Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Persahabatan di Bawah Langit Tanjung Barat

1 Oktober 2024   18:13 Diperbarui: 1 Oktober 2024   18:13 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah terik matahari siang, Bang Gacor berdiri di sudut Tanjung Barat, mengenakan topi kusam yang sudah akrab dengan keringatnya. Dia adalah penjaga parkir setia yang telah bekerja di sana selama beberapa tahun. Setiap hari, Bang Gacor selalu mengawasi kendaraan yang keluar masuk dengan senyuman ramah, meski beban hidup terasa semakin berat di pundaknya. Bersamanya, Agem, anak muda yang sangat enerjik dan bersemangat, membantu Bang Gacor menjaga parkiran. Mereka berdua adalah tim yang tak terpisahkan di sudut itu.

Agem, sama dengan Bang Gacor, dia merupakan anak yang ramah dan ceria. Dia berasal dari keluarga sederhana dan bekerja untuk membantu membantu perekonomian keluarga. Setiap hari, Agem membawa selembar kertas dan pulpen, mencatat plat nomor kendaraan yang parkir, meskipun Bang Gacor selalu mengingatkan, “Udah, Gem. Ga usah ribet, kita kan udah hafal.” Tapi Agem tetap mencatat, seakan itu adalah tanggung jawab besarnya. Bang Gacor hanya tertawa melihat keuletan Agem, menganggapnya seperti adik sendiri.

Satu sore, ketika langit Tanjung Barat mulai berubah jingga, Bang Gacor duduk di bangku kecilnya sambil menyulut rokok. “Gimana, Gem? Sudah lama kerja bareng abang. Ada rencana lain?” tanyanya sambil menghembuskan asap. Agem terdiam sejenak, lalu dengan suara pelan menjawab, “Ada, Bang. Tapi entah kapan bisa kejadian. Saya pengen lanjut kuliah, tapi biaya…” Bang Gacor memandang anak muda itu, tersenyum tipis. “Kuliah, ya? Itu cita-cita yang bagus, Gem. Abang juga dulu pengen sekolah tinggi, tapi nasib bawa abang ke sini.

Hari itu menjadi titik awal percakapan panjang mereka tentang mimpi. Agem sering bercerita tentang keinginannya menjadi seorang ahli komputer, sementara Bang Gacor berbicara tentang impian masa lalunya yang belum tercapai. Namun, meski Bang Gacor selalu menyembunyikan perasaan kecewanya terhadap masa lalu, dia selalu berusaha memotivasi Agem agar tidak menyerah pada keadaan. Baginya, Agem adalah harapan yang masih bersinar di tengah kerasnya kehidupan.

Setiap hari berlalu dengan rutinitas yang sama, hingga suatu pagi, ketika Bang Gacor tiba di parkiran, dia melihat Agem sudah menunggunya dengan wajah penuh kegembiraan. “Bang! Saya keterima beasiswa untuk kuliah komputer di Universitas Indonesia!” seru Agem sambil menunjukkan surat penerimaan. Bang Gacor tersenyum lebar, seolah kabar itu adalah pencapaian mereka berdua. “Wah, mantap, Gem! Abang bangga sama kamu. Ini kesempatan yang gak boleh dilewatkan!

Namun, di balik kebahagiaan itu, Bang Gacor menyadari bahwa hari-hari mereka menjaga parkiran bersama akan segera berakhir. Meski berat, dia tahu bahwa Agem harus mengejar mimpinya. “Kamu harus pergi, Gem. Ini kesempatan besar. Jangan lihat ke belakang. Abang bisa jaga parkiran ini sendiri,” ucap Bang Gacor suatu malam, saat mereka berdua duduk di bawah langit Tanjung Barat yang mulai gelap.

Beberapa minggu kemudian, Agem akhirnya berangkat untuk mengejar mimpinya. Di hari keberangkatannya, Bang Gacor memberi Agem sebuah buku catatan kecil. “Ini buat kamu, Gem. Isinya pengalaman abang selama jaga parkiran. Biar kamu inget, dari mana kamu berangkat,” katanya sambil menepuk bahu Agem. Agem menerima buku itu dengan mata berkaca-kaca. “Makasih, Bang. Saya gak akan lupa.

Sejak kepergian Agem, parkiran Tanjung Barat terasa lebih sepi bagi Bang Gacor. Namun, dia selalu bangga ketika mendengar kabar baik dari Agem yang semakin maju dalam belajarnya. Bang Gacor tahu bahwa meski mereka berbeda jalan, persahabatan dan kenangan di bawah langit Tanjung Barat akan selalu menjadi bagian dari hidup mereka berdua.

Satu sore, setahun setelah Agem pergi, Bang Gacor duduk di tempat biasa dengan senyuman kecil di wajahnya. Di ujung jalan, terlihat sosok yang tak asing, Agem berjalan ke arahnya. Kini, Agem sudah lebih dewasa, dengan wajah yang lebih percaya diri. “Bang Gacor!” serunya. Bang Gacor bangkit dari duduknya, menyambut Agem dengan pelukan erat. “Selamat datang kembali, Agem,” ucapnya. Hari itu, di bawah langit Tanjung Barat, dua sahabat kembali bersatu, mengenang perjalanan panjang yang telah mereka lewati bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun