Tomo berdiri di sana. Pahlawan Revolusi yang selama ini hanya saya kenal dari buku sejarah, kini berada di hadapan saya.
Di sebuah ruang sunyi, saya duduk termenung di hadapan secarik kertas kosong. Kata-kata yang seharusnya mengalir deras, justru terhenti sebelum terlahir. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba sebuah suara menggema dari belakang, lembut tapi penuh wibawa. "Anak muda, apa yang membuatmu bimbang?" Suara itu begitu khas. Saya berbalik dan tertegun melihat sosok Bung"Bung... Bung Tomo?" Saya terbelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang saya lihat. Sosok itu tersenyum tipis, matanya memancarkan keteguhan yang begitu dalam. "Ya, saya. Kau tampak kebingungan, anak muda. Apa yang kau risaukan?" tanya Bung Tomo dengan penuh perhatian.
Saya menarik napas dalam-dalam, mencoba menyusun kata. "Bung, saya ingin menjadi penulis terkenal. Namun, entah mengapa, semakin keras saya berusaha, semakin sulit rasanya menemukan kata-kata yang pas. Apakah ini artinya saya tak berbakat?" Pertanyaan itu keluar begitu saja, mewakili kegelisahan yang telah lama saya simpan.
Bung Tomo tersenyum, seolah memahami apa yang saya rasakan. "Kau tahu, perjuangan menjadi penulis tak berbeda jauh dengan perjuangan di medan pertempuran. Keduanya membutuhkan semangat yang tak pernah padam, tak peduli seberapa besar halangan yang menghadang. Ketika kami berjuang demi kemerdekaan, kami pun mengalami masa-masa sulit. Namun, kami tak pernah menyerah, karena tujuan kami lebih besar dari rasa takut dan keraguan."
Saya terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. "Tapi Bung, bagaimana jika orang-orang tak peduli dengan apa yang saya tulis? Bagaimana jika karya saya tak pernah dikenal?"
"Anak muda," Bung Tomo menjawab dengan suara tegas namun bijaksana, "kamu harus menulis bukan demi ketenaran, melainkan demi menyuarakan kebenaran yang ada di hatimu. Ketika kau menulis dengan kejujuran, orang-orang yang tepat akan mendengarnya. Sama seperti saat kami berteriak 'Merdeka atau mati!' di radio, kami tidak tahu siapa yang mendengar, tapi kami percaya bahwa suara kami akan menggugah hati yang tepat."
Mata saya mulai terbuka. "Jadi, saya harus menulis dengan hati, bukan hanya dengan ambisi?"
"Benar," jawab Bung Tomo. "Kau adalah pejuang, bukan hanya penggagas. Penulis yang sesungguhnya adalah mereka yang menulis dengan keberanian, tak peduli apakah dunia mendengar atau tidak. Yang terpenting adalah kau sudah menyuarakan apa yang harus disuarakan."
Obrolan itu menyentuh bagian terdalam dari jiwa saya. "Terima kasih, Bung. Saya akan terus menulis, bukan demi ketenaran, tapi demi kebenaran yang ingin saya sampaikan."
Bung Tomo tersenyum hangat. "Itulah semangat yang dibutuhkan. Teruslah berjuang dengan pena, anak muda. Karena pena yang menyalakan api semangat dalam hati, takkan pernah padam oleh apapun." Sosoknya perlahan memudar, namun semangatnya tetap terasa kuat dalam diri saya.
Dan hari itu, saya tahu, saya tidak akan pernah berhenti menulis.