Langit tampak remang-remang. Sepertinya akan turun hujan hari ini. Aku pergi menuju warung untuk membantu ibu. Pasti disana beliau kerepotan karena banyak pengunjung. Saat menyusuri jalan setapak menuju warung, langkahku terhenti karena sesosok rupa yang tidak asing lagi bagiku. Shila.
***
Judith membeli sebuah novel hari ini. Kata teman sekostnya, novel itu ceritanya sangat mengharukan dan merupakan best seller. Tiba-tiba muncul ide di pikiran Judith. Kenapa dia juga tidak mencoba peruntungan dengan menekuni dunia sastra itu? Bukankah dia juga sempat memahami sedikit aturan menulis dari Bu Fatimah, guru Bahasa Indonesianya dulu. Judith mulai memikirkan ide cerita. Dia teringat kejadian yang dialami teman-temannya. Misalnya cerita Shila saat SMP yang menyukai Guru Olahraga yang masih muda atau saat Heru termakan omongannya sendiri ketika ia akhirnya luluh juga pada cewek setengah gila bernama Hana.
Satu demi satu kejadian, dia tulis. Dia buat kerangka dan alurnya setelah itu dikembangkan. Dia memang mencampur jadi satu semua kejadian unik bin aneh itu kedalam sebuah novel dengan menggunakan sudut pandang dirinya sendiri sebagai pengarang. Butuh waktu yang lama untuk menyelesaikannya karena waktu Judith juga tersita untuk kuliah. Hingga tepat tanggal 25 Mei 2004 adalah hari bersejarah untuknya ketika novel itu kelar juga. Berbekal alamat yang diberikan oleh temannya, Judith mendatangi salah satu Perusahaan Penerbitan di Bandung. Ternyata usaha tidak sia-sia. Ketua Redaksi itu menyukai tulisannya dan akan menerbitkannya menjadi sebuah novel yang dapat menambah tabungannya. Hari yang dinantikannya tiba ketika Novel itu beredar luas setiap toko buku yang ia datangi, penjual buku-buku di pinggir jalan bahkan anak kecil yang menawarkan dagangannya. Judith gembira.
Tanpa terasa 6 tahun sudah Judith hari-hari Judith dihabiskan di Bandung. Setelah novel pertamanya itu, dia semakin bersemangat untuk menulis sebagai usaha sambilan disamping dirinya yang sekarang bekerja di salah satu Perusahaan Elektronik di Bandung. Judith sudah bisa membeli rumah dengan penghasilannya walau hanya sederhana. Di suatu sore yang dingin karena hujan juga menumpahkan airnya ke Bandung, Judith duduk-duduk sambil membaca novel-novel karyanya. Halaman demi halaman dia baca. Tiba-tiba ingatan masa lalunya kembali datang, “Gimana ya kabarnya sekarang? Udah lama aku nggak pulang.”
“Sekarang dia mau tunangan. Kamu pulang dong, biar tau keadaan disini.” kata-kata Shila saat Judith sempat menelponnya.
Judith duduk terpaku di depan Laptopnya. Dia memikirkan ide baru untuk novel selanjutnya. Kalau selama ini dia hanya terinspirasi dari kisah-kisah orang terdekatnya, kenapa kisahnya sendiri tak pernah ditulisnya. Dia mencoba mengingat setiap kejadian manis yang pernah dialaminya saat dirinya benar-benar jatuh cinta pada seorang pemuda...
***
Fendy, pemuda kelas 3 Sekolah Menengah Atas yang pandai dan tampan. Fendy cukup populer di sekolah. Tak sedikit murid perempuan yang tergila-gila padanya. Salah satunya adalah Judith. Judith memang tidak sepopuler Fendy. Tidak ada kelebihan yang bisa dibanggakan dari dirinya. Prestasinya yang paling menonjol mungkin hanyalah puisi-puisinya yang dimuat di beberapa surat kabar dan majalah. Selebihnya, tidak ada.
Judith selalu mencuri pandang pada Fendy saat dia lengah. Apalagi kalau Fendy sedang konsentrasi menghitung deretan angka-angka saat pelajaran matematika. Benar-benar serius! Judith pernah diam-diam meminta foto Fendy dari beberapa teman laki-laki Fendy dan sesama Fansnya. Saking cintanya, setiap malam Judith selalu bermimpi tentang Fendy. Sebenarnya dia tidak mengharapkan apa-apa dari Fendy. Dia hanya ingin dirinya menjadi orang yang spesial di mata Fendy.
“ Fen, aku cinta sama kamu. Aku pengen jadi cewek kamu...” ucap Judith di suatu siang yang sunyi. Sebagian siswa sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Di kelas itu hanya ada mereka berdua.
“Apa? Yang bener aja?!” jawab Fendy.
Judith tampak serius dengan ucapannya. Fendy bisa melihat itu dari sorot matanya. Judith terus menatap Fendy dan sepertinya sedang menanti jawaban darinya. “Dari awal ketemu, kamu udah narik perhatianku.” Judith mengatakannya dengan penuh perasaan.
“Tapi gue nggak cinta ama lo...” akhirnya jawaban itu keluar juga dari mulut Fendy.
Wajahnya seolah memancarkan kekecewaan. Padahal dia butuh waktu dan keberanian yang lama untuk mengatakan hal ini. Namun dia berusaha untuk tidak kalut dalam suasana itu.
“Rasa cinta itu nggak bisa datang tiba-tiba. Butuh waktu dan proses untuk berkembang. Kalo kamu bisa suka sama seseorang saat pertama kali ketemu, itu bukan cinta tapi kagum.” beber Judith panjang lebar tapi pasti.
Fendy tertawa. Baginya ini adalah hal terkonyol yang pernah dia dengar. Namun bukan ciri khas Fendy bila membiarkan gadis manis itu pergi dari hadapannya. “Trus, gue juga bisa bilang dong, kalo lo ntu cuma kagum ama gue.”
“Ya sih. Tapi rasa kagumku telah berubah menjadi cinta. Kalo kamu mau buka kesempatan buat aku, aku akan berusaha bikin kamu suka sama aku.”
“Oh, ya? Kalo nyatanya nggak?”
“Ya, aku akan mundur. Aku kan nggak bisa maksa kamu buat suka sama aku.”
Fendy menatapnya lekat-lekat. Sepertinya dia mengagumi ucapan gadis berambut ikal kemerahan itu. Tiba-tiba Fendy bingung harus berkata apa. Mulutnya seolah terkunci rapat sehingga tak ada ruang untuk berbicara.
“Kenapa kamu diam? Aku butuh jawaban kamu sekarang.”
“Lo udah tau kan jawabannya?! Gue nggak sedikitpun tertarik ama lo. Katanya rasa kagum bisa berubah jadi cinta. Kalo guenya aja nggak kagum, gimana bisa jadi cinta.” katanya setelah lama berpikir.
Judith tertawa tanpa ada ekspresi marah sedikitpun.
“Ada yang lucu, ya?” tanya Fendy heran.
“Nggak. Ternyata kamu itu sulit jatuh cinta, ya? Membuat aku makin optimis buat dapetin kamu.” Judith pergi begitu saja dari hadapannya sambil melontarkan senyuman yang membuat Fendy semakin terheran-heran dibuatnya.
***
“Fen, aku denger-denger Judith nembak kamu, ya?” kata Ayu saat jam sekolah berakhir. Dia berbeda kelas dengan Fendy. Fendy heran, bagaimana bisa kabar itu tersebar begitu cepat?
“Tau darimana Lo?”
“Ha-ha-ha. Ternyata emang bener. Fendy, Fendy, ngimpi apa sih kamu? Bisa-bisanya berurusan sama cewek macem Judith.” Ayu terus meledek Fendy.
“Emangnya kenapa ama Judith? Ada yang salah?”
“Ya iyalah, salah banget kalo kamu terima cinta Judith. Bisa-bisa reputasi kamu rusak karena dia.”
“Lo mau daftar juga?” kata Fendy menggodanya.
Ayu terdiam untuk beberapa saat. Mata beningnya seolah menerawang jauh ke alam berantah. Kemudian dia menghela nafas sejenak, lalu berkata, “Kamu nantang aku?”
“Iya.” sahut Fendy singkat.
“OK, aku juga nggak mau kalah dari Judith.” jawab Ayu dengan yakin sekali.
Fendy kaget, “Lo? Yang bener aja?!”
“Aku serius, tau! Lagian dengan begitu kan Judith nggak bisa ngedeketin kamu lagi.”
“Serius?” Fendy masih tidak percaya.
“Ya seriuslah. Kapan aku pernah bohongin kamu.” Ayupun tampak kesal melihat raut muka Fendy yang sedari tadi cengengesan. Dia paling tidak suka kalau orang lain menanggapi pembicaraannya dengan main-main.
“Gimana ya? Lo itu masuk kriteria gue nggak ya?” Fendy menggodanya. Sesekali dia menatap mata Ayu yang indah.
“Kamu tau kan, kita itu pasangan serasi. Banyak anak yang bilang begitu sama aku. Kemana-mana selalu bersama. Iya, kan?” Ayupun mulai melebih-lebihkan dirinya dan Fendy.
Ayu memang tidak salah. Dia juga tidak kalah populer dengan Fendy. Mereka memiliki banyak kesamaan dalam berbagai hal, oleh karena itulah mereka berteman. Mereka sering digosipkan pacaran oleh anak-anak lain padahal nyatanya tidak. Mereka hanya sebatas teman dekat.
Fendy adalah tipe cowok pemilih yang selalu mengutamakan fisik. Dia perhatikan penampilan Ayu dengan seksama. Gaya berpakaiannya tidak terlalu buruk, wajahnya lumayan cantik dan berpostur tubuh seperti model. Selain itu juga pintar. Gadis yang sempurna. Setelah mempertimbangkan semuanya, akhirnya dia mengambil keputusan juga.
“Ok, mulai sekarang kita pacaran.”
Ayu tampak bahagia sekali. Tiba-tiba rasa curiga datang dalam diri Fendy. Fendy ingin menanyakan hal itu tapi tertunda saat Ayu terburu-buru keluar dari kelasnya. “Aku ada les siang hari ini. Jadi kamu langsung pulang aja nanti.” kata Ayu sesaat sebelum meninggalkan kelas.
Ternyata di tengah percakapan mereka ada orang lain, Judith, yang bersembunyi di balik pintu. Dia tersenyum miris. Fendy kaget setengah mati melihatnya. Tapi Ayu malah cuek dengan Judith dan terus melangkahkan kakinya pergi.
“Lo?” ucap Fendy spontan.
“Wah, kamu udah jadian ya sama Ayu? Kalo gitu aku ucapin selamat deh.” Judith tersenyum bahagia. Dari raut mukanya tak ada sedikitpun ekspresi sedih. Padahal bisa saja Judith mendengar semuanya tentang apa yang mereka bicarakan tadi.
“Jadi, Lo nggak perlu deketin gue lagi.” jawab Fendy cuek.
“Nggak bisa gitu dong! Kamu kan nggak cinta sama Ayu. Kamu pacaran sama dia itu cuma mau bikin aku mundur.”
“Mau Lo apa? Kalo ngomong tu yang jelas!” Fendy mulai emosi.
“Karena aku udah denger semuanya. Ayu emang suka ama kamu, tapi kamunya nggak.”
“Eh, atas dasar apa lo buat pemikiran seperti itu?”
“Aku paham betul tentang kamu.”
“Oh ya? Emang apa yang lo tau tentang gue?”
“Kamu belum pernah jatuh cinta. Kalaupun selama ini kamu dekat sama cewek, kamu cuma menganggap mereka teman dekat.”
“Sok tau, Lo! Gue cinta kok ama Ayu.”
“Rasa sayang beda sama rasa cinta. Kalo cinta bisa disebut dengan sayang. Tapi sayang belum tentu bisa disebut cinta.”
“Trus, apa arti cinta itu?”
“Cinta adalah bila kamu menyayangi seseorang dengan tulus tanpa kamu tau alasannya. Kamu mutusin buat pacaran sama Ayu karena dia cantik, teman dekat kamu dan ingin menghindar dari aku. Hal itu nggak bisa dibilang cinta.”
“Kemaren kagum, sekarang sayang dan cinta, besok apalagi?”
“Aku cinta sama kamu bukan karena kamu keren dan populer. Aku hanya cinta dan cinta. Aku nggak minta apa-apa. Cuma diri kamu aja yang aku mau.”
Fendy tak bisa berkutik sedikitpun. Adu pendapatpun berakhir. Mereka terdiam bak patung dalam Museum. Entah mengapa, Fendy semakin tertarik dengan Judith. Walau tahu sulit untuk menaklukan dirinya, tapi dia pantang menyerah. Tanpa sadar, Fendy tertawa sendiri yang membuat Judith bertanya, “Kamu nggak kenapa-napa kan?”
“Nggak kok.”
“Emang lagi nertawain apa sih?” tanya Judith penasaran.
“Kamu.” ucap Fendy.
“Emang aku lucu gitu?”
“Banget.” Fendy lalu pergi begitu saja meninggalkan Judith seorang diri. Namun sesekali dia sempat manatap wajah Judith.
***
Judith berjalan sendirian menelusuri trotoar yang sudah usang dimakan usia. Dia melihat Fendy melaju kencang dengan motornya. Dia berharap Fendy menatap ke arahnya. Bukan agar dia dapat tumpangan gratis, melainkan memberinya senyum sapaan yang ramah. Karena dia paham betul kalau Fendy adalah pemuda yang paling pelit senyum kecuali dengan orang yang benar-benar dikenalnya.
Judith terus berjalan sambil melamun sampai-sampai tak sadar kalau Fendy sudah berdiri di hadapannya. Fendy menatap tajam ke arahnya. Judith heran.
“Rumah lo dimana?” tanya Fendy.
“Bentar lagi sampai di pertigaan terus belok baru dapet bis di sana. Trus bisnya akan jalan lurus sampai tiba di depan toko bangunan Armada Jaya. Rumahku masuk ke gang di samping kanan toko itu.” ujar Judith panjang lebar.
Fendy memakai helmnya kembali dan menyalakan mesin motornya. Judith ternyata kecele. Dia mengira Fendy akan memberi tebengan padanya. Padahal hatinya mulai berbunga-bunga.
“Mau kemana Lo?” tanya Fendy saat melihat Judith berniat meneruskan langkahnya kembali. Judith menoleh. Dari raut mukanya, jelas terlihat tanda kekesalan.
“Pulanglah! Emang mau kemana lagi?” ucap Judith.
“Eh, gue bela-belain tunggu Lo lama banget disini. Lo nya malah pergi.”
“Jadi?”
“Ya, iyalah. Mana mungkin gue berdiri sendirian di pinggir jalan kayak orang gila kalo cuma buat tanya gituan.”
Judith tersenyum senang tapi sesaat dia mulai ragu.
“Ini beneran kan?” Judith memastikan sekali lagi.
Fendy mematikan mesin motornya. Dia berbalik arah ke arah Judith. “ Kalo Lo ngomong satu kali lagi, gue patok harga 10 ribu sekali ojek.” Judith tersenyum. Dia masih tidak percaya kalau Fendy yang baru sejam lalu menolak cintanya, kini menawarkan ojekan gratis. Dia naik ke motor Fendy dan motorpun melaju pesat.
***
Judith duduk melamun sendirian di tangga penginapan. Hari ini memang semua siswa di sekolah Judith merayakan kelulusan dengan berdamawisata ke Bali. Judith sendiri tak bisa tidur malam itu. Dirinya sempat melihat beberapa teman laki-lakinya sibuk mengapeli pacarnya di penginapan tempat Judith sekarang. Dia heran, bagaimana bisa mereka begitu berani. Karena setahu Judith, kamar laki-laki dan perempuan dipisah dan dan tidak boleh ada laki-laki mendatangi perempuan begitu pula sebaliknya. Para guru sudah mengancam akan menghukum siapa saja yang melanggar peraturan itu.
Tiba-tiba dirinya dikejutkan oleh kedatangan Fendy. Apa Fendy baru aja nemuin Ayu, ya? Batin Judith. Judith menatapnya saat Fendy menuruni anak tangga itu. Fendy menoleh ke arahnya, “Belum tidur?”
Judith menggeleng sambil tersenyum, “Kamu?”
Entah kenapa Fendy tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk kembali ke kamarnya dan duduk di samping Judith, “Tadi aku baru ke tempat Ayu.”
“Oh? Aku kira apa.” sahut Judith datar.
“Apa yang buat lo suka sama gue?” tanya Fendy tiba-tiba yang membuat Judith mengernyitkan dahi.
“Gue nggak tahu alasannya.” jawab Judith apa adanya.
“Apa?”
“Gue cuman pengen deket dan selalu mencintai kamu. Itu aja.”
Fendy tertawa. “Baru kali ini gue bener-bener dicintai tulus sama cewek. Apa lo akan bertahan cinta sama gue sampe kita udah dewasa nanti?”
“Tentu aja. Karena aku tahu, sekali kamu jatuh cinta, maka kamu akan sulit melupakannya. Dan aku akan berusaha bikin kamu jatuh cinta juga sama aku.”
Fendy terdiam membisu. Gadis misterius ini dapat membaca pikirannya dengan sangat baik. Entah mengapa ia merasakan kecocokan ikatan batin saat dekat dengannya. Meski logikanya selalu berusaha menepis suara hati kecilnya.
“Selamat, lo bisa gue pertimbangkan jadi kandidat istri gue nanti.” ucap Fendy yang membuat Judith terperangah.
"Hah?"
***
Perjalanan wisata di Bali dimulai keesokan harinya dengan tujuan pertama Tanah Lot. Saat itu Ayu benar-benar lupa diri. Dirinya dan teman-temannya sibuk cuci mata dengan pria-pria berwajah oriental yang luar biasa. Karena saking seriusnya, Ayu sama sekali tak menghiraukan Fendy. Fendy berjalan santai sendirian sambil melihat kios-kios yang memajang pakaian indah sepanjang jalan. Belum lagi beberapa minuman segar dan toko souvenir menarik yang cukup memanjakan mata Fendy.
“Jaket kamu mana?” tanya Judith sambil berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Fendy. Fendy kaget melihat Judith yang tiba-tiba saja ada di sebelahnya.
“Tau darimana Lo kalo gue tadi pake jaket?”
“Tadi pas ada di hotel, aku sempet perhatiin kamu.”
“Tadi pagi gue ngerokok trus bau rokok, Ayu nggak suka, makanya gue masukkin dalam tas.”
“Oh, gitu ya?!”
Mereka mengobrol sepanjang perjalanan. Karena lelah, mereka duduk-duduk di batu-batuan sepanjang pantai Tanah Lot yang indah. Ayu datang. Dari ekspresinya, jelas sekali ada rasa tidak suka melihat mereka seperti itu. Dia menarik paksa tangan Fendy dan mengajaknya ke tempat lain.
“Fen, temenin aku beli baju bagus-bagus di depan sana!” katanya sambil menunjuk ke arah tangga yang bila dilalui benar-benar melelahkan. Fendy menurut dan meninggalkan Judith sendirian. Judith terdiam seribu bahasa. Ya, dia cemburu dan ingin sekali Fendy tetap bersamanya di situ.
“Dith, sini!” Shila memanggil Judith. Di tangannya sudah tergengam sebuah kotak kecil. Judith menoleh ke arah sumber suara.
“Foto-foto yuk! Aku tadi bawa kodak.” katanya sambil menarik tangan Judith. Judith menuruti kemauan temannya itu.
***
Kamar itu penuh dengan koleksi foto-foto Fendy. Baik yang berukuran sebesar poster, sampai yang mini lengkap dalam album foto Judith. Puisi-puisinya yang banyak memenangkan perlombaan semuanya terinspirasi dari Fendy. Dia benar-benar ingin dekat Fendy. Judith yakin Fendy juga menaruh perasaan yang sama dengannya. Dia selalu menantikan Fendy menyampaikan isi hatinya.
Judith masuk ke dalam kamarnya dan menumpahkan seluruh air matanya. Dia menangis sesenggukan. Dia teringat kejadian di Pantai Kute kemarin saat Fendy memohon pada Ayu. Fendy memegang tangannya dengan kuat dan menarik Ayu ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan mesra sekali sampai-sampai mereka tak sadar kalau Judith sudah berada di samping mereka. Namun apa reaksi mereka?
“Eh, Judith. Udah lama? Maaf ya?” Ayu tersenyum.
Fendy mengambil sesuatu dari saku jaketnya, “Kamu nyari ini, ya?”
Dia memberi Judith dompet mungil berwarna biru muda. Judith menerimanya namun kerlip-kerlip bintang dalam sorot matanya itu sudah tak terhitung jumlahnya lagi. “Maaf, aku udah ganggu kalian lagi.” Judith pergi secepat mungkin. Fendy hanya menatapnya kosong.
Shila juga melihat semuanya. Dia adalah sahabat dekat Judith sekaligus orang yang paling mengerti tentang Judith. Judith menghambur dalam dekapan lembutnya. Dia menceritakan seluruh kesedihannya pada Shila. Padahal dia bukan bermaksud untuk mengambil dompetnya. Dia sendiri juga tidak tahu kalau dompetnya ternyata berada di tangan Fendy. Dia hanya ingin memberikan Fendy jaket yang susah payah dibelinya.
***
“Gue udah bilang kan kalo gue nggak bisa ninggalin Ayu. Dia segalanya buat gue.” Fendy berkata dengan seenaknya sendiri saat Judith menghadang Fendy yang akan mengambil nilai UAN di sekolah.
“Fen, maksud aku kesini bukan mau tanya gituan. Aku cuma...”
“Gue harus pergi. Hari ini Ayu ulang tahun.” potong Fendy.
Fendy pergi begitu saja dari hadapannya. “Aku cuma mau ngasih jaket ini...” katanya seraya pergi dengan langkah yang terhuyung-huyung. Ya, sepertinya usahanya untuk bisa menjadi pacar Fendy hanya sia-sia. Walau kamu selalu nyakitin aku, tapi aku nggak bisa membenci kamu, Judith menggumam dalam hati.
