orang-orang terdekat. Apa yang kukatakan selalu dianggap salah, seakan usahaku yang terbaik untuk mereka hanya berujung pada cemoohan. Dalam keheningan, aku teringat sosok Gus Dur, pemimpin bangsa yang bijaksana dan penuh humor. Seandainya aku bisa berbicara dengannya, aku yakin dia punya jawaban yang membuat hatiku lega.
Malam itu, di tengah kegelisahan yang menghimpit, aku duduk termenung di pojok ruang tamu. Pikiranku kalut, berat rasanya menanggung perasaan disudutkan oleh"Ah, Gus Dur, seandainya engkau di sini," gumamku pelan. Dalam lamunan, bayangan Gus Dur muncul di hadapanku, duduk santai dengan senyuman khasnya. Seolah membaca pikiranku, ia langsung menyapa dengan suara lembut yang menenangkan. "Ada apa, Nak? Kok tampaknya bingung begitu?"
"Gus, saya sedang pusing," ucapku sambil menarik napas dalam. "Orang-orang terdekat saya selalu menyudutkan. Apa yang saya sampaikan selalu dianggap salah. Padahal saya sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka. Saya harus bagaimana, Gus?" Rasa frustrasi dan kelelahan memancar jelas dari suaraku.
Gus Dur tertawa kecil, khas caranya menghadapi masalah yang tampak rumit dengan kesederhanaan. "Nak, kamu tahu, orang hidup itu tidak bisa selalu menyenangkan semua orang. Sebagus apapun yang kamu lakukan, pasti ada yang tidak puas. Itu biasa. Kalau kamu sudah memberikan yang terbaik, sudah cukup. Urusan diterima atau tidak, itu bukan urusanmu lagi."
"Tapi Gus," aku membantah dengan suara lirih, "rasanya berat sekali. Mereka orang-orang yang penting dalam hidup saya. Mereka seharusnya mengerti saya."
Gus Dur menatapku dalam-dalam, kali ini tanpa senyuman. "Kadang, orang yang paling dekat justru yang paling sulit memahami kita. Bukan karena mereka jahat, tapi karena mereka punya harapan yang tinggi. Mereka melihatmu dari kaca mata mereka sendiri, bukan dari pandanganmu. Tugasmu bukan membuat mereka memahami kamu, tapi terus jadi dirimu yang terbaik."
Aku terdiam sejenak, mencerna setiap kata-katanya. Benar, mungkin masalahnya bukan terletak pada apa yang aku lakukan, tapi pada bagaimana orang lain memandangku. "Lalu, Gus, bagaimana saya bisa menghadapi ini? Saya merasa semakin sulit berkomunikasi dengan mereka."
Gus Dur tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Komunikasi itu bukan cuma soal bicara, tapi soal mendengar. Mungkin mereka juga sedang lelah, mungkin ada yang belum kamu pahami dari mereka. Kalau kamu merasa sudah bicara, cobalah mendengar lebih dalam. Dan ingat, Nak, tidak semua harus selesai sekarang. Ada waktunya segala sesuatu akan terlihat jelas."
Aku menghela napas panjang, merasa beban di pundakku sedikit terangkat. Dalam keheningan malam itu, seolah-olah aku mendapat pelajaran besar dari sosok yang bijaksana. "Terima kasih, Gus. Nasihatmu selalu menguatkan."
"Ya, sudah," katanya sambil bangkit dari duduknya, "ingat, hidup itu tidak usah terlalu serius. Kadang, kita hanya butuh tertawa, bahkan di tengah masalah yang paling berat sekalipun." Gus Dur tertawa pelan sebelum lenyap, meninggalkan aku yang kini merasa lebih ringan menghadapi persoalan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H