Mohon tunggu...
Rizal Mutaqin
Rizal Mutaqin Mohon Tunggu... Tentara - Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa | Dewan Pengawas Sparko Indonesia

Semua Orang Akan Mati Kecuali Karyanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lari Sore Bersama Mas Bhumi

1 Oktober 2024   13:46 Diperbarui: 1 Oktober 2024   14:18 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Bhumi Literasi


Sepulang dari kantor, kelelahan rasanya menyelimuti sekujur tubuhku. Namun begitu pintu rumah terbuka, senyum lebar dan tawa riang menyambutku. Mas Bhumi, anakku yang baru berusia dua tahun, melompat-lompat kegirangan saat melihatku pulang. Seolah-olah semua lelah dan beban hari itu lenyap begitu saja, tergantikan oleh kegembiraan yang terpancar dari wajah mungilnya. "Ayah! Ayah!" teriaknya sambil mengulurkan tangannya, mengajakku untuk segera ikut bermain bersamanya.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa rutinitas lari sore kami sudah dinanti-nantikan olehnya. Seperti biasa, Mas Bhumi sudah siap dengan jersey kecilnya yang lucu dan sepatu lari mungil yang terpasang di kakinya. Dia tampak sangat semangat, memamerkan pakaiannya dengan bangga seolah-olah dia adalah seorang pelari profesional yang siap memenangkan lomba maraton. "Ayah, lari!" katanya dengan suara manisnya yang sudah begitu fasih.

Aku tak bisa menahan senyum melihat antusiasmenya. Walaupun tubuhku masih ingin beristirahat setelah seharian bekerja, semangatnya menular. Aku tahu, saat-saat seperti inilah yang paling berharga, saat di mana aku bisa menikmati waktu bersama Mas Bhumi, menjelajahi dunia kecilnya dengan tawa dan langkah-langkah kecilnya. Dengan senang hati, aku ganti baju dan mengenakan sepatu lari. "Siap, Mas Bhumi?" tanyaku sambil mengedipkan mata. Dia mengangguk cepat dan segera berlari menuju halaman depan.

Kami mulai berlari perlahan di taman sekitar kompleks perumahan, ditemani angin sore yang sejuk. Setiap langkah yang diambil Mas Bhumi terasa begitu ceria. Langkah-langkahnya kecil dan sangat seimbang, serta penuh semangat. Tawa kecilnya terdengar di sepanjang jalan, seolah-olah setiap langkah adalah petualangan baru baginya. Sesekali, dia berhenti untuk menatap burung yang terbang atau daun yang jatuh dari pohon, dan aku pun mengikutinya dengan sabar.

Tak jarang dia memintaku untuk berlari lebih cepat, "Ayo, Ayah, cepaaat!" katanya sambil tertawa. Aku pun menuruti keinginannya, mempercepat langkahku dan mendengar tawa riangnya semakin keras. Bagiku, suara itu adalah melodi paling indah yang bisa kudengar setelah hari-hari panjang yang melelahkan. Melihatnya berlari dengan senang hati membuatku merasa seolah-olah segala kesibukan di luar sana tak ada artinya.

Kami melewati beberapa orang yang menyapa dengan ramah. Mereka tampak tersenyum melihat Mas Bhumi yang berlari kecil dengan semangat membara. Dia menyapa mereka dengan ceria, "Halo! Halo!" sambil melambaikan tangannya. Aku pun tak bisa menahan tawa melihat tingkah lakunya yang penuh energi. Dia benar-benar anak yang membawa kebahagiaan di setiap sudut kehidupanku.

Setelah beberapa putaran, kami berhenti sejenak di taman kecil di ujung kompleks. Mas Bhumi duduk di bangku taman dan aku menarik nafasku dalam-dalam. "Capek, Ayah?" tanyanya dengan polos, sambil mengusap keningnya yang mulai berkeringat. Aku tertawa kecil dan mengangguk, "Iya, Mas Bhumi. Ayah sedikit capek, tapi Ayah senang lari sama Mas Bhumi." Dia tersenyum bangga mendengar jawabanku, seolah-olah dia berhasil mengajakku menikmati petualangan kecilnya.

Kami beristirahat beberapa saat sebelum memutuskan untuk pulang. Matahari mulai terbenam di ufuk barat, memancarkan cahaya keemasan yang indah di langit sore. Kami berdua berjalan pelan, menuruni jalan menuju rumah sambil menikmati pemandangan dan suasana yang damai. Mas Bhumi menggenggam tanganku erat, sesekali tersenyum dan melihat ke arahku dengan tatapan penuh cinta.

Sesampainya di rumah, Mas Bhumi langsung berlari masuk dengan riang, memamerkan "kemenangannya" hari ini kepada bundanya. "Ayah lari sama aku!" katanya dengan bangga. Aku tersenyum melihat kebahagiaannya, merasakan betapa berartinya momen-momen kecil ini dalam hidup kami. Meskipun lelah, hatiku dipenuhi rasa syukur bisa menghabiskan waktu bersama anakku, mengikuti langkah kecilnya yang penuh kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun