Dalam kehidupan sehari-hari, korupsi sudah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi pemerintahan dan masyarakat. Namun, ketika kita berbicara tentang para pelaku korupsi, sering muncul pertanyaan: "Koruptor itu manusia atau bukan?" Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Bagaimana mungkin seseorang dengan hati nurani sanggup merampas hak rakyat yang seharusnya mereka lindungi dan layani?
Secara biologis, tentu saja koruptor adalah manusia. Mereka memiliki tubuh yang sama seperti kita, bernapas dengan udara yang sama, dan menjalani hidup di dunia yang sama. Namun, tindakan mereka sering kali tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya mereka junjung tinggi. Dalam arti moral, mereka bisa dikatakan telah "kehilangan kemanusiaan" karena mengabaikan kepentingan orang banyak demi keuntungan pribadi.
Koruptor bukan hanya mencuri uang, tetapi juga menghancurkan harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang seharusnya melindungi mereka. Korupsi menyebabkan infrastruktur rusak, layanan publik terganggu, pendidikan dan kesehatan terabaikan. Dampaknya, jutaan orang yang tidak bersalah harus menanggung beban kemiskinan dan ketidakadilan.
Apa yang membuat koruptor melakukan perbuatan tersebut? Sebagian besar koruptor didorong oleh keserakahan dan nafsu untuk memiliki lebih dari yang mereka butuhkan. Rasa tanggung jawab sosial dan moral teredam oleh keinginan untuk memperkaya diri sendiri. Ada juga faktor lingkungan sosial yang permisif terhadap korupsi, di mana tindakan tersebut dianggap "wajar" dan bukan lagi aib yang memalukan.
Mereka yang terjerumus dalam korupsi seolah kehilangan rasa empati. Mereka tidak lagi melihat manusia lain sebagai sesama yang membutuhkan perhatian dan perlindungan. Akibatnya, mereka dengan mudah menutup mata terhadap penderitaan yang mereka timbulkan. Di sinilah muncul pertanyaan etis: apakah masih layak kita menyebut mereka "manusia" jika tindakan mereka begitu tidak berperasaan?
Namun, di sisi lain, menyebut koruptor sebagai "bukan manusia" juga menimbulkan persoalan. Pandangan ini dapat membawa kita pada pola pikir yang memisahkan mereka dari masyarakat, seolah mereka tidak bisa berubah. Padahal, manusia, termasuk koruptor, selalu memiliki kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki kesalahan mereka. Memberikan stigma bahwa mereka bukan manusia justru dapat menghalangi proses rehabilitasi dan penyadaran.
Solusi utama dalam melawan korupsi adalah menciptakan sistem yang transparan dan tegas dalam penegakan hukum. Hukuman bagi koruptor harus berat dan memberikan efek jera, namun tidak boleh menghilangkan aspek kemanusiaan yang memungkinkan mereka untuk memperbaiki diri. Pendidikan moral dan etika juga harus diperkuat, terutama sejak usia dini, agar generasi berikutnya memiliki nilai-nilai integritas yang kuat.
Selain itu, kita perlu terus membangun budaya di mana masyarakat tidak memberikan toleransi terhadap korupsi dalam bentuk apapun. Pengawasan publik yang aktif, akses informasi yang mudah, serta perlindungan bagi whistleblower harus menjadi pilar utama dalam menciptakan pemerintahan yang bersih.Â
Pada akhirnya, apakah koruptor itu manusia atau bukan, tergantung pada sudut pandang kita. Jika kita melihat mereka sebagai individu yang tersesat dan membutuhkan penyadaran, kita dapat berharap pada proses perbaikan. Namun, jika tindakan mereka terus berlanjut tanpa rasa penyesalan, maka mungkin benar bahwa dalam makna moral, mereka telah kehilangan jati diri kemanusiaan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H