Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bicara Dengan Gus Dur Tentang Jalan Menjadi Penulis

10 Oktober 2024   04:30 Diperbarui: 10 Oktober 2024   04:56 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah malam yang sunyi, aku duduk di depan layar laptop. Tiba-tiba, ada suara lembut yang menyapa. "Kamu sedang menulis apa, Nak?" Aku terkejut, karena suara itu berasal dari sosok yang tak asing, tapi tidak mungkin ada di sini---Gus Dur. "Gus? Bagaimana bisa?" tanyaku sambil terheran-heran.

Gus Dur tertawa kecil. "Ah, namanya juga dunia imajinasi. Kau tahu, di sini kita bisa melakukan apa saja. Tapi, ada apa kau termenung begitu?"

Aku menarik napas panjang, mencoba menghilangkan rasa terkejutku. "Gus, saya ingin menjadi penulis terkenal. Saya ingin karya-karya saya dikenal banyak orang, saya ingin memberi inspirasi. Tapi, jalannya terasa sulit. Kadang saya merasa tidak cukup baik."

Gus Dur tersenyum bijak. "Menulis bukan soal ketenaran, Nak. Menulis adalah soal menyampaikan kebenaran, kejujuran, dan keindahan dalam kata-kata. Apakah kamu menulis karena ingin terkenal, atau karena ada sesuatu yang perlu kamu bagi dengan dunia?"

Pertanyaan Gus Dur membuatku terdiam sejenak. "Saya ingin memberi makna pada tulisan saya, Gus. Tapi di sisi lain, ketenaran juga penting, kan? Agar pesan yang saya sampaikan bisa diterima banyak orang."

"Ah," Gus Dur mengangguk, "ketenaran itu hanya efek samping. Yang paling penting adalah keikhlasan dalam berkarya. Banyak orang yang terkenal, tapi apakah mereka bahagia dengan apa yang mereka hasilkan? Jika kamu menulis dengan hati, yakinlah, akan ada pembaca yang menghargai karyamu, walaupun hanya sedikit."

Aku mengerutkan dahi, mencoba mencerna nasihat itu. "Jadi, Gus, apa yang harus saya lakukan sekarang? Apakah saya harus berhenti memikirkan ketenaran?"

"Jangan berhenti memikirkan tujuanmu," jawab Gus Dur lembut. "Tapi perbaiki niatmu. Jika niatmu murni, setiap kalimat yang kamu tulis akan mengalir lebih mudah. Orang akan merasakannya. Kamu akan lebih ringan melangkah, dan tiba-tiba, kamu akan menemukan bahwa namamu dikenal karena ketulusanmu, bukan hanya karena ambisi."

Kata-kata itu menghangatkan hatiku. Gus Dur memang selalu mampu melihat inti dari masalah. "Terima kasih, Gus. Saya akan mencoba lebih fokus pada kualitas tulisan saya. Semoga bisa membawa perubahan, walaupun kecil."

Gus Dur tersenyum lagi. "Itulah yang penting, Nak. Tulis saja. Jangan takut salah, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Setiap penulis besar juga pernah mulai dari nol. Dan jangan lupa, selalu ada tangan Tuhan yang membimbingmu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun