"Gus," panggilku dalam hati, seolah mencoba mengundang kehadiran beliau. "Hatiku resah, Gus. Kedamaianku terganggu." Di dalam bayanganku, sosok Gus Dur muncul. Dengan senyum khasnya, beliau duduk di sampingku. Mata bijaksananya memandang lembut ke arahku. "Kamu kenapa, Nak?" tanya beliau dengan suara lembut.
Â
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata. "Entah, Gus. Rasanya begitu banyak hal yang tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Kedamaian yang biasanya kutemukan dalam diriku kini terasa jauh. Semua ini terasa berat." Gus Dur hanya tersenyum, seperti tahu betul apa yang kurasakan meskipun aku belum menjelaskan semuanya.
"Satu hal yang perlu kamu ingat," ujar Gus Dur, "kadang, kegelisahan adalah cara Tuhan mengajarkan kita tentang hidup. Ketika kedamaianmu terganggu, mungkin itu tanda bahwa ada hal yang perlu kamu pahami lebih dalam." Aku terdiam, merenungi kata-kata beliau. Mungkinkah keresahan ini adalah pelajaran yang belum kutemukan jawabannya?
"Tapi Gus, bagaimana caranya aku bisa menemukan kembali kedamaian itu? Setiap hari rasanya semakin sulit." Suaraku terdengar lirih, tak kuasa menahan keraguan. Gus Dur menatapku dengan pandangan penuh pengertian, lalu berkata, "Kedamaian itu ada di dalam dirimu, bukan di luar. Jangan biarkan dunia luar merampas apa yang sebenarnya adalah milikmu."
Aku berpikir sejenak. "Tapi dunia ini terlalu ribut, Gus. Media, politik, masalah sosial, semuanya membuatku cemas. Bagaimana aku bisa tenang di tengah kekacauan ini?" Gus Dur tertawa kecil, mengingatkan betapa beliau selalu bisa menemukan humor di tengah persoalan. "Kamu tahu," ujarnya, "dunia ini memang ribut, tetapi tugas kita bukan untuk meredam suara itu. Tugas kita adalah menjaga agar jiwa kita tetap tenang di tengah keributan."
"Bagaimana caranya, Gus?" tanyaku. Aku benar-benar ingin tahu jawabannya. "Dengan memahami bahwa keributan di luar sana tidak bisa kamu kontrol, tapi kedamaian di dalam hatimu bisa. Ingat, Nak, dunia ini memang penuh konflik, tapi hati yang damai akan selalu menemukan jalannya, meski di tengah badai."
Kata-kata Gus Dur seperti memberikan cahaya di tengah kegelapan. Aku merasa mulai memahami, bahwa mungkin keresahan ini bukan tentang apa yang terjadi di luar diriku, melainkan bagaimana aku menghadapinya. "Jadi, kedamaian itu bukan berarti semuanya harus sempurna ya, Gus?" tanyaku. "Betul," jawabnya. "Kedamaian itu adalah kemampuan untuk tetap tenang, bahkan saat semuanya tidak sempurna."
Aku tersenyum kecil. "Terima kasih, Gus. Rasanya lebih ringan sekarang setelah berbicara denganmu." Gus Dur tersenyum lagi, senyum yang selalu menenangkan. "Ingatlah, Nak, selalu ada hal baik yang bisa kita pelajari dari setiap keresahan. Yang penting, jangan pernah berhenti mencari jawaban dan jangan pernah kehilangan harapan."
Kemudian, sosok Gus Dur perlahan menghilang, meninggalkan aku sendirian di taman itu. Tapi kali ini, aku tidak merasa sendiri. Ada kehangatan yang tersisa dari percakapan kami. Keresahanku masih ada, tetapi aku tahu bahwa kedamaian itu bisa kuraih kembali, selama aku menjaga hati ini tetap tenang. Aku pulang dengan senyum di bibir, seolah membawa sebagian dari kebijaksanaan Gus Dur bersamaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H