Kehidupan manusia memang, sejak zaman dahulu, penuh dengan kepalsuan. Manusia mengenyam pendidikan demi memenuhi hasrat mereka yang palsu, manusia mencari harta dan jabatan juga demi kepalsuan.Â
Terlebih lagi, di era perkembangan teknologi, manusia begitu dimanjakan sehingga tidak bisa berpikir mandiri dan akhirnya hidup sesuai apa kata orang, bukan kata dirinya sendiri. Apakah ini bukan bentuk kepalsuan? Kalau memang ini bukan bukan bentuk dari kepalsuan, mengapa kita semua seakan merasa takut untuk menjadi bentuk yang berbeda dengan bentukan banyak orang?
Â
Hari Rabu, tanggal 9 April 2024, adalah hari yang katanya kita paling tunggu-tunggu dalam satu tahun. Di mana, hari ini adalah hari raya Idul Fitri yang kita rayakan bersama-sama. Tetapi kepalsuan tetap terjadi di hari yang kita anggap sebagai hari kemenangan dan sangat terlihat jelas bentuk kepalsuan itu di pelupuk mata kita semua. Kepalsuan ini bermulai dari masjid yang kita lihat sunyi pada hari biasa, tetapi tiba-tiba penuh dengan para jama'ah yang ingin melaksanakan sholat Id.Â
Apabila ada orang yang tidak ingin melaksanakan sholat id, mereka justru dicela banyak orang, padahal hukum sholat id hanya sebatas Sunnah dan tidak wajib. Tetapi gilanya kita semua, apabila ada orang-orang yang tidak melaksanakan sholat wajib, mereka justru dibiarkan begitu saja?Â
Apakah ini sebuah paradoks? Atau apakah ini adalah bentuk kepalsuan dan kemunafikan dalam diri kita semua? Kita semua malah mencela orang yang tidak melakukan ibadah Sunnah, tetapi dibalik itu kita malah membiarkan orang-orang tidak melaksanakan ibadah wajib, padahal Nabi Muhammad Saw sendiri mengatakan kepada kita umatnya untuk terlebih dahulu melakukan yang wajib sebelum melakukan yang Sunnah.
Â
Kepalsuan dan kepalsuan terasa jelas di setiap lebaran. Di mana, banyak orang membeli baju bukan untuk menutup aurat, tetapi hanya karena malu tidak memakai baju baru ketika lebaran. Banyak orang-orang yang bermusuhan di bulan-bulan biasa, tetapi ketika lebaran tiba mereka pun saling bermaaf-maafan dengan rasa maaf yang penuh dengan kepalsuan. Lebaran yang seharusnya menjadi bulan bersyukur kepada Allah SWT., tetapi justru menjadi keterpaksaan bagi banyak orang untuk bisa menyediakan berbagai santapan untuk para tamu, meskipun itu semua mereka lakukan dengan cara berhutang. Lebaran yang katanya menjadi tempat menjalin silaturahmi antar manusia, malah menjadi tempat untuk beradu gengsi dan memamerkan semua kejayaan yang itupun didapatkan dengan cara yang penuh kepalsuan.
Â
Sampai kapan kita semua ingin lebaran ini terasa palsu? Kenapa ketika lebaran orang harus beli baju baru, bukankah baju biasa sudah cukup untuk bersyukur? Kenapa ketika lebaran orang baru mau ke masjid, tetapi ketika bulan biasa mereka pun menghilang dari masjid, dan hanya hadir ketika ada pengajian atau sholat Jum'at.Â
Kenapa hanya ketika lebaran tiba, baru kita semua berkumpul untuk bersilaturahmi, lalu ketika bulan biasa kita semua kembali saling memusuhi. Mau sampai kapan lebaran yang seharusnya menjadi bulan bersyukur, bulan merayakan kemenangan, bulan untuk saling bermaaf-maafan, tetapi justru hanya menjadi bulan yang penuh dengan manusia-manusia yang penuh dengan kepalsuan. Apakah ini yang kita inginkan, hanya lebaran yang palsu ataukah kita ingin lebaran yang asli? Pertanyaannya hanya satu, apakah kita semua sanggup melakukan sesuatu untuk mengembalikan esensi asli dari hari lebaran ini?
Â
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca, dan sampai jumpa di artikel selanjutnya.
Sumber referensi;
https://rumahfilsafat.com/2019/11/04/abad-kepalsuan/
https://rumahfilsafat.com/2017/01/16/dunia-dan-kepalsuan/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H