Karno. Wajahnya yang berkarisma memancarkan semangat yang tak lekang oleh waktu. Aku terdiam sejenak, mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk percakapan ini. Setelah menarik napas dalam-dalam, aku akhirnya berkata, "Bung, saya ingin menjadi penulis terkenal." Kata-kata itu keluar begitu saja, sederhana, namun penuh harap.
Aku duduk di sebuah ruang kosong, di hadapanku berdiri sosok yang tak asing---BungBung Karno tersenyum tipis, matanya tajam menatapku. "Penulis terkenal? Kenapa kau ingin menjadi penulis terkenal, Nak?" tanyanya. Aku terhenyak. Pertanyaan itu begitu dalam, membuatku merenung. Bukankah semua orang ingin dikenal karena karya mereka? Namun, di hadapan sang proklamator, aku tahu jawabanku harus lebih dari sekedar keinginan untuk dikenal.
"Karena melalui tulisan, saya bisa berbicara dengan banyak orang, Bung," jawabku pelan. "Saya ingin menyampaikan pemikiran, ide, dan harapan saya kepada dunia, seperti yang Bung lakukan melalui pidato dan tindakan. Saya ingin tulisan-tulisan saya menginspirasi, membuat orang berpikir, seperti saat Bung berbicara tentang Indonesia merdeka." Bung Karno mengangguk, matanya berkilau seolah-olah ia melihat sesuatu yang lebih dalam dari yang kusampaikan.
"Menulis adalah pekerjaan jiwa," kata Bung Karno dengan suara berat, namun penuh keyakinan. "Namun, kau harus ingat, menulis bukan hanya soal menyampaikan kata-kata, tapi soal menyuarakan kebenaran dan keadilan. Apakah kau siap untuk itu?" Aku terdiam lagi. Kebenaran dan keadilan. Kata-kata yang sering terdengar, namun berat untuk diemban. Menjadi penulis terkenal bukan hanya soal popularitas, tapi tanggung jawab.
"Siap, Bung. Saya ingin menjadi penulis yang membela kebenaran dan keadilan," jawabku dengan suara yang mencoba tegar. Bung Karno tertawa kecil, tapi bukan tawa yang mengejek, melainkan tawa penuh pengertian. "Baik," katanya, "tetapi jangan lupa, menulis juga membutuhkan keberanian. Keberanian untuk melawan arus, keberanian untuk mempertahankan prinsip, dan keberanian untuk tetap menulis meskipun dunia seolah menutup telinga. Apakah kau cukup berani?"
Keberanian. Kata itu menggema dalam pikiranku. Aku selalu berpikir menulis hanyalah soal menuangkan ide, tetapi ternyata menulis adalah soal mempertahankan prinsip, apapun risikonya. "Saya akan berusaha, Bung," jawabku, meskipun dalam hati, aku tahu jalan ini tak akan mudah.
Bung Karno melangkah mendekat, menepuk bahuku. "Nak, untuk menjadi penulis terkenal, kau harus menjadi penulis yang berjiwa besar. Jangan pernah menulis hanya untuk popularitas, tapi menulislah untuk bangsa, untuk orang-orang yang membutuhkan suaramu. Jika kau menulis dengan tujuan itu, maka ketenaran akan datang dengan sendirinya, tanpa kau memintanya." Kalimatnya membuat dadaku bergetar. Aku merasa seperti baru saja diberi amanat yang sangat berat.
Aku menatap Bung Karno yang kini berdiri lebih tegak, seolah-olah siap memberi pidato kebangsaan. "Ingat, Nak, kita ini bangsa besar, dan tugas seorang penulis adalah menjaga kebesaran itu dengan kata-kata. Jangan takut untuk bermimpi besar, tetapi pastikan mimpi itu selalu demi kebaikan bersama." Aku mengangguk, dalam hati semakin yakin akan jalan yang ingin kutempuh.
Percakapan kami pun berakhir dengan hening, tapi di dalam diriku, percikan semangat telah menyala. Bung Karno, dengan caranya yang bijaksana, telah memberi jawaban yang lebih dari yang kubayangkan. Aku sadar, menjadi penulis terkenal bukanlah tujuan utamaku, tapi menjadi penulis yang memberi manfaat bagi bangsa dan dunia---itulah yang sebenarnya kuinginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H