Mohon tunggu...
Rizal Yunus
Rizal Yunus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kepribadiannya seperti Harimau

Pengalaman, Gagasan, Tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Demoralisasi Akibat Globalisasi

27 Maret 2021   00:00 Diperbarui: 27 Maret 2021   00:03 2702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Media sosial, dunia baru yang kita kenal kurang lebih dalam satu dekade terakhir yang mulai menjadi landasan utama aspek kehidupan setiap manusia. Zaman globalisasi yang terus maju mengikis masa membuat semua hal terasa cepat berlalu. Kita tidak pernah menyangka jika perangkat yang kita gunakan sekarang memegang peran sangat besar dalam membantu kehidupan setiap dari diri kita. Tidak pernah terbayangkan oleh orang-orang yang dahulu mengembangkan apa yang disebut sebagai perangkat komputer akan menjadi lompatan yang besar bagi sejarah umat manusia. Seperti yang sudah kita ketahui, ENIAC (Electronical Numerical Integrator and Computer) yang memiliki kapasitas satu ruangan besar untuk satu perangkatnya perlahan berevolusi menjadi segenggam tangan seperti yang kita kenal sekarang.

Berawal dari keperluan intelejensi atas dampak yang terjadi saat berlangsungnya Perang Dingin (1947 - 1991) yang dimotori oleh dua negara besar saat itu, Uni Soviet dan Amerika Serikat. ENIAC merupakan perangkat komputer yang awalnya dipergunakan sebagai sarana penelitian untuk menghitung tabel tembakan senjata, atau secara umumnya, perangkat-perangkat komputer generasi awal diperlukan untuk keperluan militer. Begitupun telepon seluler yang selalu ada dalam genggaman kita, juga merupakan buah kepentingan militer yang memiliki bobot sebesar satu kilogram.

Namun semua berubah secara perlahan dan pasti, akan kepentingan manusia yang semakin hari semakin sibuk, memerlukan perangkat komunikasi dan elektronik yang efektif, namun juga efisien. Tim Berners Lee, mungkin sebagian sobat sudah mengetahui beliau, seorang ilmuwan komputer yang pertama kali mengembangkan apa yang disebut sebagai WWW (World Wide Web), jaringan yang kita kenal sebagai internet nantinya, berhasil memadukan perangkat komputer dengan jaringan lunak. Sehingga perlahan akan muncul berbagai brand elektronika seperti Sony, Samsung, dll dalam mengusung perangkat yang diharapkan membantu umat manusia untuk menyelesaikan segala pekerjaannya.

Akan tetapi jauh melewati masa tersebut, saya akan mengajak sobat readers untuk merenung sedikit. saya mengutip monolog dalam film Gods Must Be Crazy yang diproduksi oleh Twentieth Fox Century (20th) yang jika tidak salah ingat, narator berbicara sebagai berikut “...only 600 miles to the south, there’s vast city, and here you find civilized man. Civilized man refuse to adapt himself to his environtment. Instead, he adapted his environtment to suit him, so he built cities, roads, vehicles, machinery, and he put up power lines to run his labors-saving devices but somehow he didn’t know when to stop. The more he improved his surroundings, to make his life easier the more complicated he made it...” dari kalimat terakhir kita digambarkan bahwa semakin banyak inovasi yang dilakukan untuk mempermudah pekerjaan kita, semakin sulit hidup kita. Saya sedikit terhenyak dan miris bila dikaitkan dengan situasi sekarang ini. Namun ketika saya melanjutkan menonton film tersebut, saya mendapati bahwa masih ada orang yang kita anggap sebagai “primitif” justru masih menganut nilai-nilai sosial yang dibawanya, kelompok masyarakat ini belakangan saya ketahui sebagai suku Bushmen yang hidup di dataran Afrika sebelah selatan. Mereka hidup tanpa teknologi elektronik dan segala macam keriuhan yang biasa ditemukan di kota-kota besar. Kemudian saya mengetahui bahwa dampak yang dibawa oleh besarnya arus globalisasi yang sudah saya sebutkan diatas, mengakibatkan ketergantungan akan perangkat telekomunikasi ini.

Orang-orang menjadi tertutup, kurang ramah, dan cepat emosi. Berdasarkan beberapa literatur yang sudah saya baca sebelumnya, kondisi demikian disebabkan karena adanya ketergantungan dan ekspektasi yang tinggi terhadap satu tumpuan, namun disisi lain melupakan nilai-nilai sosial dan kebersamaan. Orang menjadi emosi karena merasa berani, juga lupa bahwa terdapat banyak pengguna yang serupa dengan dirinya. Sehingga ketika ada suatu permasalahan yang tersebar, maka orang-orang (khususnya warganet Indonesia) seolah-olah menjadi paling paham permasalahan tersebut dan terang-terangan memaki dan merundung orang yang tidak memiliki pendapat yang sama dengannya. Padahal kita mengenal apa yang disebut musyawarah, menghargai pendapat orang, dan tidak memaksakan pendapat terhadap orang lain. hal ini yang saya sebut sebagai demoralisasi. Lebih jauh dari itu, akibatnya kita menjadi agresif sendiri ketika berselancar di internet, melupakan perasaan pengguna yang lain dan berlaku sembrono serta tidak sopan. Sudah banyak kita mengetahui tentang kasus pengguna medsos yang ditangkap karena bertindak tidak sopan kepada orang lain, lain sikap di media sosial, ternyata di dunia nyata tidak segarang di dunia maya. Satu hal yang bisa saya contohkan adalah ketika seorang pemuda di Yogyakarta didatangi polisi dan diinterogasi hingga pemuda tersebut seperti tidak punya harga diri.

Beralih ke pengalaman saya yang lain, ketika saya iseng-iseng berselancar di platform buku wajah sekadar membunuh waktu saja, saya menemukan banyak kejanggalan yang terjadi pada adik-adik dalam video yang saya lihat, saya taksir lahir setelah tahun 2010. disana saya cukup kaget karena dalam video tersebut, mereka diwawancarai oleh remaja untuk menunjukkan kebolehan mereka menjawab seputar pertanyaan-pertanyaan umum. Mungkin bagi kita yang lahir pada dekade akhir abad 20 kemarin (read:1990-1999) dan kelahiran awal 2000-an cukup mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut. Mereka ditanyakan beberapa macam seperti berikut “sebutkan 3 pahlawan Indonesia!”, kemudian bertanya “benarkah presiden ke empat adalah Megawati?”, atau memberikan klu yang merujuk pada lagu-lagu nasional seperti Ibu Kita Kartini, Nyiur Hijau, Bandung Lautan Api, atau lagu-lagu nasional apapun, yang tentu kita dapatkan ketika menginjak sekolah dasar kurang lebih dekade kemarin. Namun  saya justru tertawa ketika mereka kelimpungan panik, atau tidak tahu sama sekali, justru apabila mereka itu ditanyakan seputar game online, mereka langsung sumringah bahagia seolah-olah itu adalah bagian dari hidupnya. Semisalkan ditanya seperti berikut: “apa kepanjangan epep (FF)” “sebutkan hero Mobile Legends, atau diminta menyanyikan lagu Ampun Bang Jago, mereka langsung lancar menjawabnya. Saya sedih, miris sekaligus tertawa setelah melihat video itu, dan berharap kepada Tuhan supaya bangsa ini tidak mengalami cacat wawasan satu generasi.

Saya tidak bermaksud membandingkan siapa yang lebih baik, namun ingin mengajak supaya setiap dari kita memiliki peran penting untuk membantu negeri ini memperbaiki sumber daya menjadi lebih baik. Mungkin contoh yang saya berikan masih kurang bisa dipadankan, namun bila digeneralisir, pengetahuan umum yang seharusnya menjadi landasan berfikir untuk dikembangkan anak usia mereka itu menjadi lebih besar bila mereka memang sudah memiliki informasi yang tertanam dalam otak mereka, bukan semata-mata asik sendiri dan membiarkan mereka tenggelam dalam keasikan akibat menikmati perangkat yang terus berkembang demikian cepat ini. Sekaligus juga, sejauh ini saya selalu berusaha menanggapi setiap postingan yang disebarkan oleh random netizen dengan bahasa yang santun, enak dibaca, sekalipun ada pendapat bertentangan, saya selalu utamakan untuk bertanya sudut pandang mereka, bukannya malah memaki netizen lain karena saya paham bagaimana rasanya disakiti, hehehe.. tulisan ini saya peruntukkan untuk seluruh pembaca, dan khususnya kepada saya sendiri untuk selalu mengoreksi diri, tabayyun terhadap pengguna ruang publik di media apapun. Tujuannya adalah satu, membantu bangsa memperbaiki kualitas sumber dayanya, karena saya punya visi dan harapan besar kepada bangsa ini, bila ingin maju, maka setiap insan harus diberdayakan dengan sebaik-baiknya, mendidik dengan sebenar-benarnya mendidik, bukan hanya memberi sekadar memberi. Semoga kita semua bisa menempatkan diri kita untuk memberikan sumbangsih yang lebih baik kepada sesama umat manusia. Akhir kata, saya akhiri dengan salam sehat bahagia dan sukses selalu dimanapun sobat berada. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun