MPR mengambil langkah signifikan dengan mencabut beberapa TAP (Ketetapan) MPRS dan MPR terkait nama tiga tokoh besar Indonesia: Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Keputusan ini, meskipun legal, memunculkan berbagai interpretasi dari kalangan masyarakat dan politikus.
Pada September 2024,Dalam konteks Soekarno, TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang selama ini membayangi nama beliau sebagai pendukung pemberontakan G30S/PKI resmi dicabut. Langkah ini memberikan kesempatan bagi Soekarno untuk direhabilitasi secara historis dan politik, menghapus stigma pengkhianatan yang selama ini menempel pada namanya. Meskipun demikian, Bamsoet, Ketua MPR, menyatakan bahwa tuduhan hukum terhadap Soekarno tidak pernah terbukti di pengadilan.
Sementara itu, pencabutan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Presiden Soeharto melepaskan nama Soeharto dari tuduhan pelanggaran HAM dan korupsi yang mengiringi masa akhir pemerintahannya. Tindakan ini mengundang perdebatan apakah pencabutan TAP tersebut dapat benar-benar memulihkan citra Soeharto, yang terlanjur dikenal dengan rezim Orde Baru yang represif dan sarat KKN.
Di sisi lain, Gus Dur, yang dijatuhkan dari kursi kepresidenan pada 2001 karena skandal Bulogate dan Bruneigate, kini juga mendapatkan pengakuan bahwa tuduhan tersebut tidak pernah terbukti secara sah. Dengan pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/2001, upaya untuk menghapus cacat politik pada masa pemerintahannya semakin diperkuat.
Muncul pertanyaan apakah pencabutan TAP ini merupakan upaya MPR untuk mengoreksi sejarah, ataukah langkah yang lebih politis dalam konteks kekinian. Proses ini mungkin dapat diartikan sebagai bagian dari rekonsiliasi politik atau upaya memperbaiki hubungan negara dengan para tokoh nasional yang pengaruhnya masih dirasakan hingga kini.
Namun, di sisi lain, sebagian pihak mempertanyakan apakah pencabutan TAP ini cukup untuk membersihkan citra sejarah yang terlanjur terbentuk di masyarakat. Apalagi, sejarah mencatat Soeharto dan Gus Dur sebagai sosok yang sangat kontroversial, dengan berbagai kebijakan dan tindakannya yang mengundang pro dan kontra.
Fraksi PDIP, Golkar, dan PKB di MPR telah menyetujui usulan pencabutan TAP ini, menggarisbawahi bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari upaya menjaga etika politik dan menghormati ketentuan hukum. Meski begitu, keputusan ini tetap mengundang kritik dari pihak yang merasa bahwa sejarah seharusnya tidak bisa dihapus begitu saja.
Akhirnya, pencabutan nama-nama besar ini dari TAP MPR bukan hanya sekadar soal hukum, tetapi juga soal bagaimana bangsa ini memilih untuk mengingat masa lalunya. Keputusan MPR kali ini membuka babak baru dalam cara kita memandang sejarah nasional, meskipun dampaknya masih akan terasa dalam perdebatan politik dan sosial yang akan datang.
Pencabutan TAP ini mungkin bukan jawaban akhir, tetapi langkah reflektif untuk merenungi ulang sejarah dan peran tokoh-tokoh besar Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H