Judith mencoba menjauhi Fendy. Dia sengaja kuliah sampai ke luar provinsi hanya demi hal itu. Dalam pikirannya, kalau dia jauh pasti lebih cepat lupa. Padahal, dalam kenyataannya, justru sebaliknya, semakin jauh semakin rindu.
Di kota kembang itu, Judith merasa kesepian. Dia merindukan teman-temannya di Mojokerto terutama Fendy. Ya, sampai sekarang Judith tidak bisa melupakan Fendy. Judith selalu menelpon Shila. Dia sampai rela pulang bolak-balik dari kostnya menuju wartel hanya sekedar untuk menyakan Fendy. Pemilik kost sangat pelit sehingga Judith tak berani meminjam telepon rumah.
“Dia baik kok. Yang aku denger, sekarang dia kuliah juga.”
“Tambah cakep nggak dia?”
“Yeee, dasar genit!”
“Ayolah Shil! Aku serius.”
“Iya, iya. Penampilannya makin keren dan dewasa. Kamu kerasan nggak disana?”
“Aku usahain. Tau nggak Shil, disini udaranya dingin banget.”
“ Dasar! Di Bandung aja nggak betah gimana kalo nanti kamu keluar negeri?”
“He-he-he. Kamu kok gitu sih?”
***
‘Ringkasan Cerita’ dari isi novel itu kubaca dengan seksama. Untuk pertama kalinya aku menangis karena sebuah novel. Bukan karena ceritanya tapi si penulis yang tak lain adalah Judith. Ya, dengan membacanya aku teringat kembali akan Judith. Dia meninggal tujuh bulan yang lalu karena penyakit akut langka yang dideritanya.
“Hai, Fen. Lama nggak ketemu. Gimana kabar kamu dan Ayu?”
“Baik. Kamu?”
“Aku juga baik. Ciyeee yang bentar lagi mau married! Kamu bisa kan ntar malam datang ke rumahku. Ada yang ingin aku tunjukin sama kamu.”
“Okelah!” aku menganguk.
Aku terus memikirkan ucapan Shila. Ternyata tanpa sadar perbuatanku telah melukai perasaan Juidth. Kubuka kotak berukuran sedang yang diberikan Shila padaku. Dia mengatakan Judith memberikannya sebagai kado ulang tahunku yang yang jatuh pada hari ini. Setelah kubuka, ternyata berisi sebuah Jaket Jeans warna biru tua. Aku tersenyum bercampur haru. Kugenggam erat jaket itu. Aku tidak menyangka alzheimer telah merenggang nyawa gadis yang misterius itu dengan begitu cepat. Aku juga membuka bungkusan kertas coklat yang juga diberikan Shila. Ternyata isinya sebuah novel berjudul Something About You.
“ Ini novel yang dari dulu Judith ingin berikan sama kamu.” kata-kata terakhir dari Shila sebelum aku pamit padanya.
Aku tidak tahu apa maksud ini semua. Karena malas, aku hanya membaca ringkasannya saja.
***
“Rasa cinta itu nggak bisa datang tiba-tiba. Butuh waktu dan proses untuk berkembang. Kalo kamu bisa suka sama seseorang saat pertama kali ketemu, itu bukan cinta tapi kagum.”Kata-kata dalam novel itu terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku ingat betul ekspresinya saat mengatakan hal itu padaku. Begitu optimis dan penuh harapan. Aku tidak mengira rasa cintanya padaku yang begitu besar dan tulus, aku balas dengan luka yang mendalam. Aku baru menyadari ternyata dibalik kepercayaan dirinya, dia begitu rapuh. Andai saja waktu bisa diulang, aku ingin sekali menjadi perisai untuk melindungi dirinya yang rapuh itu.
Tanpa sadar kudekap novel tersebut dengan erat seolah-olah itu adalah sosok Judith. Aku mengaku aku sangat ingin memeluknya. Aku mengaku sangat ingin menghapus air matanya yang meleleh kala itu. Aku mengaku rindu saat-saat aku beradu argumen dengannya. Aku mengaku ingin kembali ke masa SMA. Ya, aku mengaku aku memang diam-diam mencintai Judith. Tak seorangpun yang tahu tentang hal ini bahkan Judith sendiri. Aku mengaku ucapan di penginapan kala itu kulakukan dengan sadar.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H