Hari-hari ini semua kampus, gegap gempita menyambut program Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Pemerintah melalui Kementerian, dan melalui Dirjen DIKTI juga tidak kalah masif mensosialisasikan dan melakukan penetrasi program-program yang bisa mensukseskan kegiatan ini. Semua program yang di usung era Menteri di periode manapun sejatinya baik, meski ada juga kebijakan yang aneh dan justru kontra produktif di masa tertentu. Sebagai sebuah program maka baik berbentuk kebijakan sampai dengan kegiatan implementasi selayaknya hulu ke hilir, maka faktor-faktor yang menyulut keberhasilan dan kegagalan pasti ada. Tinggal bagaimana Kementrian, perubahan arah kebijakan, arah implementasi, keberpihakan pada kemerdekaan belajar, dan selanjutnya tidak di ragukan lagi. Tetapi program di Hulu tanpa melihat kondisi riel di Hilir bisa menjadi bencana sebenarnya. Layaknya kita membendung aliran air dengan membangun waduk di Hulu, tapi tidak menghitung bagaimana aliran air ke Hilir plus geografisnya, tentu bukannya bisa menssuplay air yang cukup, bisa jadi malah menyebabkan kekeringan atau bencana lainnya.
Parsialnya dari orientasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka, memberikan kebebasan kepada mahasiswa program Sarjana guna menempuh studi 3 semester di luar program studi baik itu dalam Perguruan Tinggi maupun di luar Perguruan Tinggi. Akan tetapi mahasiswa yang telah menempuh studi dengan akumulasi empat tahun bahkan lebih belum menjamin seorang mahasiswa paham atau bahkan kompeten dalam jurusan yang di pilih. Program lintas prodi seumpama angin segar namun meninggalkan tanda tanya persisten.
Berangkat dari ulasan singkat diatas penulis hendak merumuskan rumusan masalah sebagai berikut; Konsep Merdeka Belajar, Masalah-Masalah Dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
A. Konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka
Dalam rangka menyiapkan mahasiswa guna menghadapi perubahan sosial, budaya, dunia kerja dan kemajuan teknologi yang pesat, kompetensi mahasiswa harus disiapkan  untuk lebih gayut dengan kebutuhan zaman. Link and Match tidak saja dengan dunia industri dan dunia kerja tetapi juga dengan masa depan yang berubah dengan cepat. Perguruan tinggi dituntut untuk dapat merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang inovatif agar mahasiswa dapat meraih capaian pembelajaran mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara optimal dan selalu relevan.
Kebijakan Merdeka Belajar - Kampus Merdeka diharapkan dapat menjadi jawaban atas tuntutan tersebut. Kampus Merdeka merupakan wujud pembelajaran di perguruan tinggi yang otonom dan fleksibel sehingga tercipta kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai kebutuhan mahasiswa. Program utama yaitu: kemudahan pembukaan program studi baru, perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi, kemudahan perguruan tinggi negeri menjadi PTN berbadan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar program studi. Mahasiswa diberikan kebebasan mengambil SKS di luar program studi, tiga semester yang di maksud berupa 1 semester kesempatan mengambil mata kuliah di luar program studi dan 2 semester melaksanakan aktivitas pembelajaran di luar perguruan tinggi.
Proses pembelajaran dalam Kampus Merdeka merupakan salah satu perwujudan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student centered learning) yang sangat esensial. Pembelajaran dalam Kampus Merdeka memberikan tantangan dan kesempatan untuk pengembangan inovasi, kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa, serta mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan melalui kenyataan dan dinamika lapangan seperti persyaratan kemampuan, permasalahan riil, interaksi sosial, kolaborasi, manajemen diri, tuntutan kerja, target dan pencapaiannya. Melalui program merdeka belajar, yang di rancang dan diimplementasikan dengan baik, maka hard dan soft skills mahasiswa akan terbentuk dengan kuat.
B. Masalah-Masalah Dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka
Tujaun pendidikan; substansi Program Kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang mengutamakan praktik di lapangan (link and match) dikhawatirkan akan melupakan atau mengesampingkan tujuan utama pendidikan. Kebijakan ini sangat kental dengan pendekatan pasar untuk kebutuhan industri, bukan untuk membentuk karakter mahasiswa yang berakhlak mulia, menerapkan nilai-nilai Pancasila, dan cinta tanah air. Dikhawatirkan pula, perguruan tinggi hanya akan melahirkan manusia-manusia pekerja, bukan manusia pemikir kritis.
Mindset; ketika Kampus Merdeka dipandang oleh para petani di Hilir hanya sebatas program dari pak Mentri, Pak Dirjen, Pak Rektor, dan lainnya maka ini adalah kegagalan fundamental. Harus di pahami tidak semua petani punya fikiran yang sama. Minimal ada yang akan merespon kebijakan ini sebagai berikut "Yah... ini karena menterinya... bla-bla", tapi juga ada lho yang seperti ini "Hmm... program seperti ini sudah lama dinantikan, bahkan di inisiasi sembunyi-sembunyi sebelumnya, karena tahu kalau kita buat semprti di prodi, departemen dan lainnya". Nah jika situasinya  seperti ini, mau tidak mau pendekatan dan sosialisasi program  ini tidak bisa ala kadarnya dengan menggecarkan sosial media, youtube dll.
Kerja sama dengan perguruan tinggi lain; kerja sama dengan perguruan tinggi lain bukan persoalan yang mudah. Perguruan tinggi yang sudah mapan tentu mempersyaratkan kerja sama dengan perguruan tinggi lain. Bagi perguruan tinggi yang nilai akreditasi  unggul tentu tidak akan menerima mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi yang nilai akreditasinya di bawahnya. Hal ini tentu tidak menguntungkan bagi mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi yang status akreditasnya masih belum unggul, banyak perguruan tinggi swasta di daerah-daerah akan merasakan hal ini.