Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebijaksanaan Gus Dur di Tengah Kebingungan

4 Oktober 2024   19:30 Diperbarui: 4 Oktober 2024   19:31 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku duduk termenung di beranda rumah, memandangi langit senja yang mulai gelap. Pikiran berkecamuk, rasa lelah semakin menekan dada. Sudah berhari-hari aku mencoba mencarikan solusi, namun semua usaha seolah sia-sia. Ibu dan istriku, dua wanita paling penting dalam hidupku, tampak semakin jauh dari keharmonisan. Pertengkaran kecil berubah menjadi diam-diam tak nyaman, dan aku berada di tengahnya, merasa terhimpit. Dalam kebingungan yang mendalam, tiba-tiba terlintas di pikiranku sosok Gus Dur. Aku pernah mendengar bahwa kebijaksanaannya sering membantu mereka yang mencari jalan keluar dari berbagai masalah.

"Ah, seandainya aku bisa berbicara dengan Gus Dur," batinku. Dan entah bagaimana, saat itu, seperti keajaiban, bayangan Gus Dur muncul di hadapanku. Senyumnya hangat, matanya penuh kebijaksanaan, seperti selalu siap mendengarkan. Aku pun tak ragu untuk membuka percakapan.

"Gus, saya sedang pusing," ucapku pelan, tak kuasa menahan beban. "Istri dan ibu saya sepertinya saling tidak cocok dan saling tidak nyaman. Saya sudah berusaha maksimal supaya mereka rukun. Tapi nampaknya sulit terwujud. Saya sudah tidak sanggup, Gus."

Gus Dur hanya tersenyum, seolah-olah masalahku bukan hal baru baginya. "Hehe, kamu tahu," katanya, "masalah seperti ini banyak dialami orang. Kadang, orang lupa bahwa setiap hubungan itu butuh waktu dan pengertian yang mendalam, termasuk hubungan antara istri dan ibu. Kamu sudah berusaha, itu bagus. Tapi apa kamu yakin sudah mengerti perasaan masing-masing?"

Aku terdiam. Benar juga, mungkin aku terlalu fokus pada hasil, bukan proses. "Tapi Gus, saya sudah mencoba berbagai cara, mengajak mereka bicara, mengatur waktu bersama. Tapi tetap saja, rasanya seperti ada tembok besar di antara mereka."

Gus Dur menghela napas lembut. "Kadang, masalah bukan hanya soal komunikasi, tapi soal rasa. Mungkin ada rasa tidak nyaman yang belum kamu sadari. Ada hal-hal yang tidak terucap, yang hanya bisa dirasakan. Sebagai suami dan anak, tugasmu bukan hanya mendamaikan, tapi juga memahami alasan di balik ketidaknyamanan itu."

"Tapi bagaimana caranya, Gus?" tanyaku, bingung.

Gus Dur tersenyum lagi. "Hehe, sederhana saja. Mulailah dengan mendengarkan, tapi kali ini benar-benar mendengarkan. Dengarkan tanpa keinginan untuk menyelesaikan masalah seketika. Mungkin mereka butuh didengarkan, bukan diarahkan. Kadang, solusi tidak datang dari usaha yang keras, tapi dari kesabaran dan ketulusan hati."

Kata-kata Gus Dur begitu menenangkan. Aku merasa sedikit lebih ringan. "Jadi, saya harus sabar dan tidak memaksa mereka untuk langsung akur?"

"Tepat," jawabnya sambil tersenyum lebar. "Jangan paksa, biarkan waktu dan perhatianmu yang tulus menyelesaikan sisanya. Ingat, setiap orang punya jalannya sendiri untuk memahami dan menerima orang lain. Jika kamu terburu-buru, kamu hanya akan menambah beban bagi mereka."

Aku mengangguk, menyerap setiap kata bijak yang ia ucapkan. Sepertinya, aku memang perlu melepaskan harapan instan. Aku harus memberikan ruang bagi mereka untuk saling mengenal lebih dalam, tanpa intervensi berlebihan. Bayangan Gus Dur pun perlahan menghilang, tapi hatiku kini lebih tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun