Mohon tunggu...
Rizal Yunus
Rizal Yunus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kepribadiannya seperti Harimau

Pengalaman, Gagasan, Tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mau Bermental Koruptor atau Ksatria?

18 Maret 2021   14:45 Diperbarui: 18 Maret 2021   15:34 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Halo, kawan. Gimana kabar semua? Semoga semuanya baik-baik saja. aku pendatang baru di dunia blog semacam ini, jadi pengalaman menulis kurang banyak seperti teman-teman bloging atau disini biasa disebut kompasianer. Di sini  ini aku akan banyak bercerita tentang pengalaman, ide dan gagasan yang tidak aku ceritakan kepada teman-teman. Aku dapat sedikit 'ilham' setelah melihat adik-adik tingkatku di kampus yang aktif menulis di laman seperti ini, selain itu sebenarnya mereka juga terinspirasi dari teman sekelasku yang juga aktif jadi penulis. Mungkin dengan melampiaskan segala unek-unek di kehidupanku melalui tulisan ini, bisa menjadi bahan bacaan sekaligus renungan bagi kawan-kawan readers semua.

Oh iya perkenalanku belum selesai ya. Saat ini aku duduk di bangku perkuliahan semester akhir dengan program studi pendidikan sejarah, di salah satu kampus negeri di Bali. saat menginjak bangku Sekolah Menengah Atas, aku sebenernya nggak memilih jurusan yang akan didalami. Justru malahan milih jurusan ilmu bahasa XD. Mungkin mirip kepribadianku saat itu yang nggak terlalu senang dengan tantangan. Balik lagi saat ini, jadi saat artikel ini ditulis, aku sedang menyelesaikan tugas skripsi-ku yang mengangkat topik tentang potensi museum di salah satu daerah di Bali sebagai sumber belajar untuk anak-anak SMA.

Mungkin cukup segitu dulu perkenalannya. Next, jadi aku mau cerita ke kalian tentang pengalamanku. Sedikit pengalaman yang sebenarnya memalukan untuk diceritakan,mungkin sebagian orang akan menganggap biasa aja, tapi sebenarnya aku cukup merasa malu. Berawal dari kejadian tahun lalu, ketika ada gelaran lomba debat tingkat nasional di Yogyakarta, saat itu sedang ramai berita pandemi Covid-19. Kampus mulai pada tutup. Dimulai di daerah Jakarta, ada beberapa kampus negeri memutuskan untuk tutup (read:aktivitas via daring alias lewat internet). Nah, aku yang kebetulan sudah mengurus proposal untuk pengajuan dana ke pihak universitas sedikit rancu karena antara dana yang barusan aku ambil di lembaga, dengan berita covid segera melebar, kampusku pun kena dampak untuk mlanjutkan segala aktivitas via jaringan. 

Akhirnya uang yang baru saja aku gunakan untuk membeli tiket tidak jadi terpakai karena pihak kampus 'melarang' mahasiswa/i-nya untuk beraktifitas lomba di luar. Jadi ya.. tiketnya aku simpan, sisa uangnya juga. Yang naas, uang itu tidak pernah aku kembalikan kepada lembaga hampir selama setahun. Bulan Desember 2020 kemarin. Aku bertekad untuk mengembalikan uang tersebut karena aku merasa ini bukanlah hak-ku untuk menyimpannya. Lagipula mental-ku bukan mental-mental koruptor. Setidaknya begitulah sejauh ini, mudah-mudahan selamanya tidak pernah jadi orang yang korup. 

Yang herannya lagi. Ketika aku mengembalikan uang tersebut ke petugas yang dulu membantu mengurusi pencairan dana tersebut, malah dia balik bertanya kepadaku. "dek ini kenapa dikembalikan...". Sontak dalam hatiku kaget, "lah kok malah nanya begitu, toh gitu kan taunya disimpan saja, pakai foya-foya.". aku sempat berfikir, apakah memang begini sistemnya? Kenapa malah mereka tidak menginginkan uang itu lagi, tapi aku sadar itu bukan tindakan ksatria, atau yah begitulah istilah yang sering aku gunakan ketika merasa dilema untuk berbuat kebenaran, namun disatu sisi merasa ingin memiliki. Hehehe..

Singkat cerita setelah penjelasan yang cukup masuk akal bagiku kepada petugas tersebut, akupun mengembalikan uang yang cukup banyak tersebut dan memohon maaf serta pamit. Nah.. setelah mengembalikan uang tersebut, rasanya cukup lega karena sudah tidak lagi dihantui rasa bersalah kepada orang banyak, entah itu mahasiswa yang berkontribusi membayar UKT, petugas tersebut, atau siapapun yang menjadi bagian yang memiliki uang tersebut (uang rakyat). Jadi begitulah akhirnya, aku pulang dengan tangan kosong, untung tak dapat diraih, malang tak menghampiri, karena itu memang bukan milikku, jiah...

Jadi pelajaran yang bisa dipetik pada ceritaku ini kawan-kawan readers, seberapa banyak yang tersisa, kalau bukan milik kalian. Kembalikan. Lebih-lebih kalau itu adalah bantuan dana dari instansi, atau lembaga apapun. Ayo kita berantas mental korup diam-diam untuk berkontribusi membangun negeri ini dengan menjadi sumber daya yang lebih baik.. lain cerita kalau kalian menemukan selembar "pahlawan dengan warna dibelakangnya" di pinggir jalan, asal tidak ada yang melihat... langsung sikaaat wkwkwk. Oke kawan. Cukup sekian dulu ya ceritanya, next kita akan bahas soal percintaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun