Mohon tunggu...
Rizka Fitri Nugraheni
Rizka Fitri Nugraheni Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Psikologi UI Angkatan 2010

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Psikologi: Ilmu tentang Jiwa?

25 Maret 2013   22:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:13 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Psikologi”...

Ketika pendengar kata itu, apa yang terpikirkan ? Sebagian akan menjawab, “ilmu tentang Jiwa.” Penulis pada awalnya juga menjawab itu. Terdengar sangat menarik karena mempelajari suatu yang sangat abstrak namun dekat dengan diri kita masing-masing. Seiring waktu berjalan selama kurang lebih 3 tahun mempelajari psikologi di universitas, penulis akan memberikan jawaban yang berbeda dengan sebelumnya. Jawaban saya sekarang mengenai “Apa itu psikologi” adalah “ilmu tentang tingkah laku.” Jawaban itu bahkan disetujui oleh banyak orang, bahkan penulis mendapatkan pengertian tersebut dari salah seorang dosen.

Mungkin teman-teman yang belum tersentuh mempelajari psikologi modern akan bingung akan perubahan pengertian psikologi. Salah satu alasan mengapa psikologi sekarang merupakan ilmu tentang tingkah laku, adalah pembahasan memang hanya fokus pada tingkah laku manusia, baik yang terlihat dan yang tertutup. Tingkah laku yang terlihat misalnya adalah tingkah laku menolong (prososial) dan agresivitas. Tingkah laku yang tertutup seperti emosi dan proses berpikir (kognitif), keduanya tidak terlihat secara langsung. Bukan hanya itu. Tingkah laku sangat banyak: tidur, makan, berpikir, belajar, berorganisasi, mengasuh anak, merokok, dll. Semua itu dapat dibahas dalam psikologi.

Tidakkah kita semua berpikir mengenai perubahan pengertian psikologi dari jiwa menjadi tingkah laku ?

Coba kita lihat arti psikologi secara bahasa. Psikoogi berasal dari bahasa Yunani. Ada kata “psyche” dan “logos”. Psyche artinya jiwa, logos artinya ilmu. Berarti ilmu tentang Jiwa. Ini kata para filsuf Yunani terdahulu. Kata Plotinus, jiwa berasal dari akal pertama dari Yang Tunggal (Tuhan). Mirip-mirip dengan itu, menurut Ibnu Maskawih jiwa adalah hal sederhana yang tidak dapat diindera oleh salah satu alat indera. Semuanya setuju bahwa jiwa adalah sesuatu dalam diri manusia dan bersifat abstrak.

Jiwa mengandung unsur-unsur metafisik, yang ghoib, atau segala sesuatu yang berada di luar kuasa manusia. Contohnya adalah Tuhan, malaikat, setan, akhirat. Berbeda dengan tingkah laku yang dapat terukur oleh manusia. Manusia masih bisa merasakan emosi, melihat proses berpikir orang lain, mendengar bagaimana orang lain berbicara, merasakan lezatnya makanan atau dinginnya suhu ruangan. Berbeda dengan jiwa yang ada unsur metafisik. Bagaimana tingkat keimanan manusia terhadap Tuhan tentu saja tidak dapat diukur.

Jiwa yang sangat abstrak dan melibatkan unsur metafisik akan mempengaruhi tingkah laku secara tidak langsung. Memang tidak dapat dinilai secara kasat mata atau diukur dengan sistematis. Orang yang beriman pada Tuhan akan memegang nilai-nilai mengenai apa yang diperintahkan, apa yang dilarang, bagaimana kita bertingkah laku dalam sehari-hari. Orang yang dekat dengan Tuhan akan bertingkah laku sesuai dengan perintah Tuhannya. Jika berbuat menyimpang, dia akan merasa bersalah. Itu berdampak pada emosi yang negatif. Dia akan berpikir secara rasional tanpa mengabaikan keberadaan-Nya. Dia juga akan menggunakan hati nurani yang terpaut pada Tuhannya ketika akan bertingkah laku.

Sayangnya, hal-hal metafisik semakin tidak diakui di dunia ilmuwan karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Metode ilmiah menuntut pencari kebenaran menemukan sebuah kesimpulan dengan cara yang sangat ketat. Psikologi menjadi sebagai sains yang sarat akan metode ilmiah, di mana indera berperan begitu besar. Dalam konteks psikologi modern, tingkah laku harus dapat diukur, sehingga dapat dengan jelas dipersepsikan secara objektif oleh semua orang. Manusia tidak dapat melihat Tuhan yang membuat emosi menjadi tenang, ataupun mendengar suara hati nurani yang melarang berbuat menyimpang. Itu merupakan pengalaman spiritual manusia yang belum tentu dirasakan oleh manusia lain dan tentu saja tidak dapat diukur secara obyektif.

Pembahasan tingkah laku semakin bagus, bahkan sudah ada ilmu pengukuran tingkah laku. Itu hal yang bisa dibanggakan karena pengetahuan semakin jelas dengan metode ilmiah tersebut. Semua orang setuju kalau motivasi akan mendorong manusia semakin giat bekerja atau marah akan membuat jantung berdetak lebih kencang. Dari semua kemajuan pembahasan tingkah laku itu, tidak ada pembahasan tentang jiwa yang berhubungan dengan aspek metafisik. Tidak ada pelibatan Tuhan dalam pencarian ilmu, termasuk pembahasan tentang jiwa. Jiwa diwakilkan oleh tingkah laku yang dapat terukur. Tapi, apakah tingkah laku bisa mewakili jiwa yang sebenarnya ?

Ada penyempitan makna psyche selama ini. Psikologi dewasa ini semakin mengagung-agungkan pencarian pengetahuan secara empiris dan rasionalis, sementara hal yang bersifat metafisik diabaikan. Penulis membayangkan ada suatu masa ketika ilmu psikologi akan mengakui keberadaan jiwa dengan hal metafisik tanpa harus menghilangkan unsur-unsur ilmiah sekarang. Perlu diingat lagi, bahwa jiwa itu sendiri akan berdampak pada tingkah laku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun