Pagi ini, udara sejuk menyelimuti perjalanan kami menuju Bengpushub. Hari ini adalah kesempatan langka bagi kami, Pasis Prodi Dikpa Teknika, untuk belajar langsung tentang materi praktik alkom ranpur. Dengan antusias, saya menaiki bus yang akan membawa kami ke tujuan. Saya memilih kursi paling belakang, tempat favorit saya, bersama dua kawan yang sudah seperti saudara sendiri, Mangatas Sitorus dari Batak dan Samuel Salamor dari Ambon. Saya, orang asli Jawa, merasa beruntung memiliki teman-teman dari berbagai latar belakang budaya.
Sepanjang perjalanan, suasana di kursi belakang selalu hidup. Sitorus, dengan aksennya yang khas, memulai diskusi tentang teknik elektronika. "Kalian tahu nggak, cara memperbaiki rangkaian yang konslet tanpa alat khusus?" tanyanya sambil tersenyum penuh tantangan. Samuel langsung tertawa, "Eh, kau ini, pasti ada triknya, kan? Bagi-bagi ilmu lah."
Saya pun ikut tertawa, kemudian menambahkan, "Kalau tanpa alat, berarti kita harus mengandalkan logika dan pengalaman. Tapi jangan coba-coba kalau belum yakin, bahaya!" Obrolan ini membuat perjalanan terasa singkat. Kami bertukar cerita dan saling melengkapi pengetahuan satu sama lain, tanpa pernah merasa ada perbedaan.
Sitorus, dengan semangat khasnya, kemudian bercerita tentang pengalamannya memperbaiki alat komunikasi tua di desanya. "Di kampungku, radio tua itu nyawanya pesta adat. Kalau rusak, semua orang mencariku!" Kami tertawa mendengar ceritanya yang penuh aksi kocak dan sering kali berakhir sukses dengan cara-cara yang tak terduga.
Samuel tak mau kalah. Ia bercerita tentang masa kecilnya di Ambon, di mana ia sering membantu ayahnya memperbaiki generator. "Waktu itu, aku baru delapan tahun, tapi sudah bisa pasang kabel. Kata Papa, 'Kau harus belajar cepat, karena listrik itu hidup kita.' Dari situlah aku mulai suka teknik," ujarnya dengan bangga.
Saya sendiri ikut berbagi kisah, tentang bagaimana saya dulu sering membantu paman memperbaiki televisi di desa. "Kalau rusak, satu kampung pasti datang ke rumah. Rasanya bangga, tapi juga deg-degan," kataku, mengingat masa lalu. Perbedaan cerita kami justru mempererat persahabatan ini, seolah setiap kisah menjadi bagian dari puzzle besar yang saling melengkapi.
Ketika bus melaju melewati jalanan berliku, kami tak pernah kehabisan bahan obrolan. Kami membahas teori yang akan dipraktikkan di Bengpushub nanti, mencoba memprediksi tantangan yang mungkin muncul. Suasana penuh canda tawa, tapi tetap serius ketika menyangkut hal teknis. Kursi belakang menjadi tempat di mana ide-ide mengalir bebas.
Tak terasa, kami tiba di Bengpushub. Sebuah tempat yang terlihat megah dengan berbagai peralatan canggih. Kami turun dari bus dengan semangat tinggi, siap menyerap ilmu sebanyak mungkin. Saya, Sitorus, dan Samuel melangkah bersama, membawa persahabatan kami ke dalam tantangan baru yang menanti.
Hari itu, kami belajar banyak hal baru tentang alkom ranpur. Setiap tantangan kami hadapi bersama, saling mendukung tanpa memandang latar belakang. Kursi belakang bus menjadi simbol persaudaraan kami, tempat di mana perbedaan hanya memperkaya, bukan memisahkan.
Saat perjalanan pulang, saya tersenyum melihat kedua sahabat saya yang terlelap di samping. Dalam hati, saya merasa beruntung. Persahabatan kami lebih dari sekedar duduk bersama di kursi belakang; ini adalah pelajaran tentang keberagaman, saling menghormati, dan kebersamaan yang tak lekang oleh waktu.