Mohon tunggu...
Rizka Nurliyantika
Rizka Nurliyantika Mohon Tunggu... -

Hal paling konyol yang sering saya lakukan adalah menertawakan diri sendiri. Hampir tiap hari. Tiap masalah datang. Ketika kecerobohan saya memuncak. Tertawa jadi sinse yang mujarab. Dengan begitu kita akan lebih santai menghadapi apapun. Meski terkadang, terlalu santai karena tawa yang berlebihan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Hari untuk Tiga Huruf Namamu

30 November 2011   15:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:59 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

3 HARI UNTUK

3 HURUF NAMAMU

Hari Pertama

Aku masih ingat saat pertama kali melihatmu. Di acara makan malam keluarga. Saat itu aku merasa seperti upik abu ditengah pesta para ratu. Apalagi saat menemukan wajahmu. Yang paling mengesankan dimalam itu adalah kamu berdiri tepat didepanku saat antrean dimeja hidangan. Aku sempat mencium parfummu yang tidak menyengat, membandingkan tubuhku yang setinggi telingamu, mengecek tak ada setitikpun noda di punggung kemeja putihmu, mendengar suara tegasmu yang lembut. Tapi begitu  menginjit sedikit, didepanmu ada gadis berjilbab yang tingginya 20 senti dibawahku dan berisi tapi manis dan cabi – huh, menyesal aku mengakuinya -.

Ternyata suara lembutmu karena sedang bergurau dengannya. Walau dia lebih pendek 20 senti tapi aku merasa dia 20 meter lebih tinggi diatasku. Malam itu dia seperti dayang sang putri – aku sungkan mengakui dia  putrinya, dayang pun cukup -. Dress panjang berwarna biru muda dan jilbab jingga  yang dimodofikasi sedemikian rupa ditambah korsarse biru tua  membuatnya terlihat sedikit ramping dan sedikit tinggi – padahal aku tahu pasti dia juga 12 kilo lebih berat dariku -. Make up nya natural, tipis tapi tetap menonjol. Sementara aku dibelakangmu bagai prajurit kesiangan dengan t-shirt merah putih dan pant pendek warna coklat – cocok sekali, merah putih seperti bendera sementara pant-nya sebagai tiang dan aku siap kibar -. Jadi menyesal mengabaikan saran mama untuk berganti pakaian tadi. Mungkin t-shirt hitam dengan jins putih berbordir gadis emo yang penuh manik kilau tadi akan mengesankan. Sayangnya sudah terlanjur.

Tapi malam itu menu dinner yang indah. Sub ayam kental dengan banyak wortel, rendang yang empuk dan pedas ditemani wajahmu yang jadi intermezzo disela makanku. Senang menemukan wajahmu.

HARI KEDUA

Hari ini pesta pembuka diadakan dan aku tak ingin salah kostum lagi. Digital camera melekat ditangan, aku ingin mengabadikan tiap moment dari berbagai sudut dipesta megah pernikahan tanteku.

Acara ijab kabulnya ramai tapi tetap tertib. Dengan mas kawin yang tidak sedikit, pesta di masjid itu juga terlihat sederhana. Walau harus diketahui, diluar sana ada puluhan polisi yang menjaga acara.

Para tamu undangan sudah memenuhi jalan diluar ruangan saat acara resepsi hari pertama akan dimulai, diiringi tabuhan gendang kulit besar dan tarian tradisional, mungkin tarian daerah lampung tempat acara ini diadakan atau tarian daerah padang karena keluarga dari mempelai wanita, tanteku, itu asli padang.

Kameraku terlanjur siaga karena keasyikan memandangi penari yang kini sedang berpencak silat.

Kedua mempelai sudah naik ke pelaminan yang karena lebarnya bisa untuk lempar lembing atau tolak peluru. Beberapa dari tamu yang datang akan disambut dengan servis terbaik. Para pejabat yang dianggap terhormat itu diterima dipintu khusus dan duduk dikursi yang paling depan, selain itu kedatangannya akan disambut dengan ucapan selamat datang dari host. Mereka juga tidak perlu berjalan untuk mengambil hidangan karena sudah tertata rapi sebelum mereka datang di mejanya masing-masing.

Tapi semua itu tidak penting lagi saat aku sadar wajahmu ada dilayar kameraku. Kemudian senyumku kembang seketika. J

Seperti kemarin, selama pesta singkat itu kamu bagai iklan yang terulang terus menemani ku diantara stand corner yang lezat-lezat.

Aku senang melihat rautmu yng penuh antusias. Dengan batik cokelat dan jins hitam yang membuatmu terlihat jangkung, kamu berdiri sambil melipat tangan di dada, memperhatikan para penari yang masih setia berlaga.

Aku fikir, kamu adalah salah satu keluarga om baruku.

Malam harinya, makan malam istemewa kembali diadakan. Untuk menyambut kaberhasilan acara ijab kabul dan resepsi adat padang tadi. Acara khusus bagi anggota keluarga yang diadakan mempelai pria. Tapi sayangnya aku tidak bisa ikut. Mama mendadak demam dan aku harus tinggal di hotel bersama seorang adik laki-lakiku.

Tak apalah, mungkin lain waktu kita akan bertemu lagi.

HARI KETIGA

Diantara sekian banyak ritual pernikahan yang dilalui pengantin, hari ini acara puncaknya. Pesta besar-besaran. Aku berdandan bagai cinderella ditengah pesta putra mahkota yang mencari putri untuk calon istrinya, hha.. aku bercanda . Tapi jujur aku merasa cantik dengan satu-satunya gaun yang aku punya itu, warna hijau dan kuning elegan yang kalau bukan karena acara special ini, mana mau aku membelinya -.

Sebelum kepelaminan para anggota keluarga berkumpul disebuah rumah yang tepat berada disamping gedung acara. Bangunannya bergaya Belanda dan ruang tamunya saja bisa untuk bermain sepak bola. Aku duduk dikursi jati besar berwarna hijau, serasi dengan gaunku. Sementara menikmati empuknya kursi mahal seperti orang udik, wajahmu melintas, lagi.

Dengan pakaian adat jawa warna kuning muda dan sarung cokelat – sepertinya cocok dengan gaunku, bila kamu mau kita berjalan berdampingan, hha.. – kamu membuatku tidak menyesali ritual membosankan yang harus diikuti 3 hari ini.

Tapi seseaat itu juga aku menyadari kamu adalah adik dari mempelai wanita, tanteku.

Saat para keluarga mengantarkan pengantin ke pelaminan, kamu berdiri tepat didepanku. Keberuntungan yang lainnya adalah perjalanan itu sangat memakan waktu. Bukan karena jaraknya yang jauh, tapi karena jalan pengantin yang sangat lamban. Ditambah iringan musik gamelan dan suara host yang berceloteh dengan bahasa jawa – mungkin sedang berpantun atau memberi nasihat seperti orang padang saat nikahan -.

Aku semakin tidak mengerti. Sudah 13 menit berdiri seperti ini. Tepat dibelakang pemuda tampan yang ternyata om-ku dan hanya bisa melihat punggungnya. Parahnya lagi sepertinya kedua orang tuaku menikmati acara ini. Mungkin mereka bangga kerena salah satu sepupunya bisa menikah dengan anak pejabat dan dibuatkan resepsi pernikahan yang semegah ini. Padahal sesungguhnya papa saja baru tahu kalau punya sepupu yang mirip dengan Anissa Trihapsari itu. Menurut cerita dari kebiasaan mengupingku, selama ini tante Naya, sang pengantin, sekolah diluar kota dan bekerja di perusahaan asing di Jakarta. Malah katanya, setelah menikah dia akan menetap di Brunei karena om Randi yang mirip Pongki Jikustik itu bekerja dan sekolah disana.

Akhirnya 16 menit lewat 33 detik, aku bisa terduduk walau tidak begitu nyaman. Setelah terpisah dari mama dan papa, aku mendapatkan nenek sedang asyik duduk dipinggir gedung. Menikmati angin sejuk yang berhembus dengan leluasa. Aku menghampirinya dan ikut terhanyut dengan kesejukannya.

Ketika sedang asyik bersepoi-sepoi ria aku terlihat kamu, lagi. Duduk di samping pelaminan, ditempat semua keluarga dekat berkumpul. Dalam hati sudah cemas. Nenek bilang setelah acara ini usai kami akan langsung pulang. Padahal aku masih berharap kita bisa dekat. Ya setidaknya bisa saling berkenalan atau aku tahu namamu saja sudah cukup atau lagi kamu mau memberikan sedikit saja senyuman untuk gadis yang pendek akal ini.

Aku makin gelisah saat semua tamu undangan dipersilahkan untuk menikmati santapan yang disediakan. Kamu masih duduk diam dibarisan paling depan dengan sofa berukirkan naga. Dalam hati aku berbisik, “ Tuhan, Tuhan tahu aku perhatikan dia sejak awal disini. Kalau dia juga punya perhatian yang sama. Please, beri tanda. Buat dia menoleh kearahku!”

Lalu kubuka mata setelahnya dan yang terlihat. Ada yang menoleh kebelakang. Hanya sesaat lalu kembali keposisi awalnya. Aku yakin orang itu tadi menoleh kebelakang, ya bukan halusinasi saja. Bukan karena obsesiku saja. Tapi yang tidak kuyakini adalah apakah dia menoleh untuk melihatku. Oh, ini tidak baik. Aku semakin menyesali keputusanmu untuk berkaca mata setahun lalu. Sekarang, aku tak bisa melihat arah mata itu saat menoleh kebelakang.

Aku coba mengingat - ingat kejadian setengah detik lalu, tapi tidak bisa. Jarak kami saat itu 7 meter dan ramai oleh orang yang bersantap siang sambil berlalu lalang. Aku tertunduk tak tahu lagi mau berdoa apa.

“ Wahai om yang tampan, menolehlah lagi. Sekali ini saja!”

Sudah kuplototi punggungmu itu selama 7 menit, tapi kamu tak juga berbalik arah.

Ah, aku lelah menunggu. Tegakkan badanmu Kaka. Harus kuat. Aku berjalan menjauhi kursi plastic berlapis kain putih licin berpita kuning yang mulai terkena panas matahari. Semakin jauh dan kini mendekati tempatmu. Sekarang kita dalam satu garis. Aku menoleh sekilas, mengatur nafas, diam sejenak ditempat dan berlalu. Mana mungkin aku mau menegurmu duluan. Lebih baik makan.

Ku kelilingi gedung  untuk menikmati beberapa stand corner yang membuat tempat ini seperti bazar gratis. Mulai dari pudding beraneka warna, sate dari sabang sampai merauke , mie beragam bentuk, dan berbagai jenis es yang menyegarkan siang terik ini, semuanya hampir 17 stand.

Time is up. Aku berjalan lunglai ke hotel tempat kami menginap yang letaknya dibelakang gedung resepsi. Jam 3 tepat dan bertepatan saat aku melihat bus besar warna kuning yang sudah terparkir rapi dihalaman hotel. Suaranya yang halus tetap terdengar ditelinga, sedang dipanaskan.

Dibenak mungkin ini bus yang akan mengantar kami pulang sebentar lagi.

Dikamar mama sedang membereskan koper dan dilanjutkan menyusunnya dengan rapi oleh adik- adikku kedekat pintu. Aku mendekat dan ikut membantu.

Setelah kelelahan aku tertidur dikamar yang ramai oleh tante-tante yang sedang bergosip, dan sempat mengikuti cerita mereka. Ternyata tante Naya itu kuliah di Yogya jurusan tehnik arsitektur.

“ Kedua adiknya itu juga kuliah disana.” Sambung seseorang.

Oh, kuliah. Di Yogya juga.

Sedikit- sedikit aku menemukan potongan puzzle tentang dirimu.

“ Dan…” Yang lain meneruskan ceritanya.

Oh, ternyata ibumu adalah sepupu jauh nenekku. Jadi buyutku satu saudara dengan nenek tante Naya dan om tampan. Tapi karena tidak ada keluarga terdekat lainnya maka kami juga diajak dalam acara ini. Jadi kalau aku menyukaimu tak masalah kan, kita juga saudara jauh.

Bus yang terparkir sore itu telah pergi mengantar rombongan pertama ke kota asalnya. Sisanya akan diantar setelah shalat mahgrib.

Aku terduduk dikursi empuk bus excekutif, melunjurkan kaki sambil memanggil rasa kantuk. Sungguh aku ingin tidur. Tapi sebelumnya aku dengar kami akan diajak makan malam dulu. Aku harap karena dengan begitu aku bisa bertemu dengan mu, om!

Terdengar lagu padang yang diputar dengan volume kecil. Mobil bergerak pelan sejak 4 menit yang lalu dan sekarang terhenti. Disebuah halaman rumah selebar lapangan golf. Rumah yang selama tiga hari ini menjadi tempat makan malamku. Disekitarnya ada beberapa mobil yang cahayanya masuk ke bus dan menarik perhatianku.

Aku berdiri dan kamu disana. Bersandar diantara cahaya mobil yang menyilaukan. Aku melihatmu saat kamu tak sengaja menemukan mataku yang sedang memandang kagum tepat di bawah lampu bus yang benderang. Aku baru tersadar setelah mendengar suara pintu ditutup lalu mobil berjalan lagi. Mungkin makan malamnya tidak jadi dan kami akan langsung pulang. Kecewa L. Aku pikir masih punya kesempatan untuk sekedar melempar senyum atau malah saling menyapa. Tapi tidak.

Tapi tak lama mobil berhenti lagi didepan sebuah restoran padang yang besar dan terlihat mewah. Satu persatu turun. Lalu aku tahu, ternyata makan malamnya tetap terlaksana tapi di resto bukan dirumah. Dan hal itu membuatku sangsi kamu akan datang.

Tapi ternyata, aku berpapasan dengan punggungmu saat turun dari mobil. Seolah tak peduli – padahal dalam hati ingin sekali – aku berjalan menuju lantai 2 restoran. Duduk disamping papa dan memesan es tebu. Lalu kamu datang. Begitu duduk. Lucky. Aku bisa melihat wajahmu dengan jelas. Begitu jelasnya hingga harus berhati-hati dengan cara makanku. Kunyah yang pelan, tanpa suara, dan selalu tersenyum.

Tapi disaat itu juga papa dengan asyiknya mengobralku kepada beberapa saudara kami. Seakan aku punya banyak prestasi untuk diumbar saja. Kalau papa mau, sebutkan saja bahwa aku pernah menang lomba mengucap pancasila saat di TK dulu. Atau 2 kali menang lomba mewarnai saat SD di salah satu restaurant cepat saji karena lawanku adalah anak umur 7 sampai 10 tahun dan saat itu umurku 10 tahun lebih 11 bulan 29 hari. Tapi bulan depannya, saat aku mengikuti lomba itu dalam usia 11 tahun, aku kalah.

Beberapa orang sudah selesai dengan makannya termasuk kamu. Sementara aku sedang menikmati es tebu yang didalamnya ada bermacam- macam buah.

“ Jar, Jar……… tolong …… dibawa tadi!” ujar wanita yang menarik perhatianku karena suaranya cukup mengagetkan.

Sepersekian detik kemudian aku menoleh kearahmu yang menyaut saat dipanggil wanita tadi.

Jar? Namamu Jar?

Jar apa? Jarot? Jaratmiko? Atau Jarwok? Atau mungkin Fajar.

Jam 08.08 malam.

Makan malam selesai. Aku berpamitan dengan ibumu sekaligus nenekku dan mendapatkan sekotak souvenir cantik khas lampung dan disampingnya kamu berdiri. Dengan t-shirt pink tua, kamu tampak manis.Tapi entah jaim atau naïf. Aku hanya melihatmu sekilas setelah itu tertunduk. Malu. Maaf deh. Disaat begitu dekat dengannya, aku malah acuh.

Hanya sekilas lalu aku menuju bus. Sambil berdiri aku memakai jaket rajutan nenek yang tebal. Tapi busnya malah berjalan dan aku hampir terjatuh. Lupa dengan kejatuhan tadi tak sengaja aku menemukan wajahmu yang tersenyum lebar. Tapi aku kurang yakin itu senyuman. Coba kulihat lagi.Benar itu senyuman. Kamu tersenyum sebagai tanda perpisahan atau menertawaiku karena hampir jatuh.

Inginnya aku minta perjelasan. Malu rasanya kalau tahu kamu menertawaiku karena aku hampir jatuh. Tapi untungnya akukan tidak tahu tujuan senyuman itu. Kuanggap senyumammu sebagai tanda perkenalan sekaligus perpisahan kita, Jar ups… om Jar.

Dari balik kaca bus yang lebar, selebar senyumanmu yang kubalas dengan kebengongan, dan kebengongan yang membuatku hampir jatuh, jatuh suka – belum tepat aku mengatakannya “ jatuh cinta ”, jadi “ jatuh suka ” saja – kepadamu, om Jarwok!!!

TAMAT


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun