Mohon tunggu...
Riza Syeibban Nasta Budi
Riza Syeibban Nasta Budi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Futsal, Cita-cita Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Tokoh Agama dalam Politik: Refleksi dari Pengunduran Diri Gus Miftah

16 Desember 2024   12:20 Diperbarui: 16 Desember 2024   21:08 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengunduran diri Gus Miftah dari posisi staf khusus di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) menggambarkan dilema yang sering dialami tokoh agama atau figur publik ketika terlibat dalam ranah politik atau pemerintahan. Sebagai seorang pendakwah yang dikenal dengan pendekatan inklusif dan gaya khasnya, Gus Miftah menghadapi berbagai tekanan, termasuk kritik terkait keterlibatannya dalam jabatan politik.
Menurut pernyataannya, keputusan untuk mundur didasarkan pada keinginan untuk menjaga independensi serta fokus pada aktivitas dakwahnya. Hal ini menunjukkan bahwa Gus Miftah memiliki sensitivitas terhadap opini publik dan berupaya mempertahankan kepercayaan umat. Kasus ini juga menyoroti tantangan yang dihadapi tokoh agama dalam membedakan peran keagamaan dan politik, terutama di Indonesia, di mana masyarakat cenderung menuntut tokoh agama bersikap netral.

Keterlibatan tokoh agama dalam pemerintahan memang sering menjadi bahan perdebatan. Di satu sisi, mereka bisa berfungsi sebagai penghubung antara kebijakan pemerintah dan masyarakat. Namun, di sisi lain, hal ini kerap memicu persepsi negatif atau tuduhan keberpihakan yang dapat merusak reputasi mereka di mata publik.


Langkah mundur yang diambil Gus Miftah dapat dianggap sebagai keputusan yang tepat dan terhormat. Selain melindungi dirinya dari potensi kritik lebih lanjut, keputusan ini juga memberi ruang bagi pemerintah untuk memilih staf khusus yang lebih fokus pada aspek teknis tanpa terbebani isu moral atau keagamaan.


Kasus ini juga menyoroti pentingnya transparansi dalam penunjukan individu untuk jabatan strategis. Pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam memilih figur, terutama yang berasal dari kalangan agama, agar tidak menimbulkan konflik kepentingan maupun gejolak di masyarakat.

Pengalaman Gus Miftah memberikan pelajaran berharga bahwa hubungan antara agama dan politik harus dikelola dengan cermat untuk menghindari polemik sosial.

Penulis : Riza Syeibban Nasta Budi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun