Malam itu, suasana sunyi menyelimuti rumahku. Hanya deru angin yang terdengar samar di luar jendela, dan suasana malam Jum'at begitu terasa khidmat. Aku sedang terjaga, duduk merenungi kehidupan, ketika tiba-tiba bayangan samar muncul di hadapanku. Sosok yang tak asing itu perlahan-lahan menjadi lebih jelas---seorang pria dengan senyum khas dan kacamata bulatnya. Tak salah lagi, itu adalah Gus Dur.
"Kamu kelihatannya bingung," ujar Gus Dur sambil tersenyum lebar.
Aku terdiam, terkejut dan tak tahu harus berkata apa. "Gus, apakah benar malam Jum'at ini para ahli kubur pulang ke rumah?" tanyaku dengan suara pelan.
Gus Dur mengangguk pelan. "Iya, benar. Malam Jum'at adalah waktu yang istimewa. Banyak yang kembali ke rumah, berharap bisa mendapatkan setidaknya satu doa dari keluarganya---satu bacaan Qur'an, walaupun hanya satu ayat."
Aku merasakan perasaan campur aduk dalam hatiku. "Tapi Gus, bagaimana jika mereka tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan?" tanyaku lagi.
Gus Dur menundukkan kepalanya sejenak sebelum menjawab, "Mereka kembali dengan air mata, Nak. Mereka kembali ke kuburan, berpangku tangan, menangis dalam kesedihan. Hati mereka hancur karena tidak dikirimi doa."
Aku tertegun mendengar penjelasan itu. Bayangan orang-orang yang pulang dengan harapan kosong, kemudian kembali ke kuburan mereka dalam tangisan, membuat dadaku terasa sesak. "Apakah kita begitu penting bagi mereka, Gus?"
"Lebih dari yang kamu kira," jawab Gus Dur lembut. "Setiap ayat yang dibacakan untuk mereka, setiap doa yang dipanjatkan, adalah cahaya yang menerangi alam barzakh. Tapi ketika doa itu tak pernah datang, mereka merasa terabaikan, sendiri, dan kesepian."
Pikiran itu menghantui kepalaku sepanjang malam. "Gus, apakah mereka akan terus pulang meskipun doa tak pernah datang?"
Gus Dur tersenyum, kali ini dengan tatapan penuh kasih. "Mereka akan terus berharap, Nak. Sebab, harapan adalah hal terakhir yang hilang. Tapi tangisan mereka akan terus terdengar, jika doa itu tak kunjung datang."