Tak lagi asing rasanya saya menulis tentang tema yang sangat sensitif, yaitu tentang agama. Namun, rasanya juga tak asing lagi dalam benak kita mendengar dan melihat sendiri berita dan kejadian tentang konflik antar umat beragama di seluruh dunia. Perang di Timur Tengah yang mengatasnamakan agama terus-menerus menelan korban yang tak berdosa. Sikap beragama yang intoleran seakan terus terjadi secara masif di seluruh dunia.
Politisi munafik yang ingin meraup suara yang banyak dari kebodohan rakyat seringkali menggunakan agama sebagai alat untuk memudahkan kemenangan nya dalam kontestasi politik. Pemuka agama yang bodoh dan tak terpelajar sama halnya, hanya memakai agama demi menutupi kebejatan nya. Si miskin yang malas juga sama, lagi-lagi menggunakan agama sebagai tameng pembenaran atas kemalasannya. Dan si kaya yang sombong, juga sama lagi-lagi menggunakan agama untuk melegitimasi kesombongan nya. Sebenarnya, apakah agama hanya menjadi alat pembenaran atas kesalahan kita? Bukankah sebaiknya, agama itu kita jadikan pedoman moralitas dalam kehidupan dunia yang fana ini.
Sikap beragama yang salah akan terjadi apabila kita beragama, tetapi itu tak menjadi pilihan yang kita pikirkan, melainkan hasil warisan keluarga kita. Banyak orang yang tak punya dasar dalam beragama, terkadang sebagian besar dari kita hanya beragama sesuai hasil dari warisan keluarga. Sehingga dengan cara beragama hasil dari warisan saja maka sudah pasti tak menentulah sifat dan sikap kita dalam beragama, analoginya seperti orang yang mendapat warisan tanpa pikiran yang matang akan saling bentrok dan bunuh-bunuhan demi harta tersebut.
Menurut saya pribadi, seharusnya agama itu bukan hasil dari warisan para leluhur kita atau orang tua kita. Tetapi melainkan hasil dari pilihan yang kita pikirkan secara mendalam. Kodrat tertinggi manusia adalah berpikir, bukanlah hanya meniru perbuatan dan keyakinan orang terdekatnya yang belum tentu benar. Sudah banyak kasus orang yang pindah agama karena hasil dari warisan, bahkan tak jarang mereka menjadi ateis.
Kesimpulan dari tulisan yang mungkin terlalu subjektif dan singkat dari saya ini adalah bahwa apapun itu, haruslah menjadi pilihan yang kita pikirkan, termasuk hal tentang agama. Beragama lah seperti halnya kita memilih jodoh. Apabila kita memilih jodoh yang tepat, maka bahagia lah hidup kita, dan apabila kita memilih jodoh yang tidak tepat, maka sengsara dan menderita lah hidup kita.
"Agama yang menjadi pilihan yang dipikirkan secara tepat akan menjadi sebuah ketenangan bagi diri kita, dan agama yang cuma hasil ikut-ikutan (warisan) akan menjadi penderitaan yang tak ada ujungnya buat kita" - RisalÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H