“Fotorgafi adalah seni melukis lewat cahaya” ujar wartawan Sindo ini ketika dimintai pendapatnya tentang fotografi. Kecintaannya terhadap dunia fotograpi yang tiba-tiba, dimulai saat menjalankan hobinya jalan-jalan. Awalnya pria yang tergabung dalam Mapala ketika menjadi mahasiswa ini menyadari hasil fotonya yang “jelek”. Menurutnya jepretannya tidak sesuai dengan pandangan mata. Semangatnya semakin menggebu ketika disatu kesempatan naik gunung bersama seorang mahasiswa jurusan fotografi yang memotret edelweiss dengan indah. Dengan semua keterbatasan yang ada pria bernama lengkap Mushaful Imam ini bisa survive menggeluti bidang fotografi. Semuanya dimulai dengan belajar menggunakan kamera poket meski harus kesulitan membeli film dan berburu majalah fotografi di pasar loak di Jakarta.
Salah satu alasan tertarik pada seni potret ini menurutnya kita dapat memindahkan sesuatu yang kita lihat kedalam bentuk yang tahan lama dan lebih cantik dari pandangan mata. Selain itu bidang ini berkesimanbungan dengan hobi yang senang jalan-jalan dan bertualang. Diceritakan bahwa mulanya menjadi fotografer bukanlah cita-citanya selain karena masih sepinya peminat foto dan sulitnya menemukan perangkat penunjangnya, profesi fotografer berbanding jauh dengan latar belakang pendidikannya saat itu di bidang ekonomi yang jelas arah kerjanya misal di bank atau perusahaan.
Otodidak penuh dalam mempelajari bidang yang mulai ditekuninya dengan serius ketika menganggur pria ini mengaku hampir seluruh materi dipelajarinya sendiri dengan majalah-majalah loak yang di kumpulkan, itupun belum harus berburu ke Jakarta karena belum banyak yang masuk ke Palembang. Bahkan majalah-majalahnya banyak berbahasa asing yang sampai sekarang masih tetap disimpannya dan hafal dimana mencari materi tertentu foto dalam majalah tersebut. Ditambahkannya bahwa masanya kuliah dulu belum ada Gramedia, internet apalagi Google. Ketertarikan utamanya saat ini di seni foto adalah kreatifitas seseorang dalam membuat karya dan pola pikirnya dalam membentuk gambar itu hidup. Spesifiknya secara tehnik seperti landscape.
Pria yang telah sepuluh tahun menjadi wartawan ini merasa tidak pernah dirugikan dengan aktif di fotografi. Dipaparkannya hobi ini banyak menguntungkan. “Ketika saya menganggur, tinggal angkat telepon lalu diajak teman ikut motret. Pulang-pulang, uang makan untuk tiga hari sudah beres.”
Disinggung soal penghargaan apa saja yang pernah didapatinya setelah sepuluah tahun aktif motret dijawabnya dengan santai “Baru dua tahun ini saya menang beberapa penghargaan. Jadi bisa dikatakan selama delapan tahun sebelumnya saya belum beruntung. Makanya saya bersyukur sekali. Seperti kejatuhan dunia runtuh.”
Yang paling berkesan ceritanya, adalah menjadi nominator dalam kompetisi nasional yang diselenggarakan oleh Jasaraharja di awal Januari 2011 lalu bersama seorang wartawan Sriwijaya FM. Melihat hasil foto dari nominator lainnya sudah menbuat nyalinya ciut apalagi temannya dari Palembang itu harus puas hanya sebagai nominator. Namun saat tema fotonya yang disebut “Kampanye” ia malah bengong tidak percaya, menjadi juara pertama. Padahal history dibalik foto itu kebetulan. Ceritanya, ia terlambat datang ke acara kampanye tertib lalu lintas di simpang empat gedung DPRD Palembang. Jadi foto yang diambilnya hanya beberapa orang yang menyebarkan sisa-sisa brosur pada pengendara. Yang tepat saat itu adalah jejeran motor yang semuanya memakai helm bahkan anak kecil paling depanpun demikian. Jepret lima sampai enam kali selesai, jangan tidak ada hasil pikirnya. Tapi ternyata foto itu yang membawanya sebagai pemenang. Selain itu kompetisi yang diadakan Dji Sam Soe yang bertemakan budaya ia menjadi juara dua dengan foto songketnya. Juga di Astra dan Bayangkara di harapan dua dan satu-satunya peserta dari luar Jawa. Terakhir adalah Anugerah Pewarta Foto juara dua katagori sport.
Dari pengalamannya tersebut ia menyakini bahwa setiap orang punya rezekinya sendiri. Meski tetap harus diingat tentang totalitas dalam berkarya. Prinsip kerjanya adalah ada atau tidak kegiatan, harus ada liputan. Untuk itu ia harus siap 24 jam dan merelakan banyak waktu yang terbuang di lapangan ketimbang dengan anak isterinya.
Diakhir wawancara ia berpesan bahwa ilmu itu tidak ada yang tidak berguna. Apapun bentunya ilmu itu dan dimanapun kita berapa. Spesifikasinya dalam hal fotografi dan menulis. Menurutnya kedua hal ini adalah bidang extra yang bisa menambah nilai kita dimata orang banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H