kalimat-kalimat seperti itu dianggap biasa saja dalam masyarakat kita. Bahkan ironisnya, kekerasan yang dilakukan oleh oknum laki-laki terhadap pasangan atau keluarganya dianggap sebuah perwujudan dari cinta dan kasih sayang. Laki-laki dianggap berhak untuk menyalurkan emosinya melalui kekerasan, tetapi tidak berhak menangis untuk tujuan yang sama.

Maskulinitas beracun membuat laki-laki harus bisa memenuhi standar yang ditetapkan oleh masyarakat. Standar yang dimaksud yaitu laki-laki harus kuat, harus sukses dalam finansial, serta tidak wajar jika melakukan perawatan diri dengan make up atau skincare karena itu dianggap kegiatan perempuan, dan masih banyak lagi. Dampak dari standardisasi tersebut yakni banyak laki-laki yang tumbuh menjadi manusia dengan gengsi tinggi.

Berdasarkan data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 menyentuh angka 299.911 kasus. Dikutip dari Badan Pusat Statistik, jumlah perempuan yang ada di Indonesia pada tahun 2020 menyentuh angka 134,26 juta. Hal ini menunjukkan bahwa ada 0,2 persen perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan pada tahun 2020.

Maskulinitas beracun memiliki dampak buruk yang signifikan bagi laki-laki. Laki-laki yang dianggap tidak memenuhi standar maskulinitas rentan mendapatkan tekanan dari laki-laki lain atau masyarakat sehingga berdampak negatif terhadap kesehatan mentalnya. Perlakuan ini menyebabkan laki-laki lebih rentan mengalami stress. Dikutip dari BBC Indonesia, pada tahun 2016, World Health Organization (WHO) memperkirakan kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia mencapai angka 793.000 yang didominasi oleh kaum laki-laki.

Beberapa kriteria maskulin juga mendorong laki-laki untuk pamer seberapa banyak perempuan yang sudah mereka dekati atau bahkan mereka tiduri. Laki-laki tersebut akan diakui sisi maskulinnya. Laki-laki di society kita, tidak mempermasalahkan keperjakaan dan beranggapan bahwa laki-laki yang tidak perjaka adalah mereka yang sudah berpengalaman dalam urusan seksual, berbanding terbalik realita yang dihadapi perempuan.

Pemikiran bahwa pria harus lebih unggul dari wanita sering kali menjadi tantangan bagi wanita mandiri, dikarenakan pria akan merasa gelisah dan insecure apabila pasangannya lebih sukses dari dirinya. Perasaan insecure yang muncul pada pria dengan harga diri yang rendah dapat menyebabkan pria ingin mencari validitas pada wanita lain sehingga berujung pada godaan untuk selingkuh. Penelitian telah menunjukkan bahwa pria yang merasa rendah diri atau merasa insecure oleh kesuksesan pasangannya cenderung lebih berpotensi melakukan perselingkuhan sebagai cara untuk meningkatkan harga diri dan mendapatkan kendali. 

Para aktivis yang memperjuangkan kesetaraan gender telah lama memahami bahwa masalah maskulinitas beracun harus diselesaikan oleh laki-laki sendiri. Langkah yang bisa dilakukan untuk menghentikan maskulinitas beracun. Pertama, membuka ruang perbincangan tentang maskulinitas, yakni ruang yang aman dan nyaman tanpa dihantui rasa takut untuk membicarakan tentang diri mereka. Kedua, merefleksikan konsekuensi negatif dari maskulinitas beracun bagi laki-perempuan, dan kelompok-kelompok lain. Ketiga, mempromosikan konsep laki-laki manusiawi yang keluar dari konsep maskulinitas dan feminitas yang merupakan produk patriarki. Keempat, menjadi sekutu gerakan feminisme dalam aksi transformasi sistem sosial.

Dampak yang semakin jelas terlihat di masyarakat seharusnya bisa menjadi tamparan kepada kita bahwa hal yang terjadi di lingkungan kita ini tidak wajar. Budaya patriarki juga melahirkan jurang ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Jurang yang semakin lama semakin memakan banyak korban. 

"Both men and women should feel free to be sensitive. Both men and women should feel free to be strong." -- Emma Watson at the HeForShe campaign 2014 United Nations.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun