Memang tidak ada larangan mengenai hal tersebut, meskipun pada tahun 2015 Mahkamah Konstiutsi sempat melarangnya dalam Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Pasal 7 huruf r, namun peraturan tersebut telah di cabut atas dasar hak memilih dan dipilih yang tercantum dalam UUD 1945 dan ditegaskan dalam pasal 28 D ayat 3.
Tidak salah juga jika keluarga para pejabat mengikuti jejak perpolitikan keluarganya, terlebih jika mereka semua berkompeten dalam membenahi kotanya masing-masing. Hal yang disayangkan adalah apabila para kandidat tersebut bukanlah seorang politisi partai yang berpegalaman.
Wajar rasanya jika ada sebagian masyarakat yang merasa khawatir dengan politik kekeluargaan yang berlangsung di Indonesia, sebab saya pun demikian. Khawatir praktik ini bila dipelihara dalam jangka waktu yang panjang akan melahirkan raja-raja kecil di daerah yang secara tidak lansgusng menciptakan sistem oligarki yang terselubung.
Satu-satunya manfaat dari adanya praktik politik kekeluargaan dan kekerabatan adalah para kandidat akan lebih mudah dikenal masyarakat dan jalan untuk semua keluarga yang ingin terlibat dalam sistem pemerintahan semakin terbuka dan semakin mudah untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.Â
Meskipun pemimpin yang sedang menjabat memiliki kinerja yang bagus, belum tentu keluarganya yang lain juga memiliki kemampuan serupa. Dikhawatirkan hal ini akan membuat orang yang tidak kompeten memegang kekuasaan dan orang yang kompeten tidak dilirik karena alasan bukan keluarga.
Ini semua memang subjektifitas pemikiran saya, tapi dalam kenyataannya memang demikian. Dinasti Atut di Banten adalah bukti nyata. Ratu Atut terjerat kasus megakorupsi yang juga mengikut sertakan adiknya Tubagus Chaeri Wardana (Wawan). Namun adanya kasus korupsi tersebut tidak mematikan langkah keluarganya yang lain untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan Banten. Istri wawan sang koruptor, Airin Rachmi justru dicintai masyarakat Tangerang Selatan, terbukti dirinya berhasil menjabat dua periode sebagai Wali Kota Tangerang Selatan. Ia hanyalah salah satu dari keluarga Atut yang menduduki posisi strategis di provinsi Banten.Â
Masih ada suami, Hikmat Tomet (anggota DPR RI Komisi V periode 2009-2014); anak, Andika Hazrumy, (Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022) dan Andiara Aprilia Hikmat (Anggota DPD RI selama dua periode yaitu 2014-2024); menantu, Adde Rosi Khoerunnisa (anggota DPR RI dari fraksi Partai Golkar periode 2019-2024) dan Tanto Warsono Abran (Wakil Bupati Pandeglang 2016-sekarang); adik, Ratu Tatu Chasanah (Bupati Serang 2016-sekarang); saudara tiri, Tubagus Haerul Jaman (Anggota DPR RI periode 2019-2024); hingga keponakannya Pilar Saga Ichsan (calon wakil Wali Kota Tangerang Selatan) yang menanbah daftar baru keluarga atut yang memilki posisi strategis di Banten. Mereka hanyalah sebagian dari beberapa nama tokoh pejabat yang berasal dari keluarga Ratu Atut.
Politik dinasti di Banten adalah salah satu praktik politik kekeluargaan yang saya ketahui. Sepertinya masih banyak lagi praktik politik serupa yang terjadi di daerah-daerah lain. Korupsi, kolusi atau tidaknya memang saya tidak mengetahuinya. Namun praktik politik yang demikian sangat rentan sekali menimbulkan penyimpangan kekuasaan. Dikhawatirkan kasus korupsi akan kian marak dan semakin tertutup rapi jika para pejabat pemerintah berasal dari satu garis keturunan yang sama.
Sumber:Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H