Mohon tunggu...
Riza Fakhrumi Tahir
Riza Fakhrumi Tahir Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pernah menjadi jurnalis di harian Mimbar Umum Medan, terakhir sebagai Wakil Pemimpin Redaksi (2001-2003). Sekarang berwiraswasta dan berpolitik melalui Ormas KOSGORO 1957 dan Partai GOLKAR...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Libido Politik di Balik Lembaga Independen: Kasus Abraham Samad

2 Februari 2015   08:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:58 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kisah petualangan politik Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, tampaknya makin seru. Setelah Plt. Sekjen PDIP Hasto Kristianto mengungkap enam kali pertemuan Samad dengan sejumlah petinggi PDIP menjelang penetapan Calon Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo, kemarin pengurus lainnya, Arteria Dahlan, mengungkap foto – foto pertemuan Samad dengan anak seorang jenderal di rumah mantan Kepala BIN Jenderal Hendropryono. Lengkap sudah “penderitaan” Samad sebagai dampak “ulahnya” sendiri, terlalu bernafsu menjadi wakil presiden.

Punya cita – cita dan ambisi, boleh – boleh saja. Aneh kalau manusia tidak punya cita – cita dan ambisi. Justru, itulah  yang membedakan manusia dan binatang. Kalau manusia tidak punya cita – cita dan ambisi, samalah dengan binatang. Untuk mencapai cita – cita dan ambisi, tidak bisa sembarangan. Banyak hal yang perlu diperhatikan. Ada aturan, syarat dan etika yang harus dipenuhi, ada juga ruang dan waktu yang harus dilampaui.

Kalau Menteri Dahlan Iskan ingin jadi presiden, bisa dan legal karena itu hak politik mereka sebagai warga Indonesia. Kalau Menteri Gita Wiryawan mau jadi menteri, wajar saja. Kalau Gubernur Joko Widodo ikut mencalonkan diri sebagai presiden, tidak ada yang berhak melarangnya. Kalau pimpinan partai politik seperti Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Prabowo, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, itu memang domain mereka. Monggo…..

Kalau Mahfud MD, mau jadi presiden, juga tidak masalah. Yang penting, dia tidak memanfaatkan jabatan dan lembaga yang dipimpinnya saat menjabat Ketua MK untuk tujuan politik. Jika Abraham Samad “ngebet” jadi  wakil presiden atau presiden, kenapa tidak ? Yang penting, Samad tidak menggunakan KPK dan jabatannya sebagai Ketua KPK menjadi alat tawar menawar, kenderaan politik dan mereduksi kasus – kasus hukum demi target politik pribadi dan kelompoknya.

Seksi dan Dekat Publisitas

Dari berbagai lembaga tinggi negara di Indonesia, Mahkamah Konsitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah dua lembaga tinggi yang sangat popular. Ini karena, MK dan KPK merupakan lembaga independen yang menangani kasus – kasus hukum secara ad-hoc. MK menangani masalah – masalah berkaitan dengan konstitusi dan perundang – undangan, sedangkan KPK khusus masalah tindak pidana korupsi.

Dengan spesifikasi kasus hukum yang ditangani, membuat MK dan KPK menjadi lembaga “seksi”, dan sangat dekat dengan publisitas. Ratting-nya tinggi, mengalahkan Komisi Kepolisian, Komisi Yudisial, Komisi Perlindungan Anak bahkan Komisi HAM. Siapapun yang memimpin kedua lembaga, begitu cepat popular. Kebanyakan dari mereka menjadi tokoh “instant” karena dipopularkan oleh lembaga.

Sebelum menjabat Ketua KPK, siapa yang mengenal Abraham Samad ? Boleh jadi Samad punya akses ke sejumlah tokoh nasional, tapi dia hanya seorang aktifis lokal di Sulawesi Selatan. Setelah menjadi Ketua KPK, rakyat Indonesia baru mengenalnya. KPK yang melambungkan nama Samad. Tanpa KPK, Samad tidak ada apa – apanya.

Beda dengan Mahfud MD, yang selain seorang ahli dan profesor hukum tatanegara, juga politisi PKB, mantan  anggota parlemen dan mantan menteri. Sebelum menjabat Ketua MK, Mahfud sudah popular.  Popularitasnya kian meningkat setelah menjabat Ketua MK. Saya tidak tahu, apakah Mahfud yang memulai atau memang rakyat menilai secara obyektif tentang sosok Mahfud hingga saat masih menjabat Ketua MK, Mahfud sudah digadang – gadang menjadi Capres/Cawapres.

Tapi, mudah terbaca, opini publik membuat libido politik Mahfud semakin tak terkendali lagi. Di berbagai daerah di Indonesia, dia membentuk komunitas relawan, yang akhirnya bermetamorfosa menjadi “Sahabat Mahfud”. Untung sajalah jabatan Ketua MK berakhir sebelum Pilpres sehingga jabatan Mahfud sebagai Ketua MK tidak sempat jadi persoalan di ranah publik.

Di tahun – tahun akhir masa jabatannya, Dahlan Iskan, Gita Wirjawan dan Mahfud, yang cenderung memanfaatkan lembaga dan jabatannya untuk sosialisasi dan meningkatkan elektabilitas,  masuk ke bursa Capres/Cawapres pada 2014. Gita  mundur dari jabatan Menteri Perdagangan, Mahfud mengakhiri masa jabatan sebagai Ketua MK tepat waktu, meski  pencalonannya terhenti karena tidak ada Parpol yang mencalonkannya. Jenderal Pramono Edi masuk bursa Capres setelah tidak aktif sebagai Kepala Staf TNI-AD. Sikap Dahlan yang tidak patut, karena tetap menjabat Menteri BUMN hingga akhir jabatan, meski sempat mengikuti Konvensi Partai Demokrat.

Libido Politik

Sikap lebih parah dari Dahlan adalah Samad yang secara diam – diam, terutama karena PDIP sering mengundangnya sebagai nara sumber, menyimpan ambisi menjadi Cawapres. Ungkapan Plt Sekjen PDIP, Hasto Krisyanto, bahwa Samad enam kali bertemu fihak PDIP sebelum Pilpres, mengundang polemik dan debat yang sangat serius. Jika ungkapan Hasto  benar, maka Samad melakukan perselingkuhan politik untuk memenuhi libido politiknya menjadi Cawapres mendampingi Joko Widodo, dan Samad bisa dipidana.

Sebenarnya, hak – hak politik Samad tidak beda dengan Dahlan, Gita, Mahfud dan Pramono, bahkan juga dengan para pemimpin partai politik. Mereka sama – sama punya hak untuk menjadi calon presiden, calon wakil presiden atau jadi apa saja yang memerlukan dukungan politik. Yang membedakan adalah fungsi, tugas dan domain lembaga yang mereka pimpin.

Samad sebagai Ketua KPK, atau Mahfud sebagai Ketua MK misalnya, punya kedudukan sosial dan politik yang berbeda dengan Dahlan, Gita, Pramono dan para pemimpin partai politik. Sebagai pemimpin KPK dan MK, dua lembaga hukum independen, erat bersinggungan dengan politik dan partai politik. MK banyak mengadili kasus dan sengketa politik, baik intern partai maupun antarpartai politik. KPK juga demikian, banyak mengadili kasus – kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik, baik di eksekutif maupun legislatif.

Siapapun yang memimpin dua lembaga ini, termasuk Mahfud dan Samad, pasti sadar akan posisi dan tanggungjawabnya. Mereka faham harus bekerja secara profesional dan independen, tanpa ambisi dan intervensi politik. Untung saja, Mahfud mengakhir jabatannya sebelum manuver politiknya jadi perbincangan di ranah publik. Ruginya, manuver Samad “kebablasan”  sehingga saat ini dia “babak belur” digebuki opini publik.

Menembak di Atas Kuda

Apa yang terjadi saat ini di KPK dan Samad, menjadi preseden bahwa popularitas telah merangsang seseorang untuk meraih kekuasaan lebih besar dan banyak lagi dari yang sudah didapatnya saat ini. Ada libido politik di balik lembaga – lembaga independen. Dekat dengan publisitas dan popularitas, telah meningkatkan libido politik para pimpinan lembaga negara. Mereka sudah menikmati peran lembaga yang melambungkan popularitas mereka, tapi ternyata mereka tidak puas dengan popularitas.

Saya masih menaruh rasa hormat terhadap Mahfud, yang melakukan sosialisasi dan bekerja keras untuk meningkatkan elektabilitasnya. Lebih hormat lagi karena dia tidak memperdagangkan jabatannya sebagai Ketua MK, tidak melakukan tawar menawar politik dengan partai – partai pengusung capres dan cawapres.

Sedangkan Samad hanyalah seorang tokoh instant, yang popular karena dukungan nama besar KPK. Boleh jadi Samad sadar akan elektabilitasnya yang rendah. Sayangnya, dia hanya mau terima bersih. Tanpa kerja keras, keringat dan beban politik, Samad ingin menjadi cawapres mendampingi Jokowi. Keinginan Samad itu ibarat “koboi menembak di atas kuda”, hanya bermodal jabatan Ketua KPK ingin jadi cawapres. Tapi, dia tergelincir (belum jatuh) ketika memanfaatkan jabatan Ketua KPK untuk menutupi kelemahannya.

Gempuran politik PDIP terhadap Samad, pasti memberi konsekuensi kepada keberadaan dan kredibilitas KPK. Ditambah lagi gempuran Polri yang menetapkan status tersangka atas Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto, dan diadukannya dua Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu dan Zulkarnain, ke Mabes Polri beberapa hari setelah Bambang ditangkap polisi.

KPK, tanpa Samad, memang harus diselamatkan. Biarlah Samad menyelamatkan dirinya sendiri, karena akibat prilaku politiknya publik mulai meragukan keampuhan KPK memberantas korupsi.  KPK harus bersih dari ambisi dan intervensi politik. Kalau mau bermain politik, tinggalkan KPK. Suka atau tidak suka, masuklah ke ranah parpol.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun