Mohon tunggu...
Rizka Fadillah
Rizka Fadillah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Beri Opsi bagi Penikmat Seni

12 Juni 2017   14:45 Diperbarui: 12 Juni 2017   14:59 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Jarum jam menunjuk arah 8 ketika lampu mulai diredupkan. Suasana yang semula riuh mendadak hening. Puluhan pasang mata menuju satu titik fokus yang sama. Perlahan, layar putih itu menampilkan sosok Rendi dalam film Telephone.

Malam itu, d'Puncak Caf Samarinda menjadi saksi bisu penayangan enam film pendek karya anak muda Kaltim. Sebagai ruang terbuka, acara yang digagas oleh Layar Mahakama ini tak hanya menampilkan film-film pendek. Beberapa jari terlihat mengacung antusias untuk memberikan pertanyaan dan menghidupkan diskusi.

Ruang terbuka penayangan film lokal seperti ini kerap disebut bioskop alternatif atau bioskop indie. Sebelumnya, bioskop indie lebih dikenal di daerah Jawa. Lantas apa perbedaan bioskop konvensional yang sering kita temukan di kota-kota besar dengan bioskop indie?

Menilik dari namanya, bioskop konvensional seperti 21, XXI dan Blitz merupakan tempat penayangan berbagai film-film besar baik lokal (Indonesia) maupun luar negeri. Kebanyakan dari film-film tersebut merupakan karya profesional yang dibuat oleh sutradara terkenal.

Meski begitu, bukan berarti dibatasi. Sineas dan tim lainnya pun dapat submitkarya mereka agar dapat ditayangkan di layar lebar (dalam hal ini bioskop konvensional). Salah satu syaratnya adalah tim tersebut mampu membayar uang sekian ratus juta sebagai syarat penayangan di layar lebar.

Angka itu terbilang sangat tinggi jika dibandingkan dengan penayangan di bioskop indie. Hal tersebut karena konsep yang dihadirkan lebih sederhana dan akrab dengan masyarakat. Tempat penayangan pun tak harus mewah. Baik itu ruang terbuka hijau atau cafdapat dimanfaatkan dan disulap menjadi bioskop indie. Sebab itu, bioskop alternatif semacam ini lebih dilirik oleh anak-anak muda atau sineas lokal karena dapat mengapresiasi dengan lebih baik.

Berbicara mengenai film yang diangkat, layar ini rupanya lebih mengedepankan film-film lokal karya anak bangsa. Biasanya film yang diputar adalah karya-karya hasil studi akhir mahasiswa seni atau untuk keperluan lomba.

Meski film yang diputar lebih sederhana dengan durasi film terbilang lebih singkat dibanding film di layar lebar, bukan berarti tidak berkualitas. Beberapa dari film tersebut bahkan berhasil meraih kemenangan di kompetisi film pendek skala lokal maupun nasional.

Namun, seperti yang sudah dikatakan di awal bahwa bioskop indie lebih dikenal di daerah Jawa. Sebab itu, Layar Mahakama merupakan wadah pemutaran film lokal pertama yang ada di Samarinda. Selain penayangan dan apresiasi film, di sana pengunjung dapat saling berbagi ilmu melalui forum diskusi di akhir sesi.

Nama Layar Mahakama sendiri diambil dari bioskop pertama di Samarinda. Bukan tanpa sebab, hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali bioskop Samarinda dalam bentuk bioskop indie dengan menyuguhkan berbagai film karya sineas lokal.

Layar Mahakama diadakan sekali dalam sebulan. Dimulai dari hal kecil, ruang ini ingin mengumpulkan baik komunitas maupun penikmat film untuk saling mengenal dan bersilaturahmi. Meski belum ada tempat khusus untuk pemutaran film, tak mematahkan semangat mereka. Untuk mengakalinya, mereka bekerja sama dengan pihak kafe sebagai tempat acara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun