Mohon tunggu...
Riza Fakhrumi Tahir
Riza Fakhrumi Tahir Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pernah menjadi jurnalis di harian Mimbar Umum Medan, terakhir sebagai Wakil Pemimpin Redaksi (2001-2003). Sekarang berwiraswasta dan berpolitik melalui Ormas KOSGORO 1957 dan Partai GOLKAR...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

KPK dan Polri, Sama-sama Akrobat

24 Januari 2015   06:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:28 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mantan Wakapolri Komjen Oegroseno menyindir tindakan Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto (BW) sebagai akrobat. Katanya, kasus yang mengaitkan BW itu kasus “cabut – lapor.” Laporan kasus Pilkada di Kota Waringin Barat yang terjadi pada 2010, ini sudah sempat dicabut. Lalu, pada 19 Januari 2015, dilaporkan lagi ke Polri.

“Kalau dicabut, dilaporkan lagi,  ini kan semua akrobat,” kata Oegroseno. Dia mengatakan, seharusnya penyidik mengumpulkan dulu fakta – fakta agar perkaranya terang. Untuk mendalami suatu kasus, harus melihat saksi – saksi terkait.

Oegro benar. Sebagai mantan pejabat tinggi di Polri, tentu dia sangat faham mekanisme penyidikan sebuah perkara di kepolisian, mulai penerimaan laporan pengaduan hingga pelimpahan ke kejaksaan. Sebagai orang awam di bidang hukum, saya sendiri melihat ada keanehan bahkan kejanggalan dalam penangkapan BW. Ya, itu tadi…cabut – lapor – tangkap. Tanggal 19 dilaporkan, tanggal 23 ditangkap, tanpa proses pembuktian, pemeriksaan saksi dan lain-lain.

Memang mengejutkan. Saya menduga, dan seperti juga banyak kalangan menyebut, penangkapan ini ada kaitan dengan keputusan KPK yang menetapkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka dalam kasus korupsi/gratifikasi. Penetapan status tersangka itu terjadi di hari – hari menjelang Presiden Jokowi melantik BG sebagai Kapolri.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana Oegroseno melihat mekanisme penetapan BG sebagai tersangka ? Kasus yang ditimpakan kepada BG, malah jauh lebih lama dibanding kasus BW, tahun 2006. KPK menerima laporan kasus BG pada 2010, dan penetapan tersangka beberapa hari lalu, saat BG akan dilantik sebagai Kapolri.  KPK belum pernah memeriksa BG, begitu juga saksi – saksi terkait. Siapa yang memberi uang, dimana dan kapan, juga tidak jelas. Proses penyidikan belum ada, KPK kemudian menangkap BG. Apakah Oegroseno tidak melihat mekanisme penangkapan yang dilakukan KPK juga akrobat ?

Aroma politik dalam perseteruan Polri-KPK ini memang tercium. Tapi, saya tidak ingin menaburi tulisan ini dengan aroma politis. Perspektif saya hanya kewajaran dan kepatutan dalam proses hukum, apalagi melibatkan pejabat tinggi negara. BG dan BW adalah pejabat tinggi negara di lembaga penegakan hukum, KPK dan Polri. Kedua lembaga ini berada di bawah kordinasi presiden, karena Kapolri dan pimpinan KPK ditetapkan berdasarkan keputusan presiden.

Sebelum langkah – langkah hukum (penetapan tersangka)  diambil, sebaiknya dilakukan langkah – langkah etis terlebih dulu. Meskipun KPK lembaga independen, tidak salah jika  pimpinan KPK berkordinasi terlebih dahulu dengan presiden karena BG akan dilantik sebagai Kapolri oleh presiden.

Lalu, penetapan tersangka terhadap BG juga terkesan mendadak dan dipaksakan. Andai penetapan tersangka atas BG dilakukan beberapa bulan lalu, tentu saja perseteruan Polri-KPK bisa dihindari. Tidak ada fihak yang merasa dipojokkan dan dipermalukan. Keputusan KPK itu melibatkan lembaga kepresidenan, parlemen dan Polri.

Jadi, sebuah keputusan yang benar menurut hukum, belum tentu baik dari sisi kemanusiaan dan kemasyarakatan. Inilah yang sedang dihadapi KPK, boleh jadi benar dalam penetapan status tersangka, tapi tidak etis dari segi waktu penetapan. KPK membuat keputusan yang benar pada waktu yang salah.

Wajar saja jika kemudian publik mencium aroma politik dalam kasus BG, mengait – ngaitkan ambisi Ketua KPK Abraham Samad yang gagal dicalonkan sebagai wakil presiden oleh PDIP, bahkan dendam pribadi Samad terhadap BG.  Apalagi Sekjen PDIP Hasto Krishanto mengungkap testimoninya ke publik bahwa fihaknya sudah enam kali bertemu dengan Samad menjelang Pilpres 2014, publik semakin tidak percaya jika penetapaan BG sebagai tersangka semata – mata penegakan hukum, dalam rangka pemberantasan korupsi.

Respon Polri terhadap penetapan BG sebagai tersangka, tampak terkesan extra-ordinary. Sehari setelah dikukuhkan sebagai Pelaksana Tugas Kapolri, Komjen Badrodin Haiti bertemu dengan sejumlah mantan Kapolri. Situasi panas semakin terungkap, terkait dengan sinyalemen Kabareskrim Polri bahwa ada “penghianat” di internal Polri.

Yang aneh dan janggal adalah laporan kasus BW masuk ke Polri hanya beberapa hari setelah BG dijadikan tersangka. Publik kemudian menilai inilah cara Polri melampiaskan dendamnya kepada KPK, lembaga yang berkali – kali mempermalukan institusi Polri. Cara Polri men-TSK-kan BW, sangat jelek dan kotor. Wajarlah jika Oegroseno menyebutnya sebagai “akrobat”. Dan, seperti halnya terhadap KPK, publikpun tidak percaya tindakan Polri menangkap BW semata – mata penegakan hukum.

Publik sudah tahu, apapun yang dilakukan KPK dan Polri, sama – sama beraroma politis. Kepentingan politik dan dendam pribadi menjadi perseturan lembaga tinggi penegakan hukum. Ambisi kekuasaan telah membawa institusi yang bergelar “terhormat” ke dalam konflik. Untuk sebuah target, mereka mengabaikan proses. Ibarat bermain akrobat, yang penting citra dan penonton terpana, proses soal kedua. Itulah yang dilakukan Polri dan KPK saat ini, sama – sama bermain akrobat.

Dalam situasi seperti ini, dimanakah Presiden Jokowi berdiri ? Menjadi penonton akrobat atau ikut main akrobat ? ***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun