kau pikirkan, Nak?" Aku berbalik dan terkejut melihat sosok Presiden Soeharto, berdiri dengan tenang. Bagaimana mungkin? Ini pasti hanya khayalanku.
Aku duduk sendirian di ruang kerjaku, ditemani oleh secangkir kopi yang mulai dingin. Di hadapanku terbentang laptop dengan layar kosong. Hari ini aku merasa gelisah, seolah ada sesuatu yang tertahan dalam pikiranku. Impianku untuk menjadi penulis terkenal semakin menguasai diriku, namun langkah-langkahnya terasa samar. Tiba-tiba, suara berat namun lembut terdengar dari arah belakang, "Apa yang sedang"Pak Harto?" tanyaku terbata-bata. "Apa yang Bapak lakukan di sini? Bukankah Bapak sudah lama tiada?"
Pak Harto tersenyum kecil, "Ini cuma obrolan imajiner, Nak. Aku di sini karena kau memanggilku lewat gelombang pikiranmu yang penuh kebingungan. Kau ingin jadi penulis terkenal, bukan?"
Aku mengangguk pelan. "Iya, Pak. Tapi sepertinya aku tidak tahu harus mulai dari mana. Dunia penulisan terasa penuh tantangan, dan rasanya sulit menembus industri yang besar ini."
Pak Harto duduk di kursi di hadapanku, tampak tenang seperti biasanya. "Nak, ketika aku memimpin negeri ini, aku juga menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Kadang-kadang, jalan yang kita lalui itu tidak langsung terang benderang. Yang penting adalah kemauan untuk terus berjalan dan kerja keras yang tulus."
Aku tersenyum kecut. "Tapi, Pak, dunia kepemimpinan dan dunia penulisan rasanya berbeda. Menulis memerlukan kreativitas, sedangkan Bapak memimpin dengan kebijakan."
Pak Harto tertawa ringan. "Kau tahu, memimpin negara dan menulis buku tidak jauh berbeda. Keduanya memerlukan visi, strategi, dan kesabaran. Sebagai penulis, kau harus tahu apa yang ingin kau sampaikan kepada pembaca. Kau perlu merancang jalan cerita seperti aku merancang pembangunan negara. Dan yang paling penting, jangan tergesa-gesa. Hasil baik itu membutuhkan proses."
Aku termenung. "Jadi, menurut Bapak, aku harus fokus pada visi jangka panjang? Tapi bagaimana aku bisa membuat tulisanku dikenal luas?"
Pak Harto menatapku dengan tatapan bijaksana. "Jangan berpikir terlalu jauh dulu. Mulailah dengan membangun karya yang kuat. Jangan menulis hanya untuk terkenal, tapi tulislah karena kau punya pesan penting untuk disampaikan. Ketika karyamu benar-benar punya makna, orang-orang akan datang dengan sendirinya."
Kata-kata itu menohok hatiku. Selama ini, aku terlalu fokus pada hasil akhir, pada ketenaran yang ingin kucapai, dan melupakan esensi dari menulis itu sendiri. "Terima kasih, Pak Harto," ujarku pelan, merasa sedikit lega.
Pak Harto berdiri dan tersenyum. "Ingat, Nak, jangan menyerah. Ketenaran hanyalah bonus. Yang penting adalah kontribusi nyata dari tulisanmu. Lanjutkan perjuanganmu, dan jangan takut menghadapi kesulitan. Di balik setiap kesulitan, selalu ada jalan."