Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dialog Imajiner Dengan Gus Dur Dalam Menghadapi Depresi dan Kebencian

9 Oktober 2024   05:56 Diperbarui: 9 Oktober 2024   08:16 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah malam yang sunyi, aku duduk sendiri di teras rumah, merenung tentang permasalahan yang sedang aku hadapi. Kakakku, orang yang dulu penuh tawa dan semangat hidup, kini tenggelam dalam depresi. Bukan hanya dirinya yang terluka, tapi kami, keluarganya, juga ikut merasakan dampak dari keadaan ini. Ia mulai menunjukkan perilaku yang sulit dipahami, sering meluapkan amarah dan kebencian pada siapa saja di sekitarnya. Aku merasa bingung, tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba, di tengah keheningan itu, seolah-olah Gus Dur hadir di hadapanku. Wajahnya tersenyum damai, dan aku segera mengajukan pertanyaan yang sudah lama menggangguku.

"Gus, bagaimana caranya menghadapi saudara yang depresi?" tanyaku, penuh harap. "Yang jadi masalah, depresinya itu mengganggu sekitar dan suka menebar kebencian."

Gus Dur mengangguk pelan, seakan mengerti keresahanku. "Depresi itu, Nak, bukanlah hal yang sederhana," ucapnya dengan nada lembut. "Orang yang sedang depresi seringkali merasa sendirian di dunia ini, seolah-olah hanya mereka yang menanggung beban hidup. Mereka lupa bahwa di sekeliling mereka ada orang-orang yang peduli dan ingin membantu."

Aku terdiam, mencerna kata-kata Gus Dur. "Tapi, Gus, ia sering menyebar kebencian. Rasanya sulit untuk mendekat, apalagi membantunya."

Gus Dur tersenyum bijak. "Itulah yang membuatmu harus lebih sabar. Orang yang sedang dalam kegelapan butuh cahaya, dan kadang mereka menolak cahaya itu karena mereka belum siap menerimanya. Kebencian yang ia sebar mungkin hanyalah bentuk dari rasa putus asanya sendiri. Ia perlu waktu untuk menyadari bahwa yang ia butuhkan bukanlah kebencian, tapi cinta dan penerimaan."

Aku menarik napas panjang. "Bagaimana kami bisa tetap kuat menghadapi situasi ini, Gus?"

Gus Dur menatapku dengan tatapan penuh kasih. "Tetap berikan ruang bagi dia untuk merasa dicintai, meski kamu terluka oleh kata-katanya. Namun, jangan biarkan dirimu hancur dalam prosesnya. Tetaplah menjaga jarak emosional yang sehat. Berikan bantuan yang ia butuhkan, tapi jangan biarkan kebencian merusakmu."

Aku mengangguk, mencoba memahaminya. "Jadi, aku harus bersabar dan memberikan kasih sayang, tanpa membiarkan diriku terlarut dalam kebenciannya?"

"Benar sekali," jawab Gus Dur. "Kadang, bantuan yang terbaik adalah kehadiran yang tenang. Jangan paksakan solusi, tapi juga jangan menghilang. Pada akhirnya, yang paling dibutuhkan oleh orang yang depresi adalah rasa aman. Bantu dia menemukan kembali rasa aman itu, tapi ingat, kamu juga punya batasan."

Percakapan imajiner itu memberiku harapan. Kata-kata Gus Dur seolah membuka mataku pada sisi lain dari situasi yang sedang kuhadapi. Depresi bukanlah musuh, melainkan sebuah kondisi yang harus didekati dengan hati-hati, penuh kasih, namun tetap tegas. Aku menyadari bahwa proses ini mungkin panjang dan melelahkan, tapi dengan sabar dan cinta, aku yakin bisa menghadapi kakakku yang tengah terpuruk.

Dengan pikiran yang lebih jernih, aku memandang langit malam yang tenang. Dalam hati, aku berterima kasih kepada Gus Dur atas nasihatnya yang penuh kebijaksanaan. Meski dialog ini hanya imajiner, kehangatan dan kebijaksanaan yang ia berikan terasa nyata, menguatkan langkahku untuk terus mendampingi saudaraku yang tengah berjuang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun