terkenal. Tiba-tiba, seorang pria tua dengan wajah bijaksana mendekat. Dengan kacamata bulat yang melingkar di hidungnya dan senyum penuh makna, ia menatapku. Tanpa ragu, ia duduk di sebelahku. Aku mengenal wajah itu---Pramoedya Ananta Toer, sang sastrawan legendaris. Tentu saja, ini mustahil. Pram sudah tiada. Tapi entah bagaimana, dia ada di sini, bersamaku.
"Jadi, kau ingin menjadi penulis terkenal?" tanyanya pelan namun tegas.
Aku tertegun sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Bapak. Itu impian saya sejak lama. Saya ingin menulis sesuatu yang berarti, seperti Bapak."
Pram tersenyum tipis, lalu menatap langit. "Menulis bukan hanya soal menjadi terkenal, Nak. Menulis adalah soal menghidupkan jiwa-jiwa yang terabaikan, menceritakan apa yang tak bisa diungkapkan oleh yang lain. Kau siap untuk itu?"
Aku terdiam. "Tentu, saya siap. Tapi, bagaimana caranya? Apa yang harus saya lakukan untuk sampai ke sana?"
Pram menghela napas dalam. "Tidak ada jalan yang mudah, anak muda. Kau akan diuji, tidak hanya oleh waktu, tapi oleh keadaan, bahkan oleh dirimu sendiri. Menulis adalah kerja keras, bukan hanya inspirasi yang datang tiba-tiba. Apa kau siap menghadapi penolakan? Pengasingan? Atau bahkan kesepian?"
Kata-katanya menancap tajam di hatiku. Aku mulai merasakan beratnya impian yang kuinginkan. "Saya siap," jawabku, meski dengan keraguan yang tersembunyi.
Pram menatapku tajam. "Baiklah, jika kau siap, maka mulai menulis. Tidak ada penundaan, tidak ada alasan. Menulislah, meski tak ada yang membaca. Menulislah, meski dunia seakan diam tak peduli. Hanya dengan terus menulis, kau bisa memahami apa artinya menjadi penulis."
Aku tersenyum kecil. "Apakah itu rahasianya? Menulis tanpa henti?"
"Lebih dari itu," jawab Pram. "Rahasia terbesar adalah kejujuran. Tulis apa yang benar, bukan apa yang ingin didengar orang. Dalam setiap kalimatmu, biarkan jiwamu yang berbicara, bukan egomu. Penulis yang jujur, meski tak terkenal, akan abadi."
Aku menatapnya dengan penuh rasa kagum. Percakapan ini membuatku berpikir ulang tentang arti menulis dan keinginan untuk menjadi terkenal. Terkenal bukan lagi tujuanku yang utama, tapi menjadi seorang penulis yang mampu menyuarakan kejujuran adalah hal yang lebih penting. Aku pun berjanji pada diriku sendiri untuk menulis, apa pun yang terjadi.
Saat aku hendak mengucapkan terima kasih, Pram tersenyum sekali lagi, lalu perlahan menghilang bersama hembusan angin. Kini aku sendiri lagi, di bawah pohon beringin, tapi kali ini dengan semangat yang baru.