Mohon tunggu...
Rizka Antika
Rizka Antika Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Identitas yang Memanas

21 Desember 2017   09:47 Diperbarui: 21 Desember 2017   10:20 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Istilah saling menghargai dan toleransi menjadi hal yang sempat banyak dilupakan pada momentum Pilkada Jakarta 2017 lalu. Politik identitas kembali muncul dan memainkan peranannya. Menjadi berbahaya tentunya bagaimana hadirnya politik identitas, khususnya di Jakarta sebagai ibu kota dapat memberikan dampak besar terhadap kesatuan bangsa. Sebagaimana menurut Seyla Benhabib (2002) yang menyatakan bahwa “kemunculan kebudayaan sebagai sebuah arena kontroversi perpolitikan yang intens merupakan salah satu aspek yang paling membingungkan dari keadaan kita akhir-akhir ini”. Politik identitas atau kebudayaan layaknya senjata yang mematikan, namun cukup ampuh bagi kelompok mayoritas. Bagaimana antar kandidat yang seharusnya bertarung melalui visi-misi, program kerja, serta langkah taktis apa yang akan dilakukan untuk mengatasi permasalahan di Jakarta, nyatanya lebih banyak terbatas kepada pertarungan antara identitas.

Berbicara mengenai Pilkada Jakarta 2017 dan politik identitasnya tentu juga tidak dapat dilepaskan dari kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama dan juga FPI. Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 kemarin, adanya perbedaan identitas menjadi sesuatu permasalahan tersendiri. Cukup kencangnya kampanye yang mengandung unsur SARA salah satunya, bagaimana kedua paslon yakni Agus-Sylvi dan Anies-Sandi terus-menerus secara implisit maupun eksplisit menonjolkan identitas “keislaman” mereka. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kampanye mereka yang menggunakan peci dan adanya slogan “umat Islam coblos pecinya”. Hal tersebut berupaya untuk meraih suara dari masyarakat Jakarta yang mayoritas adalah muslim. Momen pilkada ini juga sempat dihebohkan oleh adanya kasus penistaan agama oleh Basuki yang dilakukannya pada salah satu pidatonya di pulau Seribu melalui perkataannya “jangan mau dibohongi pake surat Al-Maidah”. Bagaimana videonya tersebut diedit dan diunggah oleh Buni Yani dan menjadi viral serta berhasil memantik emosi sebagian kaum muslim. Peristiwa ini lantas memberikan dikotomi di umat muslim sendiri, antara mereka yang pro Basuki dan yang kontra.

Mobilisasi sentimen agama dalam politik Pilkada Jakarta dan ketidaktegasan pemerintah dianggap memberi andil besar terhadap 'membesarnya' ormas FPI, sebagai kekuatan penekan (Affan, 2016). FPI -yang merupakan motor unjuk rasa berlabel Gerakan nasional pengawal fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) dalam kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama -dianggap mampu menggalang massa yang jumlahnya mencapai ratusan ribu (Affan, 2016). FPI mencampurkan antara agama dan politik dan secara berkala memobilisir massa dengan sejumlah aksi yang berdampak kepada penolakan kehadiran Basuki di sejumlah daerah dalam berkampanye.

Hal inilah yang kemudian disayangkan oleh sejumlah pihak. Para relawan pendukung Basuki yang tergabung dalam Teman Ahok pada akhirnya juga melakukan sejumlah aksi, seperti pengiriman rangkaian bunga untuk Basuki-Djarot yang ramai menghiasi Balai Kota. Mereka juga melakukan berbagai aksi damai dengan berkumpul di depan Balai Kota dan menyanyikan berbagai lagu untuk memberikan dukungan kepada Basuki. Fenomena ini menggambarkan dengan jelas adanya dikotomi antara good civil society dan bad civil society. Bagaimana dalam satu sisi, terdapat masyarakat sipil yang mendukung nilai-nilai demokrasi dengan menjunjung tinggi persamaan, toleransi, kesetaraan, serta rule of law. Sedangkan pada satu sisi terdapat masyarakat sipil yang anti-tesis terhadap demokrasi dengan mengangkat isu SARA yang dijadikan senjata politik dalam mengalahkan pihak tertentu. Mereka juga secara tidak langsung membatasi hak berpolitik masyarakat dalam memilih dan dipilih. Calon yang dipilih bukan berdasarkan program kerja ataupun kapabilitas yang dimiliki, namun sebatas persamaan identitas dengan kaum mayoritas. Hal tersebut menjadikan kontestasi politik tersebut tidak adil.

            Sehingga, sesungguhnya berbicara tentang politik identitas tidaklah sesederhana itu.  Hal ini dikarenakan menurut Nuri Soeseno (2014) “ini artinya, lewat kebudayaan kita bisa melihat hubungan yang ada di antara yang berkuasa dan yang dikuasai, dan mengetahui siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai, dengan kata lain mengetahui, misalnya, siapa yang dimarjinalkan dan yang melalkukan tindakan tersebut”. Menurut pernyataan tersebut dapat dilihat, bahwa berbicara mengenai identitas adalah berbicara mengenai relasi kuasa, mengenai politik. Politik identitas tidak semerta-merta berhenti ketika pertarungan politik selesai dan mengeluarkan jawaranya. Namun, dampaknya dapat menimpa mereka minoritas yang teropresi dengan turut diperlakukan dengan diskrimani. Serta, bagi perwakilan mayoritas yang menang dapat memberikan kepercayaan diri dan contoh bagi kandidat mayoritas lainnya yang akan berperang dalam arena politik, yakni menggunakan isu identitas sebagai cara yang kotor namun efektif.  

            Pada akhirnya Indonesia pasti akan berusaha untuk meningkatkan rasa nasionalismenya. Namun, perlu diketahui bahwa nasionalisme sendiri terbagi dua menurut level kebangsaannya, yakni nasionalisme etnis dan nasionalisme sipil (Soeseno, 2014). Nasionalisme etnis diartikan sebagai ikatan yang terbangun karena adanya persamaan kebudayaan, bahasa, dan ikatan darah tertentu; seperti Aceh dan Katalan. Sedangkan nasionalisme sipil adalah kebangsaan yang dibangun melalui adanya pengakuan otoritas konstitusional dan kerangka perpolitikan dalam sebuah negara yang dipersatukan melalui bahasa yang sama, contohnya Indonesia. Kita mengetahui bahwa Indonesia memiliki banyak sekali kebudayaan yang beragam yang di bawah naungan Pancasila. Namun kini menjadi pertanyaan, di samping menguatnya isu identitas, apakah Pancasila masih dapat diimplementasikan dengan baik untuk hadir sebagai solusi? Dan apakah nasionalisme sipil dapat terus bertahan? Atau pada akhirnya nasionalisme etnis lah yang akan bermunculan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun