Mohon tunggu...
Rizka Utami Rahmi
Rizka Utami Rahmi Mohon Tunggu... Freelancer - Mom of two and happy wife

I'm a writer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ondel-Ondel, Warisan Kesenian Betawi yang Pesonanya Kian Pudar

27 September 2022   21:17 Diperbarui: 27 September 2022   21:29 2896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Freepik/edanpostudios

Sebagai salah satu kesenian khas mayarakat betawi, dahulu ondel-ondel menjadi sebuah simbol yang digunakan untuk menandai hajat besar seperti 17 Agustusan, hajatan pernikahan, khitanan, atau hajatan khusus lainnya. Biasanya dalam pertunjukannya, ondel-ondel setidaknya terdiri dari dua orang, untuk berperan sebagai ondel-ondel laki-laki dan ondel-ondel perempuan. Tidak lupa juga diiringi dengan pemain musik yang terdiri dari beberapa orang untuk menambah semarak pertunjukan. Lagu-lagu yang digunakan dalam mengiringi ondel-ondel adalah lagu-lagu khas betawi seperti jali-jali, ondel-ondel, keroncong kemayoran dan lain sebagainya.

Tidak jelas kapan waktu ditemukannya ondel-ondel untuk pertama kali, namun dari laman website kemdikbud dikatakan bahwa beberapa ahli memperkirakan bahwa ondel-ondel sudah hadir dalam berabad-abad lamanya di Jakarta. Pedagang yang berasal dari Inggris W. Scot mencatat di dalam bukunya bahwa jenis boneka seperti ondel-ondel sudah ada sejak tahun 1605. Namun tetap saja hal tersebut tidak bisa dijadikan acuan satu-satunya mengenai asal muasal dan kapan pertama kali kemunculan ondel-ondel.

Makna tersirat dari ondel-ondel di gambarkan dari wajah ondel-ondel laki-laki yang diberikan warna merah diartikan sebagai sebuah kekuatan atau keberanian dalam menghadapi kekuatan jahat yang berasal dari luar. Lalu dipertegas lagi dengan tambahan kumis, jenggot, cambang, dan taring agar menjadi lebih jantan dan kuat. Sedangkan ondel-ondel perempuan wajahnya berwarna putih atau kuning yang bermakna ketulusan serta pengabdian terhadap lingkungan. Diberi lipstik, bulu mata lentik dan alis yang lancip untuk makin mempertegas tampilan perempuan yang ayu.

Walau keliatannya hanya sekedar boneka raksasa berjalan, namun ternyata ada makna tersirat dari pembuatan ondel-ondel, terlebih lagi dahulu kehadirannya sangat ekslusif karena hanya muncul di saat hajat besar ditambah dengan arak-arakan yang sangat meriah. Namun sekarang ke-eksklusifan dan pesona ondel-ondel perlahan menghilang.

Dua hingga tiga tahun terakhir mungkin, ondel-ondel layaknya seperti hama yang tiba-tiba menyerang ketenangan kota Jakarta dan sekitarnya. Betapa tidak, bukan lagi seperti ondel-ondel dahulu yang keberadaannya bisa dibilang langka dan menarik, namun kini perlahan sirna dan pudar semenjak makin menjamurnya keberadaan ondel-ondel di sekitaran kota Jakarta. Tidak berbeda seperti pengamen yang lalu lalang di lampu merah, ondel-ondel mulai menyasar ke setiap perkampungan dengan modus seperti pengamen yang meminta sedikit rupiah atas apa yang mereka persembahkan. 

Mirisnya, kebanyakan ondel-ondel yang lewat tersebut adalah anak-anak di bawah umur, bahkan saya sering melihat anak-anak mungkin sekitar umur 6 sampai 9 tahun tanpa alas kaki, sambil memegang ember kecil meminta rupiah ke setiap rumah yang di lewatinya. Satu pertanyaan yang sering terlintas dipikiran saya, apakah mereka semua putus sekolah? Entahlah. Yang jelas ondel-ondel itu suka lewat tidak tahu waktu, kadang jam 8 pagi sudah lewat, bahkan tidak jarang jam 9 malam masih terus keliling kampung.

Lagu pengiring ondel-ondel yang dahulu memutarkan lagu-lagu khas betawi dengan iringan tanjidor dan alat musik khas lainnya, kini ondel-ondel memiliki jenis musik yang kadang berbeda dari fitrahnya sebagai ondel-ondel yamg merupakan warisan kebudayaan betawi. Musik yang diputar pada pengeras suara juga sudah banyak variasinya, bisa musik dangdut atau bahkan lagu barat yang di modif menjadi irama khas betawi.

Sangat disayangkan. Ketika sebuah warisan budaya yang dijaga dan memiliki makna tersirat didalamnya menjadi sebuah alat yang digunakan untuk mencari pundi-pundi rupiah. Tidak lagi eksklusif, ondel-ondel menjadi momok yang kadang dikeluhkan karena dalam satu hari bisa 2-3 kali ondel-ondel berbeda yang lewat. Selain anak-anak yang tentunya senang, orangtua yang kadang bingung, mau dikasih uang tapi kok sering, tidak dikasih ya tidak tega. Sungguh suatu hal yang sebetulnya tidak penting, namun jadi pening ketika sering.

Lantas apakah masih pantas ondel-ondel disebut sebagai warisan budaya betawi jika kiprahnya kini beralih fungsi menjadi alat penghasil pundi-pundi? Satu yang jelas, jika terus dibiarkan kedepannya akan ada banyak lagi modus-modus mengais rezeki dengan cara-cara absurd lainnya. Manusia silver saja belum usai, sekarang tambah lagi ondel-ondel. Semoga saja ada jalan yang bisa meluruskan fenomena yang terjadi di masyarakat ini. Tetap mengabdi pada negeri dan mencintai budaya sendiri tanpa harus merubah jati diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